Pages

Mitos dan Fakta Tentang Stroke


Stroke adalah penyebab kececatan dan kematian yang utama. Stroke adalah gangguan fungsi saraf (kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, penurunan kesadaran) yang terjadi mendadak akibat gangguan peredaran darah otak Data dari Organisasi stroke dunia (World Stroke Organization) meyatakan bahwa kejadian stroke meningkat tajam di negara-negara berkembang. Penelitian menunjukkan pula bahwa angka kematian dan kecacatan juga lebih tinggi di negara berkembang. Tingginya angka kejadian stroke baru dan kecacatannya di negara berkembang (seperti Indonesia) tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya mitos yang salah di masayrakat tentang stroke.Berikut ini adalah mitos yang sering dijumpai pada masyarakat:

1. Stroke hanya terjadi pada usia lanjut

Faktanya: stroke dapat menyerang semua usia. Kejadian stroke paling sering adalah pada usia diatas 50 tahun, namun stroke dapat menyerang semua usia. Kejadian stroke pada anak pada umumnya disebabkan oleh kelainan komponen darah dan pembuluh darah yang dibawa sejak lahir, dan bukan terkait gaya hidup (kadar kolesterol darah tinggi, kegemukan, dan merokok) seperti pada populasi dewasa.

2. Stroke lebih sering pada laki-laki

Faktanya: stroke menyerang perempuan dan laki-laki dengan proporsi yang sama. Sebuah penelitian epidemiologi skala besar oleh Seshadri (2007) bahkan mengungkapkan bahwa stroke lebih sering terjadi pada perempuan. Kejadian stroke adalah 1 pada setiap 5 orang perempuan, dan 1 pada setiap orang laki-laki. Angka kejadian stroke meningkat lebih dari 2 kali lipat pada perempuan yang memiliki tekanan darah > 140/90 mmHg. Kejadian stroke pada perempuan meningkat tajam pada usia pasca menopause. Hal ini terkait dengan hilangnya efek proteksi pembuluh darah oleh hormon estrogen.

3. Stroke hanya dapat terjadi pada pencderita hipertensi

Faktanya : faktor risiko stroke bersifat multifaktorial. Faktor risiko stroke yang idak dapat diubah adalah usia tua, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga stroke. Ada pula faktor risiko stroke yang dapat dikendalikan yaitu: hipertensi, diabetes, merokok, dan kadar kolesterol darah yang tinggi. Seseorang dapat saja memiliki tekanan darah yang normal, namun memiliki faktor risiko stroke yang lain (diabetes, merokok, dan riwayat keluarga stroke). Pada kasus demikian stroke tetap dapat terjadi. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang utama, namun bukan merupakan satu-satunya faktor risiko stroke.

4. Stroke tidak dapat dicegah

Faktanya : stroke dapat dicegah. Pencegahan stroke dimulai dengan mengetahui faktor risiko stroke. Pengendalian faktor risiko stroke yang utama adalah menurunkan tekanan darah, berhenti merokok, menormalkan kadar kolesterol darah, dan menurunkan berat badan berlebih. Perubahan pola hidup dengan lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur, menghindari rokok, berolahraga, dan mengurangi stree sangat dianjurkan. Pada kasus-kasus tertentu diperlukan pula intevensi obat-obatan untuk mencapai tekanan darah dan kolesterol darah yang normal.

5. Stroke tidak dapat diobati

Faktanya : stroke dapat diobati. Pengobatan stroke yang optimal adalah berpacu dengan waktu. Semakin cepat mendapat pertolongan yang memadai, maka semakin besar kemungkinan terhindar dari kematian dan kecacatan akibat stroke. Permasalahan yang muncul adalah kurang dikenalinya gejala stroke. Batas waktu penanganan stroke yang optimal adalah 3-4,5 jam pasca serangan. Stroke harus dicurigai pada kasus gangguan fungsi saraf (kelumpuhan, kesulitasn bicaa, wajah perot, dan penurunan kesadaran) yang terjadi mendadak. Pengobatan stroke yang optimal disesuaikan dengan jenis patologi stroke (stroke sumbatan atau stroke perdarahan), maka pasien stroke seyogyanya ditangani di RS dengan fasilitas pencitraan (imaging) yang memadai (minimal CT Scan kepala). RS yang memadai tersebut harus memberikan pelayanan stroke 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Pasien stroke seharusnya dirawat di sebuah unit stroke yang multi disiplin dengan tenaga kesehatan yang terlatih Penelitian menunjukkan bahwa pasien stroke yang dirawat di unit stroke memiliki angka kematian dan angka kecacatan yang lebih sedikit.

6. Stroke adalah akhir dari segalanya

Faktanya : stroke bukanlah akhir dari segalanya. Angka kematian akibat stroke bervariasi antara 20%-30%. Hal ini berarti bahwa akan ada 70% orang yang selamat dari serangan stroke. Orang yang selamat dari serangan stroke ini dikenal sebagai “the stroke survivors”. Para stroke survivors ini memiliki derajat kecacatan yang bervariasi, mulai ringan sampai dengan berat. Penanganan terhadap kecacatan tersebut memerlukan tindakan rehabilitasi yang baik. Penelitian memperlihatkan adanya konsep neuroplastisitas yang memungkinkan perbaikan fungsi saraf sampai dengan 6 bulan pasca serangan stroke. Waktu 6 bulan inilah yang harus dikejar untuk mencapai pemulihan yang optimal. Para stroke survivors ini juga harus terus menerus memperbaiki pola hidup dan mengkonsumsi obat secara teratur untuk mencegah serangan stroke ulang.

askep penyakit typhus

ASKEP TYPHUS ABDOMINALIS
Pengertian
Typhus Abdominalis adalah :a.Penyakit infeksi akut usus halus (Juwono Rachmat, 1996).b.Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran. (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).c.Penyakit infeksi yang disebabkan oleh salmonella typhi atau salmonella paratyphi A, B, atau C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung lebih kurang 3 minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit (Soedarto, 1996).
2.Etiologi
Salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
3.Anatomi fisiologi saluran cerna
a.AnatomiSaluran gastrointestinal adalah jalur (panjang totalnya 23 sampai 26 kaki) yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus.1)MulutMulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan. Dinding dari cavum oris mempunyai struktur yang melayani fungsi mastikasi, salivasi, menelan, kecap dan bercakap. Mulut dibatasi pada kedua sisi pipi yang dibentuk oleh muskulis businatorius, atapnya adalah palatum yang memisahkannya dari hidung dan bagian atas dari faring, lidah membentuk bagian terbesar dari dasar mulut.Terdapat tiga pasang glandula salivarius (parotid, mandibular dan sublingual). Glandula salivarius mensekresikan saliva via duktus ke dalam mulut. Glandulla diinervasi baik oleh saraf parasimpatis dan simpatis (Rosa M. Sacharin, 1993).Dalam rongga mulut terdapat :a)LidahLidah menempati kavum oris dan melekat secara langsung pada epiglotis dalam laring.b)GigiManusia dilengkapi dengan dua set gigi yang tampak pada masa kehidupan yang berbeda-beda. Set pertama adalah gigi primer atau susu yang bersifat sementara dan tumbuh melalui gusi selama satu tahun pertama dan kedua. Set kedua atau set permanen menggantikan gigi primer dan ini mulai tumbuh pada sekitar umur 6 tahun. Terdapat 20 gigi susu dan 32 gigi permanen (Rosa M. Sacharin, 1993).2)EsofagusTerletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat mengempis ini, panjangnya kira-kira 25 cm (10 inci), menjadi distensi bila makanan melewatinya (Smeltzer Suzanne C, 2001).3)LambungLambung ditempatkan di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri.Lambung dapat dibagi dalam empat bagian anatomis : kardia (jalan masuk), fundus, korpus dan pilorus (outler). Otot halus sirkuler di dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol lubang diantara lambung dan usus halus (Smeltzer Suzanne C, 2001).Kapasitas lambung adalah antara 30 dan 35 ml saat lahir dan meningkat sampai sekitar 75 ml pada kehidupan minggu kedua. Pada akhir bulan pertama ini sekitar 10 ml, sementara kapasitas lambung rata-rata orang dewasa adalah 1000 ml (Rosa M. Sacharin, 1993).4)Usus halusAdalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi dan absorbsi.Usus halus dibagi 3 bagian anatomik : bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum dan bagian bawah disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak di bagian bawah kanan duodenum ini disebut sekumPada pertemuan ini yaitu katup ileosekal, yang berfungsi untuk mengontrol pasase isi usus ke dalam usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat apendiks veriformis.Terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen, segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri, dan segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Bagian ujung dari usus besar terdiri dari dua bagian kolon sigmoid dan rektum. Rektum berlanjut pada anus. Jalan keluar anal di atur oleh jaringan otot lurik yang membentuk baik sfingter internal dan eksternal.
b.FisiologiProses pencernaan mulai dengan aktivitas mengunyah, dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil yang dapat ditelan dan dicampur dengan enzim pencernaan. Saliva adalah sekresi pertama yang kontak dengan makanan.Menelan mulai sebagai aktifitas volunter yang di atur oleh pusat menelan di medulla oblongata dari sistem saraf pusat. Saat makanan ditelan, epiglotis bergerak menutup lubang trakea dan karenanya mencegah aspirasi makanan ke dalam paru-paru. Menelan, mengakibatkan bolus makanan berjalan ke dalam esofagus atas, yang berakhir sebagai aktivitas refleks, otot halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses peristaltik esofagus ini, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus makanan masuk lambung. Akhirnya, sfingter esofagus menutup dengan rapat untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.Lambung mensekresi cairan yang sangat asam dalam berespon atau sebagai antisipasi terhadap pencernaan makanan. Cairan ini yang dapat mempunyai pH serendah 1, memperoleh keasamannya dari asam hidroklorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung. Fungsi sekresi asam ini dua kali lipat :1)Untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorbsi.2)Untuk membantu destruksi kebanyakan bakteri pencernaan.Lambung dapat menghasilkan sekresi kira-kira 2, 4 L/hari. Sekresi lambung juga mengandung enzim pepsin yang penting untuk memulai pencernaan protein. Faktor instrinsik juga disekresi oleh mukosa gaster. Kontraksi peristaltik di dalam lambung mendorong isi lambungnya ke arah pilorus. Karena partikel makanan besar tidak dapat melewati sfingter pilorus, partikel ini diaduk kembali ke korpus lambung. Makanan tetap berada di lambung selama waktu yang bervariasi, dari setengah jam sampai beberapa jam tergantung pada ukuran partikel makanan, komposisi makanan dan faktor lain. Peristaltik di dalam lambung dan kontraksi sfingter pilorus memungkinkan makanan dicerna sebagian untuk masuk ke usus halus (Smeltzer Suzanne C, 2001).Proses pencernaan berlanjut ke duodenum, sekresi di dalam duodenum datang dari pankreas, hepar dan kelenjar di dinding usus itu sendiri. Karakteristik utama dari sekresi ini adalah kandungan enzim pencernaan yang tinggi. Sekresi pankreas mempunyai pH alkalin karena konsentrasi bikarbonatnya yang tinggi. Ini menetralisir asam yang memasuki duodenum dari lambung. Pankreas juga mensekresi enzim pencernaan, termasuk tripsin, yang membantu dalam pencernaan protein, amilase yang membantu dalam pencernaan zat pati dan lipase yang membantu dalam pencernaan lemak. Empedu (disekresi oleh hepar dan disimpan di dalam kandung empedu) membantu mengemulsi lemak yang dicerna.Sekresi kelenjar usus terdiri daru mukus, yang menyelimuti sel-sel dan melindungi mukosa dari serangan oleh asam hidroklorida, hormon, elektrolit dan enzim. Hormon, neuroregulator dan regulator lokal ditemukan di dalam sekresi usus, berfungsi mengontrol laju sekresi usus dan mempengaruhi motilitas gastrointestinal.Sekresi usus total kira-kira getah pankreas 1 L/hari, empedu 0.5 L/hari dan kelenjar usus halus 3 L/hari. Ada 2 tipe kontraksi yang terjadi secara teratur di usus halus :1)Kontraksi segmental yang menghasilkan campuran gelombang yang menggerakkan isi usus ke belakang dan ke depan dalam gerakan mengaduk.2)Peristaltik usus mendorong isi usus halus tersebut ke arah kolon.Karbohidrat dipecahkan menjadi disakarida dan monosakarida. Protein dipecahkan menjadi asam amino dan peptida. Lemak dicerna diemulsifikasi menjadi monogliserida dan asam lemak.Dalam 4 jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup ileusekal. Populasi bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri membantu menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu.Aktivitas peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien terhadap air dan elektrolit. Materi sisa dari makanan akhirnya mencapai dan mengembangkan anus, biasanya dalam kira-kira 12 jam sebanyak seperempat dari materi sisa makanan mungkin tetap berada direktum 3 hari setelah makanan dicerna.Distensi rektum secara relatif menimbulkan kontraksi otot-ototnya dan merilekskan sfinger anal internal yang biasanya tertutup. Sfingter internal dikontrol oleh sistem saraf otonom, sfringter eksternal di bawah kontrol sadar dari kortektes serebral.Rata-rata frekuensi defekasi pada manusia adalah sekali sehari, tetapi frekuensi bervariasi diantara individu, faeces terdiri dari bahan makanan yang tidak tercerna, materi anorganik, air dan bakteri, Bahan kekal kira-kira 75 % materi cair dan 25 materi padat (Smeltzer Suzanne C, 2001).
4.Patofisiologi
a.Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus (terutama di ileum bagian distal), ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredarahan darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikula endotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnnya.b.Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikula endotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu.c.Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.d.Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).Bagan/skema patofisiologi
5.Gambaran klinik
Gambaran klinik demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas : 10 – 20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang. Menyusul gambaran klinik yang biasa ditemukan ialah :a.DemamPada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.b.Gangguan pada saluran pencernaanPada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.c.Gangguan kesadaranUmumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Di samping itu gejala tersebut mungkin terdapat gejala lain yaitu pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, yang daapt ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang ditemukan bradikardia dan epistaksis pada anak besar (Ngastiyah ,1997).6.RelapsRelaps ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis (Ngastiyah ,1997).
7.Komplikasi
Pada usus halus :a. Perdarahan usus, bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin, jika perdarahan banyak terjadi metena.b. Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum.c. Peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat dinding abdomen tegang dan nyeri tekan (Ngastiyah ,1997).
8.Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan daerah tepi : leukopenia, aneosinofilia, anemia, trombositopenia.b. Pemeriksaan sumsum tulang : menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.c. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typhopsa pada urine dan tinja. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella typhosa pada urine dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.d. Pemeriksaan widal : didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menengakkan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
9.Penatalaksanaan
a.Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.b.Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.c.Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk. Jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan di ruangan.d.Diet makanan yang mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas.e.Obat pilihan adalah kloramfenikal dosis tinggi yaitu 100 mg / kg BB/hari (maksimum 2 gram perhari) diberikan 4x sehari peroral atau intravena.f.Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi demam hidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya. (Ngastiyah, 1997).
10.Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 % rata-rata 5,7 % (Juwono Rachmat, 1996).
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Menurut Yura (1983) proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah pasien, membuat perencanaan untuk mengatasi, melaksanakan dan mengevaluasi keberhasilan efektif akan masalah yang akan diatasinya.Proses keperawatan terdiri dari tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.PengkajianPengkajian sistem gastrointestinal meliputi riwayat kesehatan serta pemeriksaan fisik komprehensif dimulai dari rongga mulut, abdomen, rektum dan anus pasien. Tujuan tindakan ini untuk mengumpulkan riwayat, pengkajian fisik dan tes diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengatasi diagnosa keperawatan dan medis klien. (Monica Ester, 2001).Pada pengkajian penderita dengan kasus typhus abdominalis yang perlu dikaji :a.Riwayat keperawatanb.Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran (Suriadi, dkk 2001).
Diagnosa Keperawatan
a.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.b.Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.c.Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.d.Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.e.Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi (Suriadi, dkk, 2001).2.Perencanaan KeperawatanSetelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan klien.a.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.Tujuan : - Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.Intervensi :5)Nilai status nutrisi anak.6)Izinkan anak untuk makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.7)Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.8)Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering.9)Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.10)Pertahankan kebersihan mulut anak.11)Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.12)Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral. Jika pemberian makann melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anakb.Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.Tujuan : - Mencegah kurangnya volume cairan.Intervensi :1)Observasi tanda-tanda vital (suhu tubuh ) paling sedikit setiap empat jam.2)Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urine menurun, membran mukosa kering, bibir pecah-pecah.3)Observasi dan catat intake dan output dan mempertahankan intake dan output yang adekuat.4)Monitor dan catat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.5)Monitor pemberian cairan intravena melalui intravena setiap jam.6)Kurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (insensible water loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge.7)Berikan antibiotik sesuai program.c.Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.Tujuan : - Mempertahankan fungsi persepsi sensori.Intervensi :1)Kaji status neurologis2)Istirahkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil.3)Hindari aktivitas yang berlebihan.4)Pantau tanda-tanda vital.d.Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.Tujuan : - Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
Intervensi :1)Kaji aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan tugas perkembangan anak.2)Jelaskan kepada anak dan keluarga aktivitas yang dapat dan tidak dapat dilakukan hingga demam berangsur-angsur turun .3)Bantu memenuhi kebutuhan dasar anak.4)Libatkan peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar anak.e.Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi.Tujuan : - Mempertahankan suhu dalam batas normal.Intervensi :1)Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia.2)Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan.(Suriadi dkk, 2001).
3. Pelaksanaan / Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut :a.Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi.b.Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat.c.Keamanan fisik dan psikologis dilindungi.d.Dokumentasi intervensi dan respons klien.(Keliat, Anna Budi, 1999).
4.Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (diagnosa, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi.Hasil yang diharapkan pada tahap evaluasi adalah :a.Anak menunjukkan tanda – tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi.b.Anak menunjukkan tanda – tanda terpenuhinya kebutuhan cairan.c.Anak tidak menunjukkan tanda – tanda penurunan kesadaran yang lebih lanjut.d.Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat perkembangan anak.e.Anak akan menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal.(Suriadi, dkk 1999).

ETIOLOGI ASKEP VERTIGO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM SARAF

Saraf pusat Sistem saraf Saraf otonom
SimpatisParasimpatisSimpatisThorako LumbalisSitem saraf otonom thorakal 1 s/d lumbal 2
ParasimpatisKranio sacralSacral 2,3dan 4 saraf cranial dan batang otak
PEREDARAN DARAH OTAKAliran darah otak  dimuali dari : Arkus aorta  arteri karotis komunis  Arteri karotis komunis interna dan externa
Bagian-Bagian Otak1.Otak Depan  hemisfer cerebriTalamusHipotalamus2.Otak tengah / diencepalon3.Otak belakangPos varoliliMedula oblongataSerebelum
Otak dan sum – sum tulang belakang diselmuti “meningia “ yg bersifat melindungi struktur saraf yg halus
Meningia terdiri dari 3 lapisan :Piamater  melekat pada otak dan sum – sum tulang belakangArachnoid  Pemisa antara pia dan duraDuramater  lapisan luar  melapisi tengkorak
Lapisa dalam bersatu dengan lapisan luarDaerah brocca ( hubungan dengan kemampuan bicar ) Pada orang biasa — daerah brocca terletak pada hemisfer kiri  kidal — hemisfer kananDaerah wernicke,s ( hub. Dengan kemampuan untuk mendengar )  kesan atas suara diterima dan ditafsirkan .Co : bunyi gendang berbeda dengan bunyi bisisng usus
Bagian – bagian saraf yg mempersarafi dan fungsinya , serta cara pengkajiannya :Nervus 1 : Olfaktorius , mempersarafi penyiuman  klien ditutup matanyalalu tutup hidung yg sebelah  disuruh menyium bau ( the/kopi )
Nervus 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,dan 12
PERAWATAN UMUM NEUROLOGI
Gangguan KesadaranIsi Pikir :Fungsi kognitifFungsi afektifDerajat KesadaranTerhadap diri sendiuriTerhadap lingkungan
Gangguan Derajat KesadaranPenyebab : Kerusakan cerebralgangguan metabolismeDefesiensi vitaminKeracunan
Sifat :  Cepat  akutpelan – pelanIntermiten
Cepat  Strok, trauma kepala , hemoragic, TIK
TEKANAN INTRAKRANIAL MENINGKATPenyebab :Oedema otakPerdarahan otakTumor otakGejala yang muncul :nyeri kepala : tek. Pembuluh meningkat  sirkulasi menurunmuntah : tek. Meningkat pada medulla oblongataPernapasan lambat : tek. Dan anoksia medulla oblongataPapila edemaGgn motorik tek pd area 4KejangKontrol Spinkter hilang….impuls inhibisiGgn kesadaran + sensorik ….tek. Pd kortek & ascending reticular system.Ggn regulasi suhu …. Tek. HipotalamusUbun-ubun menonjol : tek.Pd tulang tengkorak
TANDA AWAL HERNIASI OTAKBerpindahnya sebagian masa otak bagian supratentorial kedalam otak tengah.
Penilaian dilakukan :• Cepat dan akurat• Didasarkan atas respon pasien terhadap stimulus yang diberi :Suara ,sentuhan, nyeri, cahaya• Ketahui adanya komplikasiPernapasan, cardiovascular, hilang reflex proteksi• Nilai pupil → Gangguan lobus temporalis• Cek adanya peningkatan TIKIskemia,aritmia,pulmonary arrest
Tanda – tanda adanya Komplikasi• TTV labil• Napas cheyne stokes , Biots• Tanda obstruksi napas↓• Lakukan pencegahan adanya aspirasi
Tangani Komplikasi :a.Resiko peningkatan TIKb.Eliminasic.Mobilisasid.Gangguan Nutrisie.Integritas kulitf.Gangguan persepsi sensorik
Untuk keluargaPeningkatan kemampuan kopingPeningkatan pengetahuan
Gangguan Fungsi Kognitifa.Menurun perhatianb.Menurunnya memoryc.Penurunan kemampuan bahasa dan persepsid.Penurunan kemampuan untuk mempuat rencana
Penyebab :Kerusakan system limbic dari kortex cerebriPenyakit metabolicHipotiroidTIAIntoksikasi obatGangguan cairan elektrolitPenyakit degenaratif
Gangguan Memory :Penyebab : Penyakit yang mengenai lobus temporal pda pusat memory↓Trauma kepalaTumorHemoragikInfarkKejangPenyakit degeneratifIntervensi :Lakukan tindakan dengan pengulanganMendemonstrasikanBeri petunjuk yang jelas dan sederhanaPakai alat – alat untuk mengingatBuat strategi khusus dalam pendidikanBeri feed back ( + )Orientasikan kerealitasPetunjuk sifat konsisten, nyataHindari yang sifat abstrakPendidikan kesehatanDischarge planning
APASIATak mampu untuk bicara
Ada dua hemisfer pada otak, salah satu dominanJika terjadi kerusakan pada hemisfer dominan , maka akan terjadi dua hal :1.Tak mampu dalm mengtarakan maksud2.Tak mampu menangkap maksudApasia dibagi dua :1.Apasia motorik2.Apasia sensorik
1.Apasia motorikArea brocca pada lobus prontal posterior – anteriorTidak bisa untuk menyampaikan maksudPeran penting perawatAwas → frustasi
2.Apasia SensorikArea wernicke,s pada hemisfer kiri → giru angularTidak mampu menangkap maksud dengan cara biasa
Intervensi :Apasia motorikPertanyaan dengan jawaban Ya dan tidakAntisipasi kebutuhanGunakan alat tulisApasia SensorikGunakan komunikasi non verbalBeri petunjuk visualBicara pendek, sederhanaHindari pembicaraan abstrak
AGNOSIAKetidakmampuan untuk mengenaldan interpretasikan suatu rangsang indera
Agnosia Visual : tidak mampu mengenal fungsi suatu bendaAgnosia warnaAgnosia mukaAgnosia taktilAgnosia astereognosis : tidak mampu menyebutkan bentuk dan ukuran benda yang diraba
APRAKSIAKetidak mampuan untuk mengerti , memformulasikan suatu perbuatan yang kompleks , tangkas dan volunteer
Penyebab : Lesi pada kedua hemisfer → pada premotor area lobus frontal dan sebagian parietal
Tindakan : sama dengan Apasia
Gangguan Tingkah laku Dan Proses PikirPenyebab : Penyakit yang mengena pada lobus prontal↓a.Trauma kepalab.Demensia alkoholikc.Atropi cerebralMasalah :Kepribadian influsifKonsentrasi menurunMood labilMiskin dalam mengambil keputusan
Gejala :Sakit kepalaIrritableHypersensitif terhadap stimulusPusingKonsentrasi amat terbatas
IntervensiOrientasi realitaBicara pelan dengan kalimat pendekTatap mukaJaga lingkunganBuat daftar kegiatan konsisten
GANGGUAN PERGERAKANBersifat volunteerDipersarafi oleh motor kortex primer dan asosiasinya↓Lobus prontalBasal gangglioCerebelumSaraf tepi
A.GANGGUAN MOTORIK MATAPenyebab :Parese Nervus 3,4 dan 6Tidak ada koordinasi antara ektra okuler
Masalah :▪ Diplopia▪ Nistagmus → Gerakan involunter▪ Strabismus
Intervensi : Tutup sebelah mata yang sakit
B.GANGGUAN MEMBUKA MENUTUP MATAPenyebab : Parese saraf cranial 7PtosisExoftalmus
Masalah :Ulserasi korneaGangguan penampilan
Intervensi :Tutup dengan kain tipis dan basahBeri eye drops secara teraturJika nyeri terus menerus→ Tanda kerusakan kornea → kolaborasi
GANGGUAN EXPRESI MUKA
Penyebab :Gangguan cerebellum → korteks motorik dan batang otakKortiko bulbar → inti saraf 7Axon perifer N. 7
Masalah :Gangguan bicara → disartriaTidak mampu untuk menghasilkan suaraGangguan makan
C.GANGGUAN DALAM MENGELOLAH MAKANAN DALAM MULUTMenelanBuka mulutMengolahMengunyahMenelan
Penyebab : Parese Nervus 5.7.9.10 dan 12Akibat : - Aspirasi- Obstruksi jalan napas
DisfagiaMakanan melalui NGTPenurunan nafsu makanGangguan interaksi socialKehilangan kemandirian
Latih secepat mungkin dengan es batu yang telah dihancurkan
D.GANGGUAN PERGERAKAN EXTERMITAS
PARALISIS :Tetra pareseHemi paresePara pareseImobilisasi → butuh bantuan meningkat
Komlikasi :Kerusakan kulitDistensi bladderKonstipasiOsteo porosis
Intervensi :Meningkatkan kemandirian pasienSegera untuk latihan jalanGunakan tongkatROM
TEMPERATURSuhu normal sangat penting untuk mempertahankan fungsi normal dari semua sel tubuh
Pusat :Hipotalamus : Dasar ventrikel IIIRefle spinal pada spinal cord → fungsi autonom↓Dilatasi dan kontiksi pembuluh darah periferHipotermiaHipertermiaIntervensi :HipotermiaSelimutPeningkatan suhu ruangan
HipertermiaTapid spongeSelimut dinginAC
ELIMINASIPusat pengendalian pada emua tingkat persarafanKortex motorik untuk menghambat pengosonganbladder dan bowelKortex sensorik : dapat mencetuskan distensi bladderdan bowel → menahan dan mengeluarkan
Pada alur kortex – sacral → pengendalian otonom↓Reflex berkemih
Gangguan yang dapat terjadiKerusakan lobus frontal → Inkontinensiua reflex neurologikj bladderKerusakan pada sekmen sacral → autonomi neurologik bladder
DampakOver distensiBatu bladderInfeksi ( cystitis )
Intervensi :Bowel trainingPasang poly cateter → jika distensiBerikan bladder training
Bowel training :Minum hangat20 – 30 beri supositoriaPosisi duduk → 15 menit kemudian defekasi terjadi
SAKIT KEPALA ( HEADACHE )
A. PengertianSakit kepala atau sefalgia adalah suatu keluhan fisik paling utama manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat menunjukan penyakit organic atau penyakit lain, respon stress , vasodilatasi atau migren , tegangan otot rangka ( sakit kepala tegang ), kombinasi respon tersebut.
B. Penyebab :Tumor intra cranialInfeksi sistemikCedera KepalaHypoxia CerebralPenyakit kronik, mata, telingaStress
C. Klasifikasi :Sakit kepala sukar dikategorikan dan ditetapkan . sedikit bukti fisiologis patologis atau uji dianostik dapat mendukung diagnosa sakit kepala.Sakit kepala mempunyai perbedaan manifestasi individual selama proses kehidupan, dan tipe sakit kepala yang sama mungkin mempunyai karakteristik yang berbeda diantara individu yang berbeda.Sakit kepala dapat diklasifikasikan sebagi berikut :
1. Migren ( dengan dan tanpa aura )1.Sakit kepala tegang2.Sakit kepala klaster
D. Patofisiologi :
Vasospasme arteri kepala → Suplay nutrisi keotak berkutang
Ischemia berkepanjangan
Dinding vascular fkasid tidak mempertahankan tonus otot
Tekanan darah meningkat
Pembuluh darah berdilatasi
Peregangan dinding arteriNeuro kinin
PENGKAJIANTemuanya tergantung pada jenis / penyebab dari sakit kepala tersebutRiwayat yang lengkap merupakan suatu hal yang penting untuk membedakan diagnostik.
Pengkajian meliputi :
Aktivitas / Istirahat :Lelah, letih , malaiseKetegangan mataKesulitan membacaInsomnia
Sirkulasi :Denyutan vaskuler misalnya daerah temporalPucat, wajah tampak kemerahan
Integritas egoAnsietas, peka rangsang selama sakit kepala
Makanan / CairanMual / muntah , anoreksia selama nyeri
Neuro sensori :Pening, Disorientasi (selama sakit kepala)
KenyamananRespon emosional/ perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah
Interaksi socialPerubahan dalam tanggung jawab peran
Diagnosa keperawatan :
1.Nyeri akut berhubungan dengan stress dan ketegangan atau vasospasme2.Gangguan pola istirahat tidur b/d nyeri3.Kurang pengatahuan berhubungan dengan kurang dengan informasi/keterbatasan kognitif.4.Resiko Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual/muntah/ anoreksia5.Cemas b/d krisis situasi
Intervensi :1. Nyeri :1.Kaji faktor-faktor fisik/emosi dari keadaan seseorang2.Catat intensitas nyeri (skala 0-10)3.Catat karakteristik nyeri (berat/ berdenyut/konstan),lokasinya,lamanya,factor yang memperburuk/meredakan4.Observasi tanda-tanda nyeri non verbal; seperti ekspresi wajah,tubuh gelisa,menangis atau meringis,perubahan frek.jantung,pernapasan,dan observasi tekanan darah5.anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan tenang,tehnik relaksasi6.Masage daerah kepala/leher /lengan jika pasien dapat mentoleransi pasien dengan sentuhan7.Kolaborasi berikan obat sesuai dengan dengan indikasi analgetik, misalnya asetaminofen,ponstan dan lain-lain.
2. Pola istirahat tidur :1.Hilangkan kebisingan / stimulus eksternal yang berlebihan2.Bicara yang tenang,. Perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek sesuai kebutuhan.3.Berikan kesempatan untuk beristirahat / tidur4.Berikan oabt sesuai indikasi ( kolaborasi )
3. Kurang Pengetahuan :1. Diskusikan etiologi indifidual dari sakit kepala bila diket2. Bantu pasien dalam mengidentifikasi kemungkinan factor predisposisi,seperti stress emosi, suhu yang berlebihan,alergi terhadap makanan/lingkungan tertentu.3. Diskusikan tentang obatnya dan efek sampingnya .4. Diskusikan mengenai pentingnya posisi/letak tubuh yang normal.5. Anjurkan pasien atau orang yang terdekat untuk menyediakan waktu agar deapat relaksasi dan bersenang-senang6. Sarankan pemakaian musik-musik yang bernuansa meyenangkan.
Cemas b/d krisis situasi :1.Kaji status mental dan tingkat kecemasan pasien / keluarga2.Berikan penjelasan hubungan antara proses penyakit dan gejalanya.3.Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.4.Berikan petunjuk mengenai sumber- sumber penyokong yang ada, seperti keluarga , konselor dll5.Jawab Setiap pertanyaan dengan penuh perhatian dan berikan informasi tentang proggnosa penyakit
5.Resiko ketidak seimbangan nutrisi1.Berikan makanan dalam jumlah kecil dalam waktu yang sering dengan teratur2.Timbang berat badan sesuai indikasi3.Kolaborasi : Konsultasi dengan ahli gizi4.Kaji cairan lambung, muntah
SARAF CRANIAL XII
PENDAHULUANSaraf otak ada 12 pasangMemeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu menentukan lokasi dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti, karenaitu perlu dipahami anatomi dan fungsinya , serta hubungannya dengan struktur lainya lesi dapat terjadi pada serabut atau bagian paniten(infranuklir), pada inti (nuklir)atau hubungannya kesentral (supranuklir).Bila ini rusak,hal ini diikuti oleh degenerasi saraf perifernya,inti saraf otak yang terletak dibatang otak letaknya saling berdekatan dengan struktur lain,sehingga jarang kita jumpai lesi pada satu inti saja tanpa melibatkan bagian lainnya.
Anatomi Dan FisiologiSaraf XII mengandung serabut somato-motorik yang menginervasi otot ekstrinsik lidah, fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakan lidah,dan otot intrinsic mengubah-ubah bentuk lidah. Inti saraf ini menerima serabut dari kortex traktus priamidalis dari satu sisi, yaiti sisi kontra lateral. Dengan demikian ia sering terkena pada gangguan peredaran darah otak (stroke),misalnya di korteks dan kapsula interna.
PemeriksaanInfeksi : Penderita di suruh membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak.Dalam keadaan istirahat kita perhatikan besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan dan ada tidaknya atrofi, apakah lidah berkerut? Apakah lidah mencong?Tremor lidah dapat di jumpai pada pasien yang sakit berat (lemah),demensia paralitik dan intoksikasi.
Fasikulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalanya pada siringobulbi,kadang-kadang kita sulit membedakan antara tremor dan fasikular terlebih lagi pada lidah yang tersungkur.Untuk memudahkan perbedaanya, lidah diistirahatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini, tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada Atetose didapatkan gerakan yang lidah terkendali,lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan sekoyong-koyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara mendadak.Jika terdapat kumpulan pada dua sisi,lidah tidak dapat digerakan atau dijulurkan.Terdapat disatria (cadel,pelo)dean kesukaran menelan, selain itu juga didapatkan kesukaran bernafas, karena lidah dapat terjatuh kebelakang sehingga menghalangi jalan nafas.
Untuk menilai tenaga lidah kita suru penderita menggerakan lidahnya ke segalah jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya, kjemudian penderita di suruh menekankan lidahnya pada pipinya,kita nilai daya tekanya dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar.Jika terdapat perasa lidah bagian kiri lidah tidak dapat ditekankan kepipi sebelah kanan,tetapi kesebelah kiri dapat
Gangguan Pada Nervus XII Dan PenyebabnyaLesi nervus dapat bersifat supra nuklir, misalnya pada lesi di kortex atau kapsula interna yang dapat di debabkan oleh misalnya pada strok, dalam hal ini didapatkan kelumpuhan otot lidah tanpa adanya atropi dan fasikular. Pada lesi nuklir didapatkan atropi dan fasikular hal ini disebabkan oleh siringgobulbi,ALS,radang,gangguan peredaran darah dan neoplasma. Pada lesi infra nuklir didapatkan atropi. Hal ini dapat disebabkan oleh proses diluar medulla oblongata tetapi masih di dalam tengkora, misalnya trauma,fraktur dasar tulang tengkorak ,meningitis atau dapat juga oleh kelainan yang berada di luar tulang tenkorak misalnya abses atau dislokasi vetebra servikalis.

* Teknik Resusitasi Jantung Paru

RJP dapat dilakukan 1 atau 2 orang.

a. Posisi Korban

Korban dalam keadaan telentang (in-line position, atau in-line immobilization pada curiga trauma cervical) pada dasar yang keras (lantai, back board, short spine board). Jangan menunda RJP untuk mencari alas keras, bila perlu korban dipindahkan ke lantai. Bila penderita terjepit dalam kendaraan, prinsip ekstrikasi dapat diabaikan (kecuali proteksi cervical) dengan segera menariknya keluar.

b. Posisi Petugas

Posisi petugas adalah setinggi bahu korban bila akan melakukan RJP 1 orang. Bila korban di lantai penolong, berlutut setinggi bahu di sisi kanan korban. Posisi paling ideal sebenarnya adalah dengan menunggangi korban, namun sering tidak dapat diterima oleh keluarga korban.

c. Tempat Kompresi

Tepatnya 2 inci di atas processus Xiphoideus pada tengah sternum. Atau untuk memudahkan dan tidak membuang waktu yang berharga bagi nyawa, langsung menentukan posisi penekanan di sternum setinggi garis khayal yang menghubungkan kedua papilla mammae. Lalu telapak tangan yang lebih dominan diletakkan di titik yang sudah ditentukan dengan tangan yang satunya membantu menekan dengan diletakkan di atas tangan yang lebih dominan tadi. Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum namun tidak boleh menyinggung dada korban. Pada anak <8 tahun, cukup dengan satu telapak tangan, 1 jari di atas proc. Xiphoideus. Pada bayi, dengan 2 atau 3 jari pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae.

* Resusitasi Cairan

Respon endokrin berlangsung setelah cedera menyebabkan retensi natrium, klorida, dan cairan pada saat pemberian cairan yang mengandung natrium dalam jumlah besar untuk mempertahankan sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Retensi natrium, klorida, dan cairan juga terjadi sebab terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah terhadap protein plasma khususnya albumin, yang menyebabkan sequestrasi cairan kedalam ruang interstisial dan terjadi edema. Retensi cairan dan elektrolit yang berlebihan dan edema interstisial berhubungan dengan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome dan MOD (Multiple Organ Dysfunction) dan failure. Hubungan tersebut membuat kita untuk mencoba meninjau proses ini dan menimbulkan pertanyaan “Dapatkah manipulasi resusitasi cairan mempengaruhi respon inflamasi terhadap cedera dan fungsi organ”. Hasil penelitian klinik dengan metode prospektif control menganjurkan pembatasan input natrium dan klorida dan mengoptimalkan koloid sintetik yang tertahan baik di ruang vaskuler dapat mengurangi respon inflamasi terhadap cedera dan memperbaiki fungsi organ.

Resusitasi cairan
Komposisi cairan ekstraselluler pada tubuh seperti lautan yang didalamnya terdapat kehidupan beribu tahun yang lalu. Mekanisme homeostatik terjadi untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler dalam waktu singkat. Respon ginjal terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, otak, dan hormon serta aksis pituitary posterior-vasopresin-renal untuk mempertahankan tonisitas dan natrium cairan ekstraselluler dan membantu mempertahankan tekanan darah. Setelah adanya gangguan seperti perdarahan, trauma tumpul, luka baker, infeksi, puasa, dan dehidrasi; melalui proses yang sama timbul respon secara langsung untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler.
Cedera atau pasien dengan penyakit akut, terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan bersamaan dengan respon homeostasis. Penelitian ini diarahkan untuk menjelaskan respon tubuh dan k penggunaan resimen resusitasi cairan yang berbeda pada proses inflamasi dan fungsi organ. Belum ada konsensus tentang resimen cairan yang optimal untuk mengganti volume cairan akut setelah operasi atau trauma dan usaha untuk menjawab hal ini berdasarkan meta-analisis belum berhasil. Data yang digambarkan disini penelitian dengan pendekatan studi klinik prospektif kontrol yang mengawasi respon patofisiologi dan fungsi organ lebih informatif dan memberikan dasar bukti (evidence base) untuk memperbaiki terapi cairan pada pasien akut.
Homeostasis cairan dan natrium setelah cedera
Respons stress setelah gangguan seperti pembedahan , trauma, perdarahan, luka baker, dan cardiopulmonary arrest menyebabkan penyimpanan natrium dan cairan serta vasokonstriksi selektif untuk mempertahankan suplai darah ke otak, jantung, dan paru.

Intake natrium orang dewasa bervariasi tergantung diet, tetapi biasanya berkisar 100 sampai 220 mmol/24 jam, yang disertai 1,5 -2,5 liter air. Walaupun kisaran intake air dan garam lebar, tetapi ginjal mempertahankan konsentrasi natrium cairan ekstraselluler dalam kisaran yang sempit melalui vasopresin, renin-angiotensin-aldosteron system, otak, serta atrial natriuretik peptide.
Sementara itu, pasien setelah trauma major biasanya diberikan cairan dan natrium dalam jumlah lebih. Kehilangan darah dan inflamasi menginduksi kebocoran kapiler sistemik, yang cenderung membuat pasien hipovolemik. Ditambah lagi penggunaan anastesi untuk pembedahan dapat mengurangi resistensi vascular sistemik yang juga akan cenderung membuat pasien hipovolemik. Efek ini membuat kita memberikan darah dan cairan intravena, air dan garam dalam cairan yang beberapa kali dari intake normal sehari-hari.
Input cairan selama 24 jam pada pasien yang menjalani resusitasi untuk trauma major digambarkan pada tabel 1. Pasien tersebut akan mengalami respons stress berupa peningkatan sekresi vasopresin, renin, angiotensin II, aldosteron, dan penurunan pelepasan natriuretik peptide. Jadi, penambahan cairan dan natrium yang telah diberikan untuk mengisi kompartemen vaskular yang hilang dan mengganti kehilangan darah akibat trauma dan kehilangan selama operasi, tubuh pasien akan menahan air dan natrium secara intensif. Pada 24 jam pertama output urine berkisar 1000 ml dan ekskresi natrium sekitar 50 mmol. Jika kehilangan darah 5000 ml dan insensible losses 800 ml, pada akhir 24 jam pertama pasien berada dalam balans cairan positif sekitar 8800 ml dan balans natrium positif sekitar 1500 mmol. Tabel ini memperlihatkan adanya kelebihan cairan, gambaran cairan dan elektrolit postoperative yang menunjukkan bahwa pasien kemungkinan menerima sekitar 7000 ml air dan 700 mmol natrium dan klorida pada hari pertama postoperative. Apa yang terjadi pada pasien setelah kritis. Keadaan ini digambarkan pada dua kasus yang berbeda pada trauma major. Balans cairan dan elektrolit setelah dikoreksi kehilangan cairan insensible diperlhatkan pada gambar 2-5.
Pasien A (gambar 2) berespon cepat terhadap resusitasi cairan dan pemberian resusitasi cairan berhenti pada hari ke empat dan mendekati balans nol pada hari ke 5. Rasio pO2/FiO2 diatas 40 kpa menunjukkan fungsi paru tetap baik dan pasien bernafas biasa pada hari ke 10 dan meninggalkan ICU pada hari ke 12. Walaupun menerima natrium melebihi 1100 mmol natrium setelah hari ke 3, balans natrium kumulatif mendekati nol pada hari ke 6 (gambar 3).

Sebaliknya pasien B (gambar 4 dan 5) membutuhkan volume koloid dan kristaloid dalam jumlah besar untuk mempertahankan parameter kardiovaskular dalam batas yang dapat ditoleransi dan rasio pO2 /FiO2 tetap rendah. Adanya retensi air maksimum pada hari ke 8 dimana titik rasio pO2/FiO2 paling rendah dan pasien telah berkembang menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (gambar 4). Ketika pemberian diuretik dimulai, terjadi perbaikan fungsi paru yang disertai dengan mobilisasi natrium dan air. Pada hari ke 15 pasien menjadi septik dengan jatuhnya rasio pO2/FiO2 dan disetai retensi cairan rekuren. Tidak seperti pasien A, keseimbangan natrium dengan keseimbangan cairan berdekatan pada hari ke 13, dengan loading natrium maksimum pada hari ke 8 dan natriuresis progresif sampai hari ke 15, dan retensi natrium pada saat itu terjadi berhubungan dengan sepsis.

Ekskresi air dan natrium lebih diterima oleh tubuh pasien dengan respon katabolik pada pembedahan, trauma, atau sepsis. Kembali pada pasien B, gambar 6 menunjukkan serum C reactive protein ( marker umum inflamasi) dan ekskresi urea urine. Adanya peningkatan serum C reactive protein post trauma ,yang ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih besar berhubungan dengan ARDS (hari 9-14) dan sepsis (hari 15-19).
Setiap periode inflamasi disertai dengan peningkatan ekskresi urea nitrogen urine. Gambar 7 menunjukkan perhitungan osmolalitas urine (perkiraan kasar berasal dari penggandaan jumlah natrium dan kalium dan menambah jumlah ekskresi urea) dan menggambarkan kelebihan zat terlarut ginjal diekskresikan . Urea urine sangat penting dalam menentukan osmolalitas urine dan selama episode inflamasi urine dengan tekanan osmotik berlebih ditingkatkan ekskresinya dan disertai dengan hipernatremia. Hal ini terjadi karena ekskresi natrium pasien B harus berkompetisi dengan nitrogen yang juga penting diekskesikan dan hipernatremia berlangsung selama peride ekskresi nitrogen urine lebih besar. (gambar 7). Pada orang sehat sekalipun, konsentrasi urine yang dapat dicapai berkisar 1000 mmol/l, dan pada pasien kritis biasanya hanya setengah dari nilai ini. Jika input cairan bebas tidak cukup, akan mengakibatkan hipernatremia maupun uremia dan usaha untuk mobilisasi edema terganggu dengan keadaan hiperosmolar merangsang pelepasan vasopressin dan menambah retensi cairan.Penanganan edema yang logis pada keadaan ini adalah peningkatan volume urine denganmeningkatkan input air dan memberikan diuretic jika penting untk mencegah efek vasopressin. Jika hal ini gagal makahemofiltrasi mungkin dibutuhkan.

Biasa juga terjadi hiponatremia p
ada pasien akut yang telah mendapatkan cairan intravena. Keadadaan ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai indikasi untuk memberikan natrium lebih, walaupun penyebab hiponatremi karena defesiensi natrium. Biasanya pasien seperti itu mempunyai kandungan natrium total tubuh tinggi, khususnya jika pasien memiliki balans cairan positif. Konsentrasi natrium dan kalium merupakan indikator sangat jelek pada status tubuhnya.
Ada beberapa penjelasan yang mungkin untuk hiponatremia dengan natrium tubuh total berlebihan, dimana terjadi akumulasi cairan pada ruang interstisiel disebabkan oleh translokasi albumin dan cairan melalui kapiler yang bocor, dan retensi cairan disebabkan oleh stress berhubungan dengan pelepasan vasopressin. Natrium juga hilang dari ruang ekstraselluler masuk ke dalam sel.Teori “sick cell syndrome” yang menjelaskan hiponatremia kronik, menjelaskan bahwa pergerakan natrium kedalam sel terjadi karena hilangnya solute intraselluler dan tidak ada edema selluler. Namun, peneliatian pada hewan membuktikan bahwa cedera akut dan inflamasi menyebabkan sekuestrasi natrium, klorida,dan air serta mungkin menyebabkan edema selluler. Cunningham dan Shire menunjukkan adanya peningkatan dua kali pada natrium sel darah merah dan penurunan kalium sel darah merah setelah shock yang lama pada 25 pasien. Pada kasus khusus, konsentrasi natrium sel darah merah meningkat 12 mmol/l dalam 5 jam dari awal shock, dan kembali normal dengan cepat setelah pembedahan repair laserasi arteri mesenterika. Peneliti mengemukakan bahwa defesiensi energi intraselluler dapat menyebabkan penurunan aktivitas pompa natrium- kalium sel yang menyebabkan natrium masik ke dalam sel. Ditambah lagi dengan adanya deficit energi sel sehingga terjadi hipoksia, pelepasan nitric oxida yang lama pada inflamasi hebat yang menghambat fungsi kompleks VI mitokondrial dan mengurani persediaa ATP. Terdapat banyak penelitian pada hewan menunjukkan perubahan aktivitas pompa natrium kalium sel sebagai respon dari bermacam intervensi. Hannon dan Boston memperhatikan pergerakan natrium, klorida, dan air kedalam sel otot skeletal dalam 12 jam pada ligasi dan tusukan pada sekum tikus. Attempting to assess accurately sodium balance is very difficult, but assuming there are no major errors in assessing sodium balance, a plausible explanation is intracellular sequestration of sodium
Pasien B mungkin mengalami akumulasi natrium intrasel. Pada hari ke 8 pasien dengan balans cairan positif sebanyak 15 liter (gambar 4) dengan balans natrium positif 2900 mmol (gambar 5). Konsentrasi natrium ekstrasel adalah 138 mmol/l (gambar 7). Kandungan natrium dalam 15 liter dapat dihitung (138×15) dan menjadi 2070mmol, sehingga balans sodium positif sekitar 830 mmol natrium. Usaha untuk menghitung dengan tepat balans sodium sangat sulit, tetapi tidak ada kesalahan yang sangat besar dalam menghitung balans natrium ini , yang jelas pemahaman tentang sekustrasi intraselluler dapat diterima.
SYSTEMIC CAPILLARY LEAK AND SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME
Mikrosirkulasi setelah cedera disertai dengan edema interstisial oleh karena peningkatan permeabilitas sistemik dan dalam keadaan hebat edema sel dapat menghambat aliran darah kapiler. Kebocoran kapiler sistemik merupakan ciri respon inflamasi sebagai tanda cedera, infeksi, atau iskemik, dan gangguan perfusi. Hal ini terjadi dalam beberapa menit dari cedera sesuai dengan kehebatan gangguan dan pada kasus tanpa komplikasi berlangsung dalam beberapa jam. Klinis sindrom kebocoran kapiler ditandai oleh pergerakan air dan protein lebiiiiih banyak dari ruang vaskuler ke interstisiel karena hipoalbuminemia, meningkatnya kepekatan darah, hipovolemia dan akumulasi edema cairan interstisial. Walaupun demikian, mekanisme inflamasi menginduksi kebocoran kapiler belum jelas. Saat ini sudah jelas respon sel endothelial terhadap pelepasan mediator inflamasi. Setelah stimulasi inflamasi neurogenik oleh substansi P, sel endothelial trakea tikus diteliti lagi dengan scan elektromikroskopi. Melalui gap sel endothelial ini protein berpindah, yang paling banyak adalah albumin. Setiap gram albumin berikatan dengan 18 gram cairan isotonik yang berperan dalam mekanisme terjadinya retensi air dan garam dan terjasinya edema interstisial. Oleh karena 60 % albumin tubuh normalnya berada di ruang interstisiel dan jumlah ini meningkat setelah cedera atau sepsis disebabkan karena kebocoran kapiler, larutan albumin bukan pilihan ideal yang efektif untuk peningkatan cairan kompartemen vaskuler.
Edema interstisiel mempengaruhi fungsi organ dengan membatasi aliran darah kapiler, pertukaran gas, dan oksigenasi jaringa. Hal ini berperan penting dalam paru menyebabkan ARDS dan pada ginjal dimana edema interstisial menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal yang melawan tekanan filtrasi yang dialirkan oleh jantung. Sindroma kebocoran kapiler yang tidak terkendali dan menyebabkan respon inflamasi sistemik yang hebat yang dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS berhubungan dengan overload cairan, edema, kegagalan organ multiple, dan kematian jika gagal mempertahankan homeostasis.
Sifat khusus dalam mekanisme pemekatan ginjal mampu mengekskresikan albumin dalam jumlah kecil (mikroalbuminuria) dapat digunakan untuk mengetahui perubahan permeabilitas kapiler sistemik setelah trauma, luka baker, operasi, iskemik dan reperfusi dan keadaan innflamasi lain seperti pankreatitis. Penelitian ini menunjukkan adanya mikroalbuminuria terjadi dalam beberapa menit terjadinya inflamasi, tergantung beratnya keadaan awal dan diperkirakan akan terjadi ARDS setelah trauma,disfungsi pulmoner setelah operasi elektif, infark miokard akut, kegagalan organ multiple, dan kematian selama di ICU. Gambar 9 menunjukkan pola khusus respon tubuh terhadap gangguan permeabilitas kapioler sistemik (mikroalbuminuria) dan mediator inflamasi (plasma interleukin 6) dan marker plasma (serum C reactive protein).
Kegagalan ekskresi kelebihan air, natrium, dan klorida setelah resusitasi disebabkan karena iatrogenic atau karena efek respon inflamasi yang hebat. Apapun penyebab overload cairan dan edema, sekali proses berlangsung, akan terjadi siklus berikutnya.
Tabel bagaimana overload cairan dapat menyebabkan edema
Kardiovaskuler
• Peningkatan preload mengurangi cardiac output edema
• Edema pulmoner hipoksia jaringan kegagalan mikrovaskular edema jaringan
Mikrovaskular/sellular
• Edema Interstitial mengurangi aliran darah kapiler hipoksia jaringan memperberat edema
• Edema Interstitial mengurangi drainase lymphatic memperberat edema
• Edema Interstitial menyebabkan tingginya tekanan intrakapsular: rendah GFR, oliguria, selanjutnya retensi natrium dan air memperberat edema

Metabolik
• Kelebihan natrium bersaing dengan urea untuk ekskresi dalam ginjal : uremia, hypernatremia, hiperosmolaritas, retensi cairan memperberat edema
• Kelebihan klorida menyebabkan asidosis hiperkloremik : memperburuk asidosis post trauma, vasokonstriksi renal ? memperberat edema
Efek Loading natrium dan klorida
Penambahan volume cairan intravena harus isotonic dengan plasma. Hal ini dicapai dengan pemberian natrium dalam cairan dengan jumlah 130-150 mmol/l, dengan klorida sebagai anion utama. Oleh karena resusitasi cairan sangat penting, maka penambahan natrium, klorida, dan air pada akhirnya harus diekskresikan jika pasien telah pulih. Pemberian cairan intravena berlebih pada pasien yang aktif menahan air dan natrium dapat menyebabkan overload, Lebih 50 tahun yang lalu, Wilkinson menggambarkan ketidakmampuan pasien pembedahan untuk mengekskresikan kelebihan garam dan air sampai pulih. Moore menggambarkan “ Fase retensi urine” dan fase diuresis natrium “ pada cedera dan mengamati kemampuan ekskresi natrium klorida dan air pada pemulihan. Setelah bedah major atau trauma, terdapat resiko edema pada paru, ginjal, dan saluran cerna dan bahaya ini ditambah dengan pemberian cairan, natrium, dan klorida berlebih dengan gegabah. Membatasi input natrium
dan penggunaan diuretik merupakan penanganan utama baik pada penyakit jantung kongestif dan penyakit liver untuk megurangi edema dan asites.
Retensi air dan natrium yang hebat menyebabkan edema interstisial, fungsi paru jelek, ARDS, dan kegagalan organ multiple. Sebagai dasar pandangan sekarang ini bahwa pasien dengan balans positif lebih dari 67 ml/kg dala waktu 36 jam pertama post operatif, sangat beresiko edema pulmoner. Hal ini menimbulkan pertanyaan “ Untuk apa pemberian cairan dan natrium berlebih pada penanganan pasien akut yang tak dapat dihindari yang akhirnya dapat menyebabkan edema interstisiel, disfungsi organ, dan keadaan yang jelek.
Penelitian baru-baru ini, baik pada orang normal maupun pada pasien akut menyarankan bahwa loading dengan natrium, klorida, dan air mempunyai efek merusak dan membatasi input natrium dan klorida menguntungkan. Dengan metode double blind cross over study, 10 relawan yang sehat diacak menerima 2 liter natrium klorida 0,9 % dan 2 liter dextrose 5 % secara intravena dalam waktu 60 menit Setelah 6 jam infuse salin, hanya ¼ loading cairan yang diekskresikan, tetapi setelah 6 jam infuse dextrose, ¾ loading cairan diekskresikan dengan diuresis cepat. Hanya loading salin yang disertai hipernatremia, hiperkloremia, dan konsentrasi albumin serum yang tetap turun. Perbandingan infus intravena dengan 50 ml/kg 0,9 % salin ( natrium dan klorida 154 mmol/l) atau larutan ringer laktat (sodium 130 mmol/l dan klorida 113 mmol/l) pada subjek normal menunjukkan bahwa dengan subjek dengan salin berkembang menjadi asidosis metabolic hiperkloremik. Hasil ini dipertahankan berdasarkan respon fisiologik secara teori terhadap loading natrium dan klorida. Kesalahan pemberian nama “normal salin” , kandungan natrium dan klorida diatas normal, dimana osmolalitas 304 mosm/kg ddapat menstimulasi pelepasan vasopresi dan menyebabkan penahanan cairan.Hyperchloraemia causes renal vasoconstriction.
Hiperkloremia menyebabkan vasokonstriksi ginjal, yang merupakan mekanisme lain yang meyebabkan retensi cairan setelah loading saline. Garam mengandung larutan koloid yang mempengaruhi keadaan asam basa. Waters dan kawan-kawan membandingkan pemberian intravena 15 ml/kg hydroxyethyl starch 6 % (mengandung 150 mmol/l klorida) dan albumin (mengandung klorida 98 mmol/l). Hanya kelompok yang menerima starch menunjukkan asidosis metabolic, yang mengandung klorida lebih tinggi dari kandungan pada albumin manusia.
Kandungan natrium dan air pada intravenous feeding pre operatif pada pasien malnutrisi menunjukkan adanya perubahan. Lobo dan kawan-kawan melakukan penelitian retrospektiv pada 44 pasien dengan pemberian nutrisi dimana 21pasien sedang mengalami edema. Bantuan nutrisi pada kelompok edema diberikan makanan dengan natrium dan volume yang rendah. Kelompok pasien edema berat badan turun kira-kira 10 kg karena mobilisasi natrium dan air disertai dengan peningkatan konsentrasi albumin serum yang menyebabkan perubahan berat badan. Gil dan kawan-kawan mengacak 41 pasien dengan kanker gastrointestinal dan malnutrisi hebat dengan pemberian resimen parenteral isokalori dan isonitronenik preoperative. Resimen standard mengandung 140 mmol/hari natrium dan resimen modiifikasi tanpa natrium dan kuran air. Penambahan berat badan, balans cairan positif, dan balans natrium positif ditemukan pada keompok dengan resimen modifikasi, dan balans cairan dan balans natrium negatif pada kelompok dengan resimen modifikasi. Terjadi penurunan komplikasi post operatif dan lama tinggal dirumah sakit pada pasien yang diberikan resimen modifikasi. Starker dan kawan-kawan memonitor efek rata-rata satu minggu pemberian nutrisi parenteral total sebelum operasi abdominal pada pasien yang kehilangan nutrisi. Pasien ini difollow up untuk melihat komplikasi post operatif. 16 % pasien berespon terhadap TPN dengan mobilisasi edema dan peningkatan serum albumin dan hanya 1 yang mengalami komplikasi postoperatif. 16 pasien yang lain bertambah berat badan dan albumin serum turun.Delapan pasien dari 15 berkembang menjadi komplikasi postoperatif. Kegagalan mobilisasi edema pada nutrisi parenteral menghasilkan prognosis jelek.
Laporan ini menunjukkan pembatasan input natrium, klorida, dan air dapat mempengaruhi akibatnya. Hal apa yang menyebabkan kurangnya pemahaman tentang dasar-dasar pemberian cairan intravena termasuk UK dan kegagalan terapi yang sering walaupun menggunakan pengukuran elektrolit dan nitrogen untuk mengoptimalkan terapi cairan.
Larutan hipertonik
Walaupun efek merusak loading natrium dan klorida, peningkatan tonisitas plasma pada periode awal post trauma telah diakui berpengaruh terhadap fungsi organ dan menjadi subjek penelitian 20 tahun belakangan ini. Penelitian secara klinis stelah trauma kepal menyarankan pada awalnya diterapi denga larutan hipertonik dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan tekaan perfusi otak, dan memperbaiki hasil terapi, dibandingkan dengan resusitasi isotonis.Namun, pasien dengan trauma kepala yang juga terjadi hipovolemik, larutan hipertonik hanya berguna pada awal terapi dan tidak boleh sebagai terapi tunggal.

Studi klinis dengan menggunakan larutan hipertonik untuk penanganan shock hipovolemik tidak menunjukkan keuntungan yang terus-menerus menurunkan mortalitas data morbiditas, walaupun hal ini mungkin diakibatkan oleh rumitnya model studi klinis “yang digunakan dan bervariasinya efek dari larutan hipertonik.
Untuk menilai akibat yang berbeda dari resimen resusitasi cairan yang berbeda terhadap mortalitas dan morbiditas, jjumlah pasien yang banyak dibutuhkan untuk studi klinis untuk mempunyai data yang cukup kuat. Kesulitan lain adalah banyaknya jenis cairan yang digunakan sebagai perawatan standar, yang membuat pemilihan resimen kontrol sama penting pada saat entervensi penelitian. Akibatnya inklusi subjek penelitian dari beberapa penelitian seperti saline hipertonik dengan atau tanpa koloid seperti dextran, yang dilakukan resusitasi pada trauma, shock hemoragik, luka bakar dengan mengurangi volume cairan yang dibutuhkan, dan beberapa yang diperbaiki fungsi parunya. Mekanisme dasar keuntungan yang didapatkan pada studi klinis ini belum jelas, tetapi terlihat bahwa hal ini menyebabkan efek osmotik/biofisik membatasi edema interstisial sebab volume cairan hipertonik yang diberikan sedikit. Dan infus larutan hipertonik menarik cairan dari ruang interstisial untuk menambah ruang vaskuler yang hilang adalah efek dalam waktu singkat, dan defisit yang masih ada perlu dikoreksi.
Bukti baru-baru ini dari pwnwlitian klinis, hewan, dan secara in vitro menunjukkan bahwa manipulasi osmolalitas plasma (tonisitas) segera setelah trauma mempunyai efek immunomodulas, yang mempengaruhi mikrosirkulasi dan berpotensial memberikan efek. Pemberian salin hipertonik segera dengan atau tanpa dextran, pada hewan yang shock hemoragik mengurangi ikatan endothelial neutrofil. Namun, pemberian salin hipertonik setelah stimulasi neutrofil, meningkatkan degranulasi neutrofil, pelepasan elastase, dan produksi radikal bebas, yang menjadi proses patogenesis cedera paru dan kegagalan organ. Jadi, penggunaan larutan hipertonik mempengaruhi respon immun proinflamasi tergantung waktu pemberian setelah cedera dan pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko kegagalan organ kemudian. Waktu kritis menjadi tambahan penjelasan hasil yang diperdebatkan dari pemberian segera resimen resusitasi hipertonik.
Penelitian secara in vitro juga menunjukkan salin hipertonik mempengaruhi supresi immune post-traumatik. Post-trauma menekan sel T manusia, dan sel dapat disupresi dengan sitokin anti-inflamasi (interleukin 4 dan 10 dan TGF) dan dapat dinaikkan dengan salin hipertonik dengan menghasilkan 80 % dari normal interleukin yang dikeluarkan. Hanya dengan terdapatnya agen anti-inflamasi salin hipertonik memperkuat ekspresi interleukin 2 dan proliferasi dari sel T. Studi lanjut menunjukkan salin hipertonik dapat mengembalikan supresi sel T pada pasien trauma dengan cara menghambat atau subtitusi yang memblok signal pathway.
Hasil ini menunjukkan bahwa larutan hipetonik
dapat bernilai pada akut hipovolemia, tetapi diberikan sebelum resuritasi cairan : keterlambatan pemberian dapat memperkuat aktivasi respon inflamasi neutrofil-sel endothelial. Larutan salin hipertonik tidak dianjurkan untuk resusitasi cairan, tetapi dapat sebagai obat yang berperan meningkatkan sistem immune jika diberikan sesegera mungkin setelah cedera sebelum terapi volume dimulai. Informasi ini seharusnya mempengaruhi penelitian dengan design klinikal trial pengguanaan larutan hipertonik pada penanganan trauma prehospital dan hospital.
Efek berbagai koloid
Sejak pertengahan abad lalu, larutan albuumin manusia merupakan utama untuk menambah volume, dan telah dicari alternatif buatan karena albumin manusia sangat mahal daripada koloid sintetik atau larutan kristaloid. Apalagi resiko infeksi saat ini ddari produk darah menambah permintaan koloid sintetik. Larutan yang ideal volume ekspander yaitu yang tetap tinggal di ruang vaskuler, tidak mempengaruhi homeostatik, inert (tidak terurai), dan diekskresikan total. Hal ini dikembangkan berbagai macam koloid termasuk gelatin dengan berat molekul rendah dengan berat rata-rata 30 kDa, dextran dengan berat molekul rata-rata antara 40 sampai 150 kDa, dan jenis Hydroxyethiyl starch (HES) yang disediakan dengan berat molekul rata-rata 70 kDa sampai 450 kDa. Larutan HES dengan berat molekul tinggi yang dikenal hetastarhes, tetap tertahan di sirkulasi selama beberapa jam dan cenderung mempengaruhi koagulasi, tetapi tetapi sediaan HES sekarang sedikit menimbulkan masalah dengan berat molekul rata-rata sekitar 100 kDa sampai 200 kDa dan dengan berat rendah mempercepat degradasi dan ekskresinya. Secara umum tanpa memandang perbedaan harga dan anekdot penggunaan koloid lebih berdasarkan keadaan klinis daripada efesiensi. Namun, penelitian tentang efek penggunaan koloid yang berbeda terhadap respon inflamasi dan fungsi organ tetap diamati dan memerlukan penelitian dengan studi klinis komparatif prospektif.
Bukti klinis dan studi in vitro yang membandingkan HES dengan albumin, gelatin, dan ekspansi volume hanya dengan koloid, menunjukkan bahwa HES mengurangi inflamasi yang menginduksi kebocoran kapiler terhadap air dan albumin yang kemungkinan memodulasi pelepasan sitokin dan interaksi leukosit dengan endothel vaskular.
HES mempunyai keuntungan klinis yang berbeda dibanding dengan cairan lain, dimana keadaan biofisik HES yang tidak sederhana tertahan lebih baik pada kebocoran vaskuler. Bolt dan kawan-kawan mengacak 30 pasien trama dan 30 pasien sepsis yang menerima 10 % HES (berat molekul rata-rata 200 kDa) atau 29 % albumin manusia yang diinfus selama 5 hari untuk mempertahankan tekanan kapiler pulmoner antara 12 mmHg dan 18 mmHg. Tekanan vena sentral dan tekanan kapiler pulmoner dibandingkan dalam kedua kelompok (trauma/sepsis) selama penelitian. Baik pada pasien trauma maupun paien sepsis, kardiak indeks, konsumsi oksigen, dan distribusi aksigen, meningkat dengan pengguanaan HES. Fraksi ejeksi ventrikel kanan berkurang (<40%) pada pasien dengan pemakaian albumin dan meningkat pada kelompok yang memakai HES. pHi intramukosa gastrik, sebagai marker keadaan perfusi splanikus, tetap normal (>7,35) baik pada penanganan dengan albumin dan HES pada kelompok trauma dan penggunaan HES pada pasien sepsis. Pemberian albumin pada pasien sepsis, pHi turun dibawah 7,20 selama penelitian yang menunjukkan menurunnya perfusi splanikus. Peneliti menyimpulkan terapi cairan albumin dalam waktu yang lama pada pasien trauma dan pasien sepsis tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan HES. Penggantian volume dengan HES memperbaiki hemodinamik sistemik pada kedua kelompok, dan memperbaiki perfusi splanikus pada pasien sepsis.
Pada percobaan denga metode acak prospektif penggunaan HES dibandingkan dengan kristaloid pada 30 pasien yang mengalami operasi aorta, Marik dan kawan-kawan juga meneliti perfusi splanikus dengan pengukuran pHi. Penurunan pHi sedikit terjadi pada kelompok dengan pemberian HES dan balans cairan positif intraoperatif menurun pada kelompok ini. Peneliti menyimpulkan bahwa selama bedah mayor resusitasi volume dengan HES dapat memperbaiki aliran darah mikrovaskuler dan oksigenasi dibandingkan dengan hanya dengan pemakaian resimen kristaloid.
Dengan pengukuran pHi dan hemodinamik parameter, Bold dan kawan-kawan meneliti fungsi hati dan regulasi sirkulasi pada pasien trauma (n=28) dan sepsis (n=28) yang diacak menerima resusitasi albumin dan HES. Konsentrasi plasma terhadap vasopresin, endothelin-1, adrenalin (epinefrin), noradrenalin (norepinefrin), atrial natriuretik peptida, dan 6-keto-prostaglandin F1? diukur pada hari perawatan intensif (trauma pasien) atau pada pasien sepsis dan pengukuran tiap hari selama 5 hari. Fungsi hati dinilai tiap hari dengan menggunakan monoethyl glycinexylidide test (MEGX). Mean arterial pressure, heart rate, dan tekanan kapiler pulmoner tidak berbeda pada kedua koresponden (trauma/sepsis). Kardiak indeks meningkat secara bermakna pada HES daripada albumin. pHi dan konsentrasi MEGX plasma tidak berbeda pada kedua kelompok pasien trauma, tetapi kedua nilai lebih rendah pada pasien sepsis dan meningkat pada dengan jelas pada penggunaan HES daripada albumin. Pada pasien trauma, konsentrasi semua regulator vasoaktif sama pada pemakaian albumin dan HES. Pada kedua kelompok sepsis, vasopressor (vasopresin, endothelin-1, noradrenalin, dan adrenalin) meningkat diatas garis normal dan menurun secara bermakna pada pemakaian HES daripada albumin. Konsentrasi atrial natriuretik peptida meningkat hanya pada pasien dengan terapi albumin, sementara konsentrasi 6-keto-prostaglandin F1 menurun bermakna hanya pada pasien sepsis dengan pemberian HES. Hasil ini menunjukkan bahwa HES lebih efektif sebagai volume ekspander daripada albumin, khususnya pada pasien sepsis.
Younes dan kawan-kawan menelit secara acak pasien trauma dengan hipovolemik hemoragik dengan HES(n=12) atau salin isotonik (n=11). Cairan diberikan 250 ml bolus ampai tekanan sistolik >100 mmHg. Karena rata-rata kematian sama pada kedua kelompok , pemberian cairan yang kurang dibutuhkan pada pasien yang diberikan HES, dimana retensi vaskular lebih baik pada HES dibandingkan dengan salin.
Dengan studi prospektif acak, peneliti membandingkan resusitasi dengan HES (10 % Pentaspan)(n=20) atau gelatin (n=21) pada 24 jam pertama pada pasien trauma tumpul. Permeabilitas kapiler dinilai dengan menilai kecepatan rata-rata ekskresi albumin urin setiap 6 jam , dimana pada kelompok HES terjadi penurunan ½ selama 8-12 jam . Setelah 48 jam rasio rata-rata pO2/FiO2 lebih tinggi pada kelompok HES dan serum C reactive protein lebih rendah.Tidak ada perbedaan bermakna pada faktor koagulasi selama 5 hari. Penelitian yang lain terhadap pasien yang menjalani repair aneurisma aorta abdominal, secara acak menerima HAES atau gelatin selama 24 jam , menunjukkan penurunan yang sama permeabilitas kapiler sistemik perioperatif, komplians paru meningkat, dan rasio pO2/FiO2 dan tingginya pHi yang menunjukkan kurangnya iskemik splanikus. Kelompok HES juga menunjukkan rendahnya dalam sirkulasi postoperatif konsentrasi interleukin 6, C reaktif protein dan von Willebrand endothelial dalam sirkulasi, menunjukkan adanya efek proteksi endothelial vaskular dan anti inflamasi pada pasien diterapi HES. Konsentrasi kreatinin serum juga rendah pada pasien diterapi ES. Pada studi acak dengan terapi HES pada pasien trauma (n=15) atau 20 % pasien dengan terapi albumin (n=15) untuk terapi volume, konsentrasi sELAM plasma ( Endothelial Leucosyte adhesion molecul), sICAM ( intercellular adhesion molecule-1), vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1), and granule membrane protein 140 (sGMP-140) lebih renda pada kelompok HES selama 5 hari. Studi ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan albumin, gelatin, atau resimen kristaloid, resusitasi dengan HES dengan berat molekul sedang mengurangi kebocoran kapiler postrauma, memperbaiki pertukaran gas pulmoner, dan mengurangi iskemik splanikus dan mempunyai efek antiinflamasi.
Ekspansi volume dengan hetastarches dengan berat molekul tinggi menyebabkan koagul
opathy. Dua studi yang membandingkan HES dengan berat molekul sedang dengan gelatin untuk resusitasi trauma atau selama opeasi orthopedi menunjukkan tidak ada perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium marker koagulasi. Dengan memperhatikan kekurangan yang dimiliki sediaan koloid, sangat berbahaya menggunakan HES tanpa input cairan yang cukup, dimana penggunaan HES sebagai komponen utama infus cairan mempunyai resiko dehidrasi sellular, dan dilaporkan kerusakan fungsi ginjal oleh karena nephrosis osmotik. Larutan HES merupakan larutan efektif sebagai volume ekspander tetapi tidak menyebabkan pembentukan urine. Kegagalan memberikan input air bebas dapat merusak ginjal. Menurut penelitian menunjukkan Larutan HES lebih mwnguntungkan daripada koloid lain, HES hanya diberikan 1/3 dari total volume cairan yang diberikan per infus. Studi tambahan dibutuhkan untuk mencari mekanisme HES yang mana yang mempunyai efek antiinflamasi, proteksi mikrovaskularisasi selama keadaan inflamasi akut seperti trauma dan sepsis. Namun, sudah ada bukti yang cukup dari studi klinis untuk menggambarkan anjuran praktis mengoptimalkan resimen resusitasi dan resimen post-resusitasi cairan.
RESUSITASI
Pembatasan input natrium, klorida, dan cairan dengan pemberian dalam jumlah sedikit HES berat molekul sedang sebagai resimen resusitasi. Ekspansi volume dengan HES mengurangi loading cairan dan natrium dibandingkan dengan gelatin, 4,5% albumin, atau hanya dengan kristaloid. Rekomendasi ini sesuai dengan guidelines ATLS dimana 2 liter larutan Hartmann yang dihangatkan diberikan pada resusitasi cairan segera, tetapi dari semua cairan yang diberikan 1/3nya dari cairan infus dengan HES berat molekul sedang. Penggunaan larutan hipertonik pada trauma kepala mungkin memberi keuntungan, tetapi tidak digunakan sebagai terapi tunggal. Penggunaan larutan hipertonik sejak dini penanganan hipovolemik tetap menguntungkan, dan efek modulasi immun tergantung waktu pemberian setelah cedera.
SETELAH RESUSITASI
• Mencapai balans cairan dan natrium negatif, ketika stabilitas hemodinamik telah baik dan respon inflamasi telah hilang, terjadi mobilisasi cairan dan natrium dari loading cairan resusitasi. Hal ini khas terjadi pada 2 sampai 5 hari post trauma atau kasus operasi tanpa komplikasi.
• Mengawasi balans cairan dan natrium setiap 24 jam. Dengan memperhitungkan 800 ml insensible losses perhari dan peningkatan 200 ml setiap 1 o C diatas 37°C ( terutama pasien luka bakar)
• Memberikan maintenans air untuk urine untuk mengganti insensible losses, seluruhnya atau kombinasi dengan dextrose 5 % intravena.
• Monitor volume urine, natrium, kalium, dan ekskresi urea tiap hari sampai terapi intravena tidak dibutuhkan. Jika osmolalitas urine meningkat diatas 500 mosm/l, natrium urine turun dibawah 50 mmol/24 jam disertai peningkatan konsentrasi natrium dan urea serum menunjukkan peningkatan input cairan bebas.
• Jika balans negatif natrium dan air sulit dicapai, dipertimbangkan menggunakan diuretik.
Mengingat konsentrasi natrium dan kalium serum tidak menggambarkan keadaan total tubuh, sangat penting membandingkan input cairan dengan ekskresi elektrolit dan urea.
TANDA OVERLOAD CAIRAN PADA KORBAN TRAUMA
Balans cairan positif yang memanjang
Volume darah normal pada laki-laki dewasa sekitar 5 liter, dimana volume plasma sekitar 2,8 liter. Setelah koreksi perkiraan kehilanghan darah dan insensible losse, 24 jam pasien post resusitasi memperlihatkan adanya balans positif cairan sekitar 4 sampai 6 liter cairan . Hal ini disebabkan oleh trauma yag menginduksi permeabilitas kapiler sistemik yang mengakibatkan pergerakan cairan dari vaskular ke ruang interstisial. Cairan yang berlebih ini harus dikeluarkan pada hari ke 2 sampai 5 setelah respon inflamasi telah hilang dan fungsi mikrovaskular kembali normal. Balans cairan positif yang meningkat dan memanjang menunjukkan overload cairan memburuk: ini karena mungkin iatrogenik dan dapat dihindari atau disebabkan oleh kebocoran kapiler yang terus-menerus pada SIRS disertai dengan menurunnya resistensi vaskuler sistemik.
Pulmonary wedge pressure
Tekanan pulmoner
Keadaan seperti timbulnya tamponade jantung, kegagalan ventrikel kiri, stenosis katup mitral atau perikarditis, tekanan pulmonal tinggi menunjukkan overload cairan(NB koreksi sebaiknya dilakukan dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure).

Stroke volume jantung
Efek pemberian 200 ml hydroxethyl starch bolus pada stroke volume jantung yang diukur dengan Doppler esofageal dapat digunakan untuk meningkatkan pre-loaddan pada operasi jantng dan orthopedi menunjukkan perbaikan. Kegagalan ekspansi cairan vaskuler meningkatkan stroke volume menunjukkan ekspansi yang berlebihan dan harus dibatasi penambahan kompartemen vaskuler.
Peningkatan berat badan
Adanya bed pengukuran berat badan dengan alat monitor yang dapat dibaca, berat badan dapat digunakan untuk menaksir balans cairan. Hal ini terutama pada pasien luka bakar dengan insensible losses yang tidak dapat diukur.
Kesimpulan
Cedera menyebabkan respon langsung patofisiologis untuk mempertahankan suplai darah ke organ penting, namun hal ini disertai dengan retensi natrium dan air. Respon terhadap cedera dan infeksi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sistemik terhadap protein dan cairan, dimana hal ini diluar kendali awal timbulnya SIRS dan menyebabkan overload air dan garam saerta edema interstisial. Walaupun loading natrium, klorida, dan air merupakan penanganan yang tidak dapat dihindari pada keadaan akut, namun efek yang merusak dari garam dan air yang berlebih setelah pemberian dapat dibatasi. Strateginya termasuk memberikan HES dengan berat molekul sedang yang dikombinasikan dengan larutan Hartmann untuk resusitasi, penilaian penggantian volume yang adequat dengan memonitor hemodinamik dan klinis pasien dan menghindari infus cairan yang mengandung garam. Target post resusitasi adalah tidak terdapatnya kelebihan garam dan air dalam ruang interstisial segera setelah respon inflamasi hilang dan kebocoran kapiler kembali normal dan hemodinamik stabil. Selama recovery, perlu diperhatikan persediaan cairan bebas dalam mempertahankan output urine yang cukup untuk ekskresi natrium yang berlebih saat resusitasi dan juga peningkatan ekskresi nitrogen karena trauma, bedah mayor, atau sepsis.

* Jenis-jenis Dehidrasi

1. Dehidrasi ditinjau dari defisit cairan dan elektrolit terdiri atas:

a. Dehidrasi ringan (defisit 4 %BB) Keadaan umum sadar dan baik, rasa haus (+), sirkulasi darah/nadi normal, pernapasan biasa, mata agak cekung, turgor/tonus biasa, kencing biasa.

b. Dehidrasi sedang (defisit 8 %BB) Keadaan umum gelisah, rasa haus (++), sirkulasi darah/nadi cepat (120-140 kali/menit), pernapasan agak cepat, mata cekung, turgor/tonus agak berkurang, kencing sedikit.

c. Dehidrasi berat (defisit 12 %BB) Keadaan umum apatis/koma, rasa haus (+), sirkulasi darah/nadi cepat sekali (lebih dari 140 kali/menit), pernapasan kusmaul (cepat dan dalam), mata cekung sekali, turgor dan tonus kurang sekali, kencing tidak ada.

2. Dehidrasi ditinjau dari nilai (score) gejala klinis menurut Daldiyono (1973) Semua score ditulis atau dijumlah. Jumlah cairan yang akan diberikan dalam dua jam dapat dihitung: Score x 10% BB (kg) x 1 Liter 15

* Triase adalah Usaha Pemilahan Korban Sebelum Ditangani

Triase berkembang dari kebutuhan akan perioritas penanganan cedera pada prajurit di medan perang. Konsep ini diperkenalkan di Perancis pada awal abad ke-19. Kata triase sendiri berasal dari bahasa Perancis “Triage” (trier), yang berarti pemilahan.

Triase adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Triase berlaku untuk pemilihan korban baik di lapangan maupun di rumah sakit. Merupakan tanggung jawab tenaga pra-rumah sakit (dan pimpinan tim lapangan) bahwa penderita akan dikirim ke rumah sakit yang sesuai. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).

Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :

1. Jumlah korban dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan tim medis. Dalam keadaan ini, korban dengan masalah gawat darurat dan multi trauma akan dilayani terlebih dulu.

2. Jumlah korban dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan tim medis. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dulu adalah korban dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan, dan tenaga paling sedikit.

Tujuan

Memberikan penanganan terbaik pada korban dalam jumlah yang banyak untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan maupun resiko cedera bertambah parah.

Prinsip Triase

Pada keadaan bencana massal, korban timbul dalam jumlah yang tidak sedikit dengan resiko cedera dan tingkat survive yang beragam. Pertolongan harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya. Hal tersebut merupakan dasar dalam memilah korban untuk memberikan perioritas pertolongan.

Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:

1. Menilai tanda vital dan kondisi umum korban

2. Menilai kebutuhan medis

3. Menilai kemungkinan bertahan hidup

4. Menilai bantuan yang memungkinkan

5. Memprioritaskan penanganan definitif

6. Tag Warna

Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus dilakukan sesegera mungkin.

Kategori

Setelah melakukan penilaian, korban dikategorikan sesuasi denagn kondisinya dan diberi tag warna, sebagai berikut:

1. MERAH (Immediate)

Setiap korban dengan kondisi yang mengancam jiwanya dan dapat mematikan dalam ukuran menit, harus ditangani dengan segera.

2. KUNING (Delay)

Setiap korban dengan kondisi cedera berat namun penganannya dapat ditunda.

3. HIJAU (Walking Wounded)

Korban dengan kondisi yang cukup ringan, korban dapat berjalan

4. HITAM (Dead and Dying)

Korban meninggal atau dalam kondisi yang sangat sulit untuk diberi pertolongan.

* Bebas Diabetes, Atur Pola Tidur?

Sebuah studi baru-baru ini meyimpulkan, tidur yang berkualitas dan cukup bisa membantu menstabilkan gula darah. Itu sebabnya orang yang menderita diabetes disarankan menata pola tidurnya.

Dalam jurnal Diabetes Care, para peneliti dari University of Chicago mengungkapkan, penderita diabetes yang memiliki pola tidur buruk memiliki kadar glukosa lebih tinggi dan lebih sulit mengendalikan penyakitnya.

Para peneliti membandingkan 40 penderita diabetes melitus dengan 531 orang sehat. Para peneliti ingin mengetahui kaitan potensial antara kualitas tidur, kadar gula darah dan penanda lain yang menunjukkan diabtes terkontrol.

"Kami menemukan pada orang diabetes, ada kaitan antara kualitas tidur yang buruk dengan kadar gula darah yang tinggi. Kaitan itu tidak kami dapatkan pada orang yang tidak menderita diabetes," kata seorang peneliti, Kristen Knutson.

Dalam risetnya, Knutson memantau tidur para responden dengan memasang monitor aktivitas yang dipasang di tangan."Bila tangan banyak digerakkan berarti sedang terjaga," katanya. Para responden juga melaporkan kualitas tidur mereka.

Tim peneliti menemukan orang yang diabetes yang mengalami gangguan tidur memiliki kadar gula darah puasa 23% lebih tinggi, kadar insulin puasa 48% lebih tinggi dan resistensi insulin 82% lebih tinggi dibanding dengan penderita diabetes namun pola tidurnya normal.

Menanggapi hasil riset ini, Dr.Joel Zonszein, direktur Clinical Diabetic Center, di New York, AS, mengatakan kaitan antara kadar glukosa dan pola tidur bagaikan 'telur dan ayam'.

"Sulit menentukan apakah kadar gula darah yang tinggi disebabkan karena kualitas tidur yang buruk atau pasien yang memiliki kadar glukosa tinggi tidak bisa tidur dengan nyenyak, atau ada penyebab lain," kata Zonszein.

Ia juga menyebutkan, penderita diabetes biasanya kegemukan dan berat badan berlebih akan mengganggu kualitas tidur. Obesitas juga berkaitan dengan sleep apnea atau henti napas sejenak saat tidur.

Namun Zonszein dan Knutson sependapat, penderita diabetes harus lebih memperhatikan pola tidurnya. "Mengurangi stres adalah salah satu cara mendapatkan tidur yang nyenyak," pungkas Zonszein.

* Asuhan Keperawatan Pada pasien Stroke

A. Pengertian

Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).

B. Klasifikasi stroke

Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :

1. stroke hemoragik

Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.

2. stroke non hemoragik

Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.

Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :

TIA’S (Trans Ischemic Attack)

Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.

Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)

Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..

stroke in Volution

Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.

Stroke Komplit

Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.

C. Etiologi

Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;

1. Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.

2. Aneurisma pembuluh darah cerebral

Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.

3. Kelainan jantung / penyakit jantung

Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.

4. Diabetes mellitus (DM)

Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.

5. Usia lanjut

Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.

6. Polocitemia

Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.

7. Peningkatan kolesterol (lipid total)

Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.

8. Obesitas

Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.

9. Perokok

Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.

10. kurang aktivitas fisik

Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.

D. Patofisiologi

1. Stroke non hemoragik

Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.

2. Stroke hemoragik

Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.

E. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.

Pengaruh terhadap status mental

· Tidak sadar : 30% – 40%

· Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar

Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:

· Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)

· Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)

· Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)

Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:

· hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%)

· inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena

Daerah arteri serebri posterior

· Nyeri spontan pada kepala

· Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)

Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:

· Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak

· Hemiplegia alternans atau tetraplegia

· Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)

Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:

Stroke hemisfer kanan

· Hemiparese sebelah kiri tubuh

· Penilaian buruk

· Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan

stroke hemisfer kiri

· mengalami hemiparese kanan

· perilaku lambat dan sangat berhati-hati

·

· kelainan bidang pandang sebelah kanan

· disfagia global

· afasia

· mudah frustasi

F. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :

laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu

G. Penatalaksanaan medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:

Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
Tanda-tanda vital diusahakan stabil
Bed rest
Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
Penatalaksanaan spesifik berupa:

· Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik

· Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

NO


DIAGNOSA KEPERAWATAN


TUJUAN DAN KRITERIA HASIL


INTERVENSI

1.


Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya refleks batuk)



Pasien mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.

Kriteria hasil :

a. Bunyi nafas vesikuler

b. RR normal

c. Tidak ada tanda-tanda sianosis dan pucat

d. Tidak ada sputum


1. Auskultasi bunyi nafas

2. Ukur tanda-tanda vital

3. Berikan posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah keperawatan lain)

4. Lakukan penghisapan lender dan pasang OPA jika kesadaran menurun

5. Bila sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam

6. Kolaborasi:

· Pemberian ogsigen

· Laboratorium: Analisa gas darah, darah lengkap dll

· Pemberian obat sesuai kebutuhan

2.



Penurunan perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi pembuluh darah serebral


Perfusi serebral membaik

Kriteria hasil :

a. Tingkat kesadaran membaik (GCS meningkat)

b. fungsi kognitif, memori dan motorik membaik

c. TIK normal

d. Tanda-tanda vital stabil

e. Tidak ada tanda perburukan neurologis

f.


1. Pantau adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral :GCS, memori, bahasa respon pupil dll

2. Observasi tanda-tanda vital (tiap jam sesuai kondisi pasien)

3. Pantau intake-output cairan, balance tiap 24 jam

4. Pertahankan posisi tirah baring pada posisi anatomis atau posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat

5. Hindari valsava maneuver seperti batuk, mengejan dsb

6. Pertahankan ligkungan yang nyaman

7. Hindari fleksi leher untuk mengurangi resiko jugular

8. Kolaborasi:

· Beri ogsigen sesuai indikasi

· Laboratorium: AGD, gula darah dll

· Penberian terapi sesuai advis

· CT scan kepala untuk diagnosa dan monitoring

3.


Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese


Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif

Kriteria hasil :

a. tidak ada kontraktur atau foot drop

b. kontraksi otot membaik

c. mobilisasi bertahap


1. Pantau tingkat kemampuan mobilisasi klien

2. Pantau kekuatan otot

3. Rubah posisi tiap 2 jan

4. Pasang trochanter roll pada daerah yang lemah

5. Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV stabil

6. Libatkan keluarga dalam memobilisasi klien

7. Kolaborasi: fisioterapi

4.


Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral bicara


Komunikasi dapat berjalan dengan baik

Kriteria hasil :

a. Klien dapat mengekspresikan perasaan

b. Memahami maksud dan pembicaraan orang lain

c. Pembicaraan pasien dapat dipahami


1. Evaluasi sifat dan beratnya afasia pasien, jika berat hindari memberi isyarat non verbal

2. Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu diulang

3. dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara

4. Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara

5. Latih otot bicara secara optimal

6. Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien

7. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara

5.



(Risiko) gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak adekuat


Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil :

a. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

b. Berat badan dalam batas normal

c. Conjungtiva ananemis

d. Tonus otot baik

e. Lab: albumin, Hb, BUN dalam batas normal


1. Kaji factor penyebab yang mempengaruhi kemampuan menerima makan/minum

2. Hitung kebutuhan nutrisi perhari

3. Observasi tanda-tanda vital

4. Catat intake makanan

5. Timbang berat badan secara berkala

6. Beri latihan menelan

7. Beri makan via NGT

8. Kolaborasi : Pemeriksaan lab(Hb, Albumin, BUN), pemasangan NGT, konsul ahli gizi

6.


Perubahan persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi, perubahan psikologi


Persepsi dan kesadaran akan lingkungan dapat dipertahankan


1. Cari tahu proses patogenesis yang mendasari

2. Evaluasi adanya gangguan persepsi: penglihatan, taktil

3. Ciptakn suasana lingkungan yang nyaman

4. Evaluasi kemampuan membedakan panas-dingin, posisi dan proprioseptik

5. Catat adanya proses hilang perhatian terhadap salah satu sisi tubuh dan libatkan keluarga untuk membantu mengingatkan

6. Ingatkan untuk menggunakan sisi tubuh yang terlupakan

7. Bicara dengan tenang dan perlahan

8. Lakukan validasi terhadap persepsi klien dan lakukan orientasi kembali

7.


Kurang kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular, kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan persepsi


Kemampuan merawat diri meningkat

Kriteria hasil :

a. mendemonstrasikan perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

b. Melakukan perawatan diri sesuai kemampuan

c. Mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber bantuan


1. Pantau tingkat kemampuan klien dalam merawat diri

2. Berikan bantuan terhadap kebutuhan yang benar-benar diperlukan saja

3. Buat lingkungan yang memungkinkan klien untuk melakukan ADL mandiri

4. Libatkan keluarga dalam membantu klien

5. Motivasi klien untuk melakukan ADL sesuai kemampuan

6. Sediakan alat Bantu diri bila mungkin

7. Kolaborasi: pasang DC jika perlu, konsultasi dengan ahli okupasi atau fisioterapi

8.



Risiko cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran


Klien terhindar dari cedera selama perawatan

Kriteria hasil :

a. Klien tidak terjatuh

b. Tidak ada trauma dan komplikasi lain


1. Pantau tingkat kesadaran dan kegelisahan klien

2. Beri pengaman pada daerah yang sehat, beri bantalan lunak

3. Hindari restrain kecuali terpaksa

4. Pertahankan bedrest selama fase akut

5. Beri pengaman di samping tempat tidur

6. Libatkan keluarga dalam perawatan

7. Kolaborasi: pemberian obat sesuai indikasi (diazepam, dilantin dll)

9.


Kurang pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d. kurang informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber


Pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan meningkat.

Kriteria hasil :

a. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar

b. Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, pengobatan, dan perubahan pola hidup yang diperlukan


1. Evaluasi derajat gangguan persepsi sensuri

2. Diskusikan proses patogenesis dan pengobatan dengan klien dan keluarga

3. Identifikasi cara dan kemampuan untuk meneruskan progranm perawatan di rumah

4. Identifikasi factor risiko secara individual dal lakukan perubahan pola hidup

5. Buat daftar perencanaan pulang