Pages

PERITONITIS

PERITONITIS
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti ruptur appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari.

Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk primer (i.e. spontan), sekunder (i.e. terkait proses patologi pada organ visceral) atau tertier (i.e. infeksi persisten atau recurrent setelah terapi inisial). Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).

Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira0kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

Tabel1.penyebab peritonitis sekunder

Regio Asal


Penyebab

Esophagus


Boerhaave syndrome
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Stomach


Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Duodenum


Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Biliary tract


Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Pancreas


Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Small bowel


Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendix


Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic

Uterus, salpinx, and ovaries


Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

PATOFISIOLOGI

Peritonitis menyebabkan adanya penurunan aktivitas fibrinolitik intrabdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestra fibrin yang berakibat pada pembentukan adesi. Produksi eksudat dari fibrin menggambarkan peran penting sistem pertahanan, akan tetapi jumlah bakteria yang terlalu besar dapat berlanjut menjadi pembentukan matriks fibrin. Hal ini dapat menyebabkan perlambatan penyebaran dan perluasan sistemik sehingga dapat menurunkan tingkat mortalitas akibat sepsis, namun hal ini dapat bersamaan dengan perkembangan infeksi residual dan pembentukan absess. Pada saat matriks fibrin mature, bakteri didalamnya menjadi mature dan terlindungi dari mekanisme clearance dari host.

Efek dari fibrin ini (containtment vs infeksi persisten), dapat dikaitkan pada derajat kontaminasi bakteri peritoneal. Pada studi terhadap binatang yang menilai efek defibrinogenasi dan terapi fibrin abdomen, kontaminasi peritoneal yang hebat akan mengacu pada peritonitis berat dengan kematian (<48>

Pembentukan abses diketahui sebagai strategi pertahana tubuh untuk menahan penyebaran infeksi, walaupun proses ini dapat menyebabkan infeksi persisten dan sepsis yang menangan cam hidup.

Awal dari pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteria dan agen abscess potentiating menuju lingkungan yang normalnya steril. Pertahana tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan akan berusaha untuk mengontrol penyebarannya dalam beberapa cara. Proses ini dibantu dengan kombinasi dari berbagai faktor seperti proses fagositik.

Kontaminasi bakteri peritoneal yang transien (biasanya oleh karena penyakit visceral dan trauma saluran cerna) adalah yang paling sering. Hasil paparan oleh antigen bakterial digambarkan sebagai perubahan respon imun terhadap inokulasi rekuren dari peritoneal. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan kandungan bakterial dan peningkatan angka kematian. Beberapa studi terkini menunjukan bahwasanya infeksi nosokomial pada tempat lain (seperti pneumonia, infeksi luka, dll) juga dapat berkaitan dengan peningkatan pembentukan abses abdomen.

Faktor virulensi dari bakterial yang berinteraksi dengan fagositosis dan neutrophil-mediated bacterial killing merupakan mediator yang penting dalam mengakibatkan infeksi persisten dan pembentukan abses. Diantara faktor tersebut adalah pembentukan kapsul, pertumbuhan anaerob fakultatif, kemampuan adesi dan produksi asam suksinat. Kaitan antara organisme bakterial dan fungal juga memiliki peran penting dalam menggangu pertahanan tubuh.

Beberapa peneliti meyakinkan bahwasanya bakteri dan fungi eksis sebagai nonsynergistic parallel infections dengan kompetisi inkomplit yang memungkinkan bertahannya semua organisme. Pada keadaan ini, terapi infeksi bakteri saja dapat mengakibatkan pertumbuhan berlebih dari fungi, yang berakibat apda peningkatan mobiditas. Faktor predisposisi pada pertumbuhan candidiasis abdomen meliputi penggunaan berkepanjangan dari antibiotik broad-spectrum, terapi supresi asam lambung, kateter vena sentral dan hiperalimentasi intravena, malnutrisi, diabetes serta steroid dan bebergai bentuk imunosupresi lainnya.

GAMBARAN KLINIS

Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semua pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal.

Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal.

Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38°C dapat ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat.

Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnyasemua pasien menunjukan adanya tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis.

Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen. Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus hipoaktif hingga tidak terdengar.

Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac.

Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat.

Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma (seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut), dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tanda-tanda maupun gejala peritonitis.

Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status post-transplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala, ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril..

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

* Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
* PT, PTT dan INR
* Test fungsi hati jika diindikasikan
* Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
* Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone disease)
* Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH

Pemeriksaan Radiologi

* Foto polos
* USG

* CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).

* Scintigraphy
* MRI

Table 2. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis

Peritonitis
(Tipe)


Organisme Penyebab


Terapi Antibiotik
(yang dianjurkan)

Kelas


Tipe Organisme

Primary


Gram-negative


E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas species (5%)
Proteus species (5%)
Streptococcus species (15%)
Staphylococcus species (3%)
Anaerobic species ( <5%)


Third-generation cephalosporin

Secondary


Gram-negative


E coli
Enterobacter species
Klebsiella species
Proteus species


Second-generation cephalosporin
Third-generation cephalosporin
Penicillins with anaerobic activity
Quinolones with anaerobic activity
Quinolone and metronidazole
Aminoglycoside and metronidazole

Gram-positive


Streptococcus species
Enterococcus species

Anaerobic


Bacteroides fragilis
Other Bacteroides species
Eubacterium species
Clostridium species
Anaerobic Streptococcus species

Tertiary


Gram-negative


Enterobacter species
Pseudomonas species
Enterococcus species


Second-generation cephalosporin
Third-generation cephalosporin
Penicillins with anaerobic activity
Quinolones with anaerobic activity
Quinolone and metronidazole
Aminoglycoside and metronidazole
Carbapenems
Triazoles or amphotericin (considered in fungal etiology)
(Alter therapy based on culture results.)

Gram-positive


Staphylococcus species

Fungal


Candida species

Management peritonitis

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l :

* Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
* Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
* Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
* Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

* Mengeliminasi sumber infeksi.
* Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
* Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :

* Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
* Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
* Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
* Pemberian terapi cairan melalui I.V
* Pemberian antibiotic

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

* Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
* Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
* Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
* Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi

* Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
* Pemberian antibiotic
* Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Posted in: medical case | | |

0 komentar: