Pages

PERITONITIS

PERITONITIS
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti ruptur appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari.

Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk primer (i.e. spontan), sekunder (i.e. terkait proses patologi pada organ visceral) atau tertier (i.e. infeksi persisten atau recurrent setelah terapi inisial). Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).

Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira0kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

Tabel1.penyebab peritonitis sekunder

Regio Asal


Penyebab

Esophagus


Boerhaave syndrome
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Stomach


Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Duodenum


Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Biliary tract


Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Pancreas


Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Small bowel


Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendix


Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic

Uterus, salpinx, and ovaries


Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

PATOFISIOLOGI

Peritonitis menyebabkan adanya penurunan aktivitas fibrinolitik intrabdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestra fibrin yang berakibat pada pembentukan adesi. Produksi eksudat dari fibrin menggambarkan peran penting sistem pertahanan, akan tetapi jumlah bakteria yang terlalu besar dapat berlanjut menjadi pembentukan matriks fibrin. Hal ini dapat menyebabkan perlambatan penyebaran dan perluasan sistemik sehingga dapat menurunkan tingkat mortalitas akibat sepsis, namun hal ini dapat bersamaan dengan perkembangan infeksi residual dan pembentukan absess. Pada saat matriks fibrin mature, bakteri didalamnya menjadi mature dan terlindungi dari mekanisme clearance dari host.

Efek dari fibrin ini (containtment vs infeksi persisten), dapat dikaitkan pada derajat kontaminasi bakteri peritoneal. Pada studi terhadap binatang yang menilai efek defibrinogenasi dan terapi fibrin abdomen, kontaminasi peritoneal yang hebat akan mengacu pada peritonitis berat dengan kematian (<48>

Pembentukan abses diketahui sebagai strategi pertahana tubuh untuk menahan penyebaran infeksi, walaupun proses ini dapat menyebabkan infeksi persisten dan sepsis yang menangan cam hidup.

Awal dari pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteria dan agen abscess potentiating menuju lingkungan yang normalnya steril. Pertahana tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan akan berusaha untuk mengontrol penyebarannya dalam beberapa cara. Proses ini dibantu dengan kombinasi dari berbagai faktor seperti proses fagositik.

Kontaminasi bakteri peritoneal yang transien (biasanya oleh karena penyakit visceral dan trauma saluran cerna) adalah yang paling sering. Hasil paparan oleh antigen bakterial digambarkan sebagai perubahan respon imun terhadap inokulasi rekuren dari peritoneal. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan kandungan bakterial dan peningkatan angka kematian. Beberapa studi terkini menunjukan bahwasanya infeksi nosokomial pada tempat lain (seperti pneumonia, infeksi luka, dll) juga dapat berkaitan dengan peningkatan pembentukan abses abdomen.

Faktor virulensi dari bakterial yang berinteraksi dengan fagositosis dan neutrophil-mediated bacterial killing merupakan mediator yang penting dalam mengakibatkan infeksi persisten dan pembentukan abses. Diantara faktor tersebut adalah pembentukan kapsul, pertumbuhan anaerob fakultatif, kemampuan adesi dan produksi asam suksinat. Kaitan antara organisme bakterial dan fungal juga memiliki peran penting dalam menggangu pertahanan tubuh.

Beberapa peneliti meyakinkan bahwasanya bakteri dan fungi eksis sebagai nonsynergistic parallel infections dengan kompetisi inkomplit yang memungkinkan bertahannya semua organisme. Pada keadaan ini, terapi infeksi bakteri saja dapat mengakibatkan pertumbuhan berlebih dari fungi, yang berakibat apda peningkatan mobiditas. Faktor predisposisi pada pertumbuhan candidiasis abdomen meliputi penggunaan berkepanjangan dari antibiotik broad-spectrum, terapi supresi asam lambung, kateter vena sentral dan hiperalimentasi intravena, malnutrisi, diabetes serta steroid dan bebergai bentuk imunosupresi lainnya.

GAMBARAN KLINIS

Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semua pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal.

Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal.

Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38°C dapat ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat.

Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnyasemua pasien menunjukan adanya tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis.

Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen. Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus hipoaktif hingga tidak terdengar.

Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac.

Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat.

Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma (seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut), dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tanda-tanda maupun gejala peritonitis.

Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status post-transplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala, ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril..

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

* Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
* PT, PTT dan INR
* Test fungsi hati jika diindikasikan
* Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
* Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone disease)
* Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH

Pemeriksaan Radiologi

* Foto polos
* USG

* CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).

* Scintigraphy
* MRI

Table 2. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis

Peritonitis
(Tipe)


Organisme Penyebab


Terapi Antibiotik
(yang dianjurkan)

Kelas


Tipe Organisme

Primary


Gram-negative


E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas species (5%)
Proteus species (5%)
Streptococcus species (15%)
Staphylococcus species (3%)
Anaerobic species ( <5%)


Third-generation cephalosporin

Secondary


Gram-negative


E coli
Enterobacter species
Klebsiella species
Proteus species


Second-generation cephalosporin
Third-generation cephalosporin
Penicillins with anaerobic activity
Quinolones with anaerobic activity
Quinolone and metronidazole
Aminoglycoside and metronidazole

Gram-positive


Streptococcus species
Enterococcus species

Anaerobic


Bacteroides fragilis
Other Bacteroides species
Eubacterium species
Clostridium species
Anaerobic Streptococcus species

Tertiary


Gram-negative


Enterobacter species
Pseudomonas species
Enterococcus species


Second-generation cephalosporin
Third-generation cephalosporin
Penicillins with anaerobic activity
Quinolones with anaerobic activity
Quinolone and metronidazole
Aminoglycoside and metronidazole
Carbapenems
Triazoles or amphotericin (considered in fungal etiology)
(Alter therapy based on culture results.)

Gram-positive


Staphylococcus species

Fungal


Candida species

Management peritonitis

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l :

* Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
* Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
* Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
* Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

* Mengeliminasi sumber infeksi.
* Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
* Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :

* Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
* Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
* Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
* Pemberian terapi cairan melalui I.V
* Pemberian antibiotic

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

* Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
* Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
* Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
* Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi

* Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
* Pemberian antibiotic
* Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Posted in: medical case | | |

BUERGER'S DISEASE

BUERGER'S DISEASE / PENYAKIT BUERGER
[BAHASA INDONESIA]

Penyakit Buerger (Tromboangitis obliterans)

Adalah penyumbatan pada arteri dan vena yang berukuran kecil sampai sedang, akibat peradangan yang dipicu oleh merokok.
Berdasarkan studi cohort, pria perokok sigaret berusia 20-40 tahun lebih banyak yang menderita penyakit Buerger dibandingkan dengan siapapun. Sekitar 5% penderita adalah wanita.



Penyebab



Penyebabnya tidak diketahui, tetapi berdasarkan penelitian, beberapa studi melaporkan bahwa korelasi penyakit Buerger lebih banyak menyerang perokok dan keadaan ini akan semakin memburuk jika penderita tidak berhenti merokok.
Penyakit ini hanya terjadi pada sejumlah kecil perokok yang lebih peka.
Mengapa dan bagaimana merokok sigaret menyebabkan terjadinya penyakit ini, tidak diketahui.



Gejala



Gejala karena berkurangnya pasokan darah ke lengan atau tungkai terjadi secara perlahan, dimulai pada ujung-ujung jari tangan atau jari kaki dan menyebar ke lengan dan tungkai, sehingga akhirnya menyebabkan gangrene (kematian jaringan).

* Sekitar 40 penderita juga mengalami peradangan vena (terutama vena permukaan) dan arteri dari kaki atau tungkai
* Penderita merasakan kedinginan, mati rasa, kesemutan atau rasa terbakar.
* Penderita seringkali mengalami fenomena Raynaud dan kram otot, biasanya di telapak kaki atau tungkai.
* Pada penyumbatan yang lebih berat, nyerinya lebih berat dan berlangsung lebih lama.
* Pada awal penyakit timbul luka terbuka, gangrene atau keduanya.
* Tangan atau kaki terasa dingin, berkeringat banyak dan warnanya kebiruan,kemungkinan karena persarafannya bereaksi terhadap nyeri hebat yang menetap.


Diagnosa


Pada lebih dari 50 penderita, denyut nadi pada satu atau beberapa arteri di kaki maupun pergelangan tangan, menjadi lemah bahkan sama sekali tak teraba.
Tangan , kaki, jari tangan atau jari kaki yang terkena seringkali tampak pucat jika diangkat ke atas jantung dan menjadi merah jika diturunkan.
Mungkin ditemukan ulkus (luka terbuka, borok) di kulit dan gangren, biasanya pada satu atau lebih jari tangan atau jari kaki.
Pemeriksaan USG menunjukkan penurunan yang hebat dari tekanan darah dan aliran darah di kaki, jari kaki, tangan dan jari tangan yang terkena.
Angiogram bisa menggambarkan arteri yang tersumbat dan kelainan sirkulasi lainya, terutama di tangan dan kaki.


Pengobatan


Penderita harus berhenti merokok atau penyakitnya akan menjadi lebih buruk, sehingga akhirnya memerlukan tindakan amputasi.

Penderita juga harus menghindari :

* pemaparan terhadap dingin
* cedera karena panas, dingin atau bahan (seperti iodine atau asam) yang digunakan untuk mengobati kutil dan kapalan
* cedera karena sepatu yang longgar/sempit atau pembedahan minor
* infeksi jamur
* obat-obat yang dapat mempersempit pembuluh darah.


Berjalan selama 15-30 menit 2 kali/hari sangat baik
Penderita dengan gangrene, luka-luka atau nyeri ketika beristirahat, perlu menjalani tirah baring.
Penderita harus melindungi kakinya dengan pembalut yang memiliki bantalan tumit atau dengan sepatu boot yang terbuat dari karet.
Bagian kepala dari tempat tidur dapat ditinggikan 15-20 cm diatas balok, sehingga gaya gravitasi membantu mengalirkan darah menuju arteri-arteri.
Pentoxifylline, antagonis kalsium atau penghambat platelet (misalnya aspirin) diberikan terutama jika penyumbatan disebabkan oleh kejang.
Penderita yang berhenti merokok tetapi masih mengalami penyumbatan arteri, mungkin perlu menjalani pembedahan untuk memperbaiki aliran darah, dengan memotong saraf terdekat untuk mencegah kejang.
Jarang dilakukkan pencangkokan bypaas karena arteri yang terkena terlalu kecil.

Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi

Parasitologi adalah suatu ilmu cabang Biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Tetapi dengan adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas mempelajari organisme parasit yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa, helminthes, arthropoda dan insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthroponosis. Cakupan parasitologi meliputi taksonomi, morfologi, siklus hidup masing-masing parasit, serta patologi dan epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Organisme parasit adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis; yaitu hidup yang selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes). Predator adalah organisme yang hidupnya juga bersifat merugikan organisme lain (yang dimangsa). Bedanya, kalau predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari yang dimangsa, bersifat membunuh dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya. Sedangkan parasit, selain ukurannya jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak menghendaki hospesnya mati, sebab kehidupan hospes sangat essensial dibutuhkan bagi parasit yang bersangkutan.
Tujuan Pengajaran Parasitologi
Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahteraan manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Tujuan pengajaran parasitologi, dalam hal ini di antaranya adalah mengajarkan tentang siklus hidup parasit serta aspek epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Dengan mempelajari siklus hidup parasit, kita akan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kita dapat terinfeksi oleh parasit, serta bagaimana kemungkinan akibat yang dapat ditimbulkannya. Selanjutnya ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi penyakit, kita akan dapat menentukan cara pencegahan dan pengendaliannya.
Istilah dalam Parasitologi dan Pembagian Hewan Parasit
1. Organisme (manusia atau hewan) yang ditempati oleh organisme lain (parasit) di mana organisme tersebut merugikan hospes (inang) yang ditumpanginya karena mengambil makanan disebut hospes.
2. Hospes yang dirugikan itu dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu hospes definitif, hospes perantara, hospes predileksi dan hospes reservoir. Hospes definitif yaitu hospes yang membantu hidup parasit dalam stadium dewasa/stadium seksual.
3. Berdasar lama waktu hidupnya parasit dibagi menjadi dua yaitu parasit temporer dan stasioner. Parasit temporer disebut juga parasit nonperiodis (nonberkala) yang mengunjungi hospesnya pada waktu-waktu berselang atau parasit tersebut tidak menetap pada tubuh hospesnya.
4. Pediculus humanus disebut sebagai ektoparasit karena hidup di kepala atau hidup pada permukaan luar hospesnya.
Hubungan antara Parasit dengan Inang
Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis dari parasit yang menyebabkan parasit tersebut secara alami mempunyai pilihan terhadap inang dan juga jaringan tubuh inang. Semakin tinggi derajat preferensi suatu parasit terhadap inang akan menyebabkan adanya spesifitas inang.
Kekebalan terhadap parasit, Modus dan Sumber Penulurannya
Di dalam tubuh terdapat suatu mekanisme yaitu mekanisme tanggap kebal yang akan mengenali dan segera memusnahkan setiap sel yang berbeda/asing dari sel normal tubuhnya sendiri. Seperti pada kekebalan terhadap bakteri, cendawan, dan virus, kekebalan dalam parasitologi terdiri dari kekebalan bawaan yang mungkin disebabkan spesifitas inang, karakteristik fisik inang, sifat biokimia yang khas dan kebiasaan inang serta kekebalan didapat. Kekebalan didapat dibedakan menjadi:
- Kekebalan secara pasif, contohnya ialah kekebalan anak yang didapat dari kolostrum ibunya.
- Kekebalan didapat secara aktif.
Reaksi kekebalan didapat secara aktif timbul setelah adanya rangsangan oleh antigen. Tergantung dari sifat antigen sehingga terjadi pembelahan limfosit-limfosit menjadi sel-T atau sel B. Sel T mempunyai reseptor khusus terhadap antigen tertentu, sedangkan sel B akan mengeluarkan antibodi yang dikenal sebagai imunoglobulin yang akan berikatan secara khas pula dengan antigen. Modus penularan ialah cara atau metode penularan penyakit yang biasanya terjadi. Pada umumnya, cara penularan penyakit parasit adalah secara kontak langsung, melalui mulut (food-borne parasitosis), melalui kulit, melalui plasenta, melalui alat kelamin dan melalui air susu. Sumber penularan bagi penyakit parasit, seperti halnya bagi penyakit menular lain terjadi dari inang yang satu ke inang yang lain. Penularan dapat juga dari sumber penyakit kepada inang baru. Adapun yang dapat berlaku sebagai sumber penularan penyakit parasit ialah organisme baik hewan maupun tumbuhan dan benda mati seperti tanah, air, makanan dan minuman.
Ekologi Parasit
Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat di dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi, sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan limpa. Biometeorologi adalah ilmu tentang atmosfer dan segala fenomena-fenomenanya/ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor meteorologi yang berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah:
a. Data biometeorologi
b. Penguapan air
c. Kandungan air dalam tanah.
Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Siklus Hidup Parasit
Pengaruh jumlah hujan dan temperatur terhadap kelangsungan hidup suatu jenis parasit berbeda, sebagai contoh Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hujan dibandingkan dengan Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih banyak dibandingkan dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan genangan air. Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terhadap temperatur yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai larva infektif sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larva Trematoda dan Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pada siklus hidup parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantangan dari faktor-faktor cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan bereaksi terhadap faktor itu satu demi satu.
Ruang Lingkup Parasitisme
Dalam mempelajari parasitologi diperlukan pengertian dan pendekatan ekologi serta memahami ekologi parasit yang merupakan dasar pembahasan berbagai masalah antara lain masuknya parasit ke dalam hospes, kepadatan parasit, inang dan sebagainya. Demikian juga untuk memahami penyebarannya perlu dipelajari mikro distribusi parasit. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit antara lain air, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk hidup itu bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak terhadap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit secara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta pemberantasannya.
Penggolongan Zoonosis dan Aspek yang Mempengaruhinya
Zoonosis adalah penyakit atau penularan-penularan yang secara alamiah terjadi antara hewan dan manusia. Penggolongan zoonosis dapat didasarkan pada:
(1) tingkat derajat revervoirnya dalam sistem zoologi,
(2) siklus penularan dan prospek pengendaliannya,
(3) taksonomi parasit penyebabnya.
Hal-hal yang berpengaruh terhadap kasus zoonosis parasiter pada manusia adalah:
1. aspek sosial budaya atau ekonomi; di antaranya adalah jenis pekerjaan. Sebagai pemburu juga pekerja hutan, mereka lebih terbuka kemungkinannya untuk memperoleh zoonosis parasiter dari hewan buruan dan hewan liar di hutan sebagai reservoirnya. Berbeda dengan pekerja pengalengan susu, daging atau ikan yang secara langsung lebih terbuka terhadap penularan zoonosis parasiter dari jenis toksoplasmosis, hidatidosis dan larva migran.
2. Aspek ekologi; bertambahnya populasi atau dengan adanya transmigrasi, yang akan mengubah keadaan lingkungan. Perubahan ekologi, seperti adanya 2 ekosistem yang semula terpisah, kemudian bersatu dan dapat menjadi fokus baru bagi berbagai penyakit zoonosis; di antaranya schistosomiasis, trypanosomiasis, paragonimiasis dan sebagainya
3. Aspek iklim dan cuaca; sebagai contoh: negara Indonesia dengan iklim tropis, panas, tetapi curah hujan cukup sehingga kelembabannya cukup pula. Hal tersebut memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis parasit selagi berada di luar tubuh hospesnya. Contoh: sporulasi ookista Toxoplasma gondii, pembentukan telur infektif berbagai cacing parasit usus, demikian pula bagi kelangsungan hidup berbagai vektor dan hospes perantara yang sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Faktor-faktor yang mendukung siklus hidup zoonosis parasiter di daerah endemis, di antaranya: faktor bangsa, ethnis, agama, populasi geografis.
Protozoa Parasit Usus
Struktur tubuh protozoa tersusun dari unit-unit (komponen) fungsional yang disebut sebagai organel-organel bukan organ-organ sebab Protozoa adalah hewan bersel satu atau terdiri dari satu sel saja. Seluruh fungsi kehidupannya dilakukan oleh satu sel tersebut. Sedangkan “organ” terdiri dari banyak sel dan “organel-organel” adalah bagian sel yang mengalami diferensiasi yang disesuaikan dengan fungsinya. Pengelompokan Protozoa parasit dalam parasitologi dilakukan berdasarkan patologi anatomi hospesnya dengan urutan yang disesuaikan dengan taksonominya. Alasan pengelompokan tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajarinya.
Protozoa Parasit Rongga Tubuh
Protozoa atrial adalah protozoa yang berhabitat pada rongga tubuh seperti mulut, hidung, vagina, urethera. Dalam kelompok protozoa atrial yaitu Entomoeba gingivalis (Kelas Sarcodina) dan Trichomonas tenax dan T. vaginalis (Kelas Flagellata), hanya T. vaginalis yang patogen. E. gingivalis hanya diketahui bentuk trophozoit saja yang sangat mirip dengan E. histolytica. Spesies ini tinggal di dalam gingiva manusia bersifat apatogen sama halnya dengan T. tenax. T. vaginalis habitat pada vagina dan glandula prostata. Pada wanita menyebabkan vaginistis yaitu dapat mengeluarkan banyak sekret keputihan yang menyebabkan keputihan. Infeksi pada laki-laki dirasakan setelah adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mungkin menyebabkan uretritis dan prostata.
Protozoa Parasit pada Darah Manusia serta Vertebrata lainnya
Protozoa yang hidup parasit di dalam darah dan jaringan manusia mencakup berbagai jenis yaitu Trypanosoma spp, Leishmania spp, Plasmodium spp, dan Toxoplasma gondii. Parasit Trypanosoma cukup luas penyebarannya, sebagian tidak patogen, di dalam darah hewan mamalia, reptilia, amfibia, burung, ikan ada ada 3 spesies patogen pada manusia yaitu Trypanosoma gambiense, T. rhodesiense dan T. cruzi. Bentuk-bentuk perkembangan familia Trypanosomidae ini adalah Trypomastigot, Epimastigot, Promastigot, dan Amastigot. Bentuk-bentuk perkembangan ini ada yang lengkap dan ada pula yang tidak lengkap. Daur hidup Trypanosoma pada mamalia terjadi berganti-ganti di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Penularan Trypanosoma dan dapat secara langsung dan dapat secara tidak langsung yaitu mengalami pertumbuhan siklik (mekanik) di dalam serangga pengisap darah sebelum menjadi infektif. Vektor bagi Trypanosoma gambiense dan T. rhodesiense adalah lalat tse-tse, sedangkan Trypanosoma cruzi adalah serangga reduvidae. Klasifikasi Trypanosoma didasarkan atas morfologi, cara penularan dan sifat patogen. Parasit Plasmodium penyebab malaria yang tersebar sangat luas dan banyak menimbulkan kematian pada manusia ada 4 spesies yaitu P. vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale, sedangkan spesies lainnya dapat menginfeksi burung, monyet, rodentia dan sebagainya. Pembasmiannya sangat tergantung pada penggunaan insektisida, pengobatan dan faktor-faktor sosio ekonomi yang cukup komplex. Untuk kelangsungan hidup parasit tersebut mempunyai fase schizogoni, fase gametogami, dan fase sporogoni. Patologinya menyebabkan pecahnya eritrosit, reaksi humoral kelemahan limpa, hati, ginjal dan gangguan peredaran darah. Gejala klinis ialah serangan demam yang intermitten dan pembesaran limpa. Pencegahan mencakup pengurangan sumber infeksi, pengendalian nyamuk malaria. Pengobatan meliputi penghancuran parasit praeritrositik, obat represif, obat penyembuh dan obat radikal untuk bentuk eksoeritrositik, gametositik dan gametastatik.
Protozoa Parasit Pada Jaringan
Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit di dalam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi manusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada umumnya. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas yaitu kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania sedangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania ini hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat menyebabkan penyakit leishmaniasis. Adapun ketiga spesies tersebut adalah Leishmania donovani penyebab leishmaniasis visceral; Leishmania tropica penyebab leishmaniasis kulit dan Leishmania brazilliennis penyebab leishmaniasis muko kutis. Meskipun ketiga genus Leishmania ini merupakan protozoa parasit pada jaringan, tetapi di dalam daur (siklus) hidupnya masih tetap membutuhkan hospes perantara untuk kelangsungan hidupnya. Adapun sebagai hospes perantaranya adalah lalat Phlebotomus dan darah manusia. Di antara genus Toxoplasma hanya satu spesies saja yang mampu menginfeksi berbagai macam hospes yaitu spesies Toxoplasma gondii. T. gondii ini merupakan penyebab penyakit toxoplasmosis pada manusia. Di dalam daur hidupnya mempunyai tiga bentuk perkembangan yaitu bentuk zoite, kista dan ookista. Sebagai berikut infektifnya adalah sporozoit, kestozoit dan endozoit. Sedangkan cara infeksinya adalah bukan dengan melalui vektor, tetapi dengan berbagai cara yaitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun dengan kista, trophozoit atau ookista selama melakukan penelitian di laboratorium. Peristiwa ini dapat mengakibatkan toxoplasmosis kongenital dan toxoplasmosis dapatan (perolehan). Penularan dari manusia ke manusia terjadi dengan melalui plasenta penyebab toxoplasmosis kongenital.
Trematoda Usus
Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies Trematoda usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seperti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar. Siklus hidup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes perantara II (keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan M.yokogawai). Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dalam tinja penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetrakloretilen, heksilresorsinol, dan praziquantel.
Cestoda Usus
Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri dari kepala (skolek), dan proglottid (segmen tubuh) yang terdiri dari: proglottid immature, mature, dan gravid. Proglottid gravid dapat digunakan untuk identifikasi spesies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya. Terdapat 2 golongan besar Cestoda, yaitu: 1. Pseudophyllidean yang mempunyai skolek berbentuk seperti sendok dengan dilengkapi 2 buah alat isap yang berbentuk celah memanjang yang disebut bothria, contoh spesies: Diphyllobothrium latum. 2. Cyclophyllidean yang mempunyai skolek dengan alat isap berbentuk seperti mangkuk yang disebut asetabulum, jumlahnya 4 buah. Diphyllobothrium latum merupakan pseudophyilidean. Cestoda yang hidup di usus manusia sebagai hospes definitifnya. Hospes reservoarnya adalah hewan/mamalia pemakan ikan. Memerlukan 2 buah hospes perantara dalam daur hidupnya yaitu: (1) Cyclops atau Diaptomus di mana larva cacing disebut proserkoid, dan (2) Ikan air tawar dengan larva cacing di dalamnya disebut pleroserkoid. Fam.Taeniidae yang termasuk Cyclophyllidean Cestoda mempunyai 3 spesies penting bagi kesehatan manusia maupun hewan, yaitu T.saginata, T.solium, dan E.granulossus. Bentuk telur antara ketiga cacing tersebut sukar dibedakan satu sama lain. Ketiganya mempunyai skolek yang dilengkapi dengan batil isap berbentuk mangkuk yang disebut asetabulum. Pada skolek T.solium dan E.granulossus dilengkapi dengan rostellum dan kait-kait . Sedangkan skolek T.saginata tidak ada rostrumnya. T.saginata dan T.solium merupakan cacing pita yang panjang sampai bermeter-meter ukurannya, sedangkan E.granulossus merupakan cacing pita yang terpendek, hanya mempunyai 3 buah proglottid saja. Manusia dapat terinfeksi T.saginata bila makan daging sapi yang mengandung kista yang disebut sistiserkus bovis, dan menderita taeniasis saginata (terdapat cacing dewasa dalam ususnya). Infeksi T.solium pada manusia dapat terjadi melalui 2 cara yaitu:
1. Bila menelan telurnya akan terjadi larva dalam jaringan tubuh manusia, disebut menderita sistiserkosis.
2. Bila makan daging babi yang mengandung larva sistiserkus selulose, manusia akan menderita taeniasis solium.
Diagnosis taeniasis saginata/solium dengan menemukan telur/proglottid gravid pada tinja penderita. Sedangkan sistiserkosis dapat diketahui dengan pemeriksaan serologis, CT-scan atau dengan pembedahan (tergantung letak kista dalam jaringan tubuh manusia). Infeksi E.granulossus pada manusia dapat terjadi bila menelan telurnya, manusia akan menderita hidatidosis (terjadinya kista hidatida dalam jaringan tubuh manusia). Tempat yang sering terjadi kista adalah hati (66%). Diagnosis dengan pemeriksaan serologis, sinar rontgen, dan pembedahan bila letaknya memungkinkan. Cacing pita yang kecil H.nana hospes definitifnya manusia, dan penularan dapat terjadi secara langsung bila manusia menelan telur cacing tersebut. H.nana var.fraterna dan H.diminuta yang hospes definitifnya tikus memerlukan hospes perantara, yaitu pinjal tikus, dan kumbang tepung. Hospes perantara bila menelan telur cacing tersebut akan menetas menjadi larva sistiserkoid. Bila manusia menelan hospes perantara yang mengandung sistiserkoid akan menderita hymenolepsis.
Cacing pita D.caninum merupakan cacing pita anjing /carnivora lainnya. Habitat dalam hospes adalah dalam usus halus. Manusia terinfeksi secara kebetulan/aksidental terutama terjadi pada anak-anak yang menelan pinjal anjing/kucing yang mengandung larva sistiserkoid. Akibat infeksi ini pada anak-anak tidak begitu nyata bila infeksinya ringan namun bila infeksi berat dapat terjadi gangguan pencernaan, diare, dan reaksi alergi. Pencegahan dengan meningkatkan kebersihan perorangan serta lingkungan dengan mengobati anjing dari pinjal yang menempel pada tubuhnya. Pengobatan dipylidiasis seperti pada infeksi cacing pita lainnya, yaitu dengan: niklosamid, praziquantel, atau kuinakrin
Nematoda Usus
Cacing tambang terdiri dari beberapa spesies, yang menginfeksi manusia adalah N.americanus dan A.duodenale, yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar maupun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, A.caninum dan A.braziliense yang tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia. Perbedaan morfologi antar spesies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa kopulatriks cacing jantan. Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang menyebabkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang mengisap darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegahan tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasit pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Manusia dapat terinfeksi melalui 3 cara: yaitu langsung, tak langsung, dan autoinfeksi. Cara pencegahan dan penyebaran cacing ini sama seperti cacing tambang. Obat yang efektif untuk strongyloidiasis adalah thiabendazol. Akibat utama yang ditimbulkan adalah peradangan pada usus, disentri terus-menerus dan rasa sakit pada perut bagian kanan atas. Diagnosis dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderita. Pada cacing Nematoda usus ada beberapa spesies yang menginfeksi manusia maupun hewan. Nematoda usus terbesar adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T.trichiura, serta cacing tambang sering menginfeksi manusia karena telur cacing tersebut semuanya mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut termasuk dalam golongan soil-transmitted helminths. A.lumbricoides, T.trichiura dan E.vermicularis mempunyai stadium infektif yaitu telur yang mengandung larva. Siklus hidup A.lumbricoides lebih rumit karena melewati siklus paru-paru, sedangkan T.trichiura dan E.vermicularis tidak. Gejala klinis penyakit cacing ini bila infeksi ringan tidak jelas, biasanya hanya tidak enak pada perut kadang-kadang mual. Infeksi askariasis yang berat dapat menyebabkan kurang gizi dan sering terjadi sumbatan pada usus. Trikhuriasis berat biasanya dapat terjadi anemia, sedangkan pada enterobiasis gejala yang khas adalah gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari saat cacing betina keluar dari usus untuk meletakkan telunya di daerah perianal. Diagnosis askariasis dan trikhuriasis dengan menemukan telur dalam tinja penderita, sedangkan untuk enterobiasis dapat ditegakkan dengan anal swab karena telur E. vermicularis tidak dikeluarkan bersama tinja penderita. Infeksi cacing usus ini tersebar luas di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub tropis. Anak-anak lebih sering terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan main tanah dan kurang/belum dapat menjaga kebersihan sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, mengerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman dan mencuci bersih sayuran/buah yang akan di makan mentah. Obat cacing, seperti piperasin, mebendazole, tiabendazol, dan lain-lain dapat diberikan dengan hasil yang cukup memuaskan.
Trematoda dan Cstoda yang Hidup Parasit pada Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan Hewan
Spesies trematoda hati yang dapat menginfeksi manusia adalah C. sinensis dan O. viverini, sedangkan O. felineus, F. hepatica dan F. gigantica lebih banyak menginfeksi hewan. Stadium infektil cacing hati adalah metaserkaria. Telur dari C. sinensis dan Opistorchis pada waktu dikeluarkan sudah mengandung mirasidium, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan telur Fasciola yang besar dan tidak berembrio pada waktu dikeluarkan bersama tinja. Habitat cacing-cacing tersebut terutama adalah di saluran empedu, kecuali F. gigantica yang habitatnya di hati. Hospes perantara I cacing-cacing tersebut adalah keong, namun hospes perantara II C. sinensis dan Opistorchis adalah ikan air tawar dan hospes perantara II Fasciola adalah tumbuh-tumbuhan air. Patologis dan gejala klinis terutama karena peradangan yang disebabkan oleh hasil metabolisme cacing yang bersifat toksin. Gejala utama dalah demam, sakit daerah perut, pembesaran hati yang lunak, diare dan anemia. Diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Pencegahan dengan memasak ikan dan tumbuhan air yang akan dimakan. Pengobatan dengan bithionol. Paragonimus westermani merupakan trematoda yang menginfeksi paru-paru manusia dan hewan (mamalia). Stadium infektifnya adalah metasekaria yang mengkista dalam tubuh ketam atau udang (HP perantar II). Keong merupakan hospes perantara I nya. Patologi dan gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dalam alveoli paru-paru dan mengeluarkan telur yang menyebabkan gejala batuk dengan bercak seperti serbuk besi dan sputum yang mengandung telur. Diagnosis dengan menemukan telur dalam sputum atau tinja penderita. Pencegahan dengan memasak dengan baik ketam atau udang yang akan dimakan. Trematoda darah pada manusia adalah Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. mansoni. Infeksi terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes. hanya mempunyai 1 hospes perantara yaitu keong Oncomelania (S. japonicum); Biomphalaria (S. mansoni) dan Bulinus (S. mansoni). Berbagai hewan dapat terinfeksi oleh cacing ini dan menjadi hospes reservoarnya. Habitat S. japonicum dan S. mansoni adalah pada vena meseterika dan cabang-cabangnya, telur yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dapat ditemukan dalam tinja penderita (untuk diagnosis). Sedangkan habitat S. haematobium adalah pada vena kandung kencing, sehingga untuk diagnosis dengan menemukan telur dalam urin penderita. Pencegahan dengan perbaikan irigasi, pemberantasan keong dan pengobatan dengan kalium ammoniumnitrat, nitridazole dan astiban.
Nematoda Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan Hewan
Nematoda darah atau dikenal sebagai Nematoda filaria, menyebabkan penyakit kaki gajah atau elefantiasis/filariasis. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing ini yang dikenal juga sebagai cacing filaria limfatik, sebab habitat cacing dewasa adalah di dalam sistem limfe (saluran dan kelenjar limfe) manusia yang menjadi hospes definitifnya, maupun dalam sistem limfe hewan yang menjadi hospes reservoar (kera dan kucing hutan). Spesies cacing filaria yang ada di Indonesia adalah: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang menjadi vektomya. Filariasis bancrofti mempunyai 2 tipe, yaitu: 1.Tipe urban, atau terdapat di daerah perkotaan, vektornya nyamuk Culex quenquefasciatus/C. fatigans. 2.Tipe rural, vektornya nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes tergantung pada daerahnya. Periodisitasnya adalah periodik nokturna, di mana mikrofilaria banyak ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu malam hari. Filariasis malayi lebih banyak terjadi di daerah rural, vektornya adalah nyamuk Mansonia yang tempat perindukannya di rawa-rawa dekat hutan dan beberapa jenis dari nyamuk Anopheles dapat pula menjadi vektor penyakit ini. Perbedaan nyamuk yang menjadi vektornya tergantung pada daerah geografis. Periodisitas filariasis malayi adalah subperiodik nokturna, artinya mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu siang dan malam hari, meskipun jumlahnya lebih banyak pada malam hari. Bila mikrofilaria dalam darah tepi penderita masuk ke dalam tubuh nyamuk vektor pada waktu nyamuk rnengisap darah, maka akan berubah menjadi larva stadium I-III (L1-L2-L3). L3 bila nyamuk mengisap darah manusia akan terbawa masuk ke dalam tubuh dan menuju saluran limfe serta menjadi dewasa dalam kelenjar limfe. Gejala utama filariasis adalah: limfangitis, limfadenitis, limfedema, yang bisa terjadi berulang-ulang sampai akhimya bila sudah kronis (bertahun-tahun) akan terjadi elefantiasis. Pada infeksi W. bancrofti biasa menyerang ekstremitas bagian atas, alat genital, yang bisa menimbulkan hidrokel dan juga buah dada, namun juga bisa menyerang kaki. Filariasis malayi lebih banyak menyerang bagian kaki. Diagnosis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi penderita, tergantung periodisitasnya maka biasanya pemeriksaan dilakukan pada malam hari untuk menemukan mikrofilarianya. Lalu sediaan darah dicat dengan Giemsa, sehingga dapat dilihat perbedaan bentuk mf-nya untuk menentukan spesiesnya. Pengobatan filariasis sampai saat ini yang efektif adalah pemberian DEC (dietil karbamasin). Pencegahan terutama menjaga diri agar tidak digigit nyamuk, dengan memakai kelambu waktu tidur atau menggunakan repelen. Membasmi tempat perindukan nyamuk vektor, namun untuk yang habitatnya di rawa-rawa akan sulit dilakukan. Nematoda jaringan adalah beberapa spesies cacing Nematoda yang hospes yang definitifnya hewan, di mana cacing dewasa hidup dalam usus halus hewan tersebut. Bentuk larvanya yang menginfeksi jaringan tubuh manusia dan menimbulkan masalah penyakit. Tiga jenis cacing tersebut adalah: Trichinella spiralis yang hospes definitifnya adalah babi dan hewan lain (tikus, beruang, anjing liar dll), juga manusia. Habitat cacing dewasa dalam usus halus hospes. Manusia terinfeksi karena makan daging babi yang mengandung sista yang berisi larva di dalamnya. Daging tersebut bila dimakan tanpa dimasak dengan baik, maka larva akan menetas dalam usus dan menjadi dewasa. Cacing betina yang bersifat vivipar, menghasilkan larva yang akan menembus mukosa usus terbawa aliran darah sampai ke jaringan otot dan menyebabkan trikhinosis.
Sumber buku Parasitologi
DIarsipkan di bawah: Biologi dan fisika | Ditandai: PENGETAHUAN, Biologi dan fisika