Pages

Epidural Hematoma

Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara lapisan dura mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma adalah arteri meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus venosus dura. Perdarahan ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien dengan epidural hematom akan mengalami kesadaran menurun yang berlangsung singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid interval. Interval ini kemudian diikuti dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien dengan perdarahan epidural membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf. Epidural hematom akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari lesi ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak.6

INSIDEN

• Angka kematian meningkat pada pasien dengan umur dibawah 5 tahun dan diatas 55 tahun.
• Pasien dengan umur dibawah 20 tahun, 60 % didapati dengan epidural hematoma.
• Epidural hematoma tidak lazim pada pasien usia lanjut dikarenakan, lapisan dura telah melekat dengan kuat pada dinding bagian dalam tengkorak. Pada kasus-kasus epidural hematom, kurang dari 10% adalah pasien dengan umur diatas 50 tahun.9

EPIDEMIOLOGI

Kasus epidural hematoma di Amerika Serikat ditemukan 1-2% dari semua kasus trauma kepala yang ada dan ditemukan pula sebanyak 10% pada pasien dengan koma akibat trauma.9
Dilaporkan angka kematian berada pada presentasi 5% hingga 43%. Angka kematian yang tinggi ini erat kaitannya dengan:9
• Peningkatan usia
• Lesi intradural
• Lokasi temporal
• Peningkatan volume hematom
• Progresivitas klinis yang cepat
• Abnormalitas pupil
• Peningkatan tekanan intrakranial
• GCS yang menurun

ETIOLOGI

Epidural hematoma terjadi akibat trauma pada cedera kepala, yang biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pada pembuluh darah arteri, utamanya arteri meningea media.9

ANATOMI

Otak dan medulla spinalis merupakan organ-rgan yang penting dan sangat vital dalam tubuh manusia, tubuh telah melindungi kedua organ ini dengan dua buah lapisan pelindung. Lapisan terluar merupakan tulang-tulang, tulang tengkorak yang melindungi otak serta tulang-tulang vertebra yang melindungi medulla spinalis. Lapisan bagian dalam terdiri atas membrane yang biasa disebut meninges. Terdapat tiga lapisan berbeda yang menyusun meninges:5
1. Dura mater, merupakan suatu jaringan liat, tidak elastic dan mirip kulit sapi yang terdiri dari dua lapisan, bagian luar dinamakan dura endosteal dan bagian dalam dinamakan dura meningeal.
2. Membran Arachnoid , merupakan sebuah membrane fibrosa yang tipis, halus dan avaskular. Araknoid meliputi otak dan medulla spinalis, tetapi tak mengikuti kontur luar seperti pia mater.
3. Pia mater, merupakan lapisan yang langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal.
Dura mater terbuat dari jaringan fibrosa putih yang kuat, berfungsi sebagai lapisan terluar dari meninges dan juga sebagai periosteum terdalam dari tulang tengkorak. Membran arachnoid, lapisan yang lembut, seperti jaring laba-laba, terletak antara dura mater dan pia mater atau merupakan lapisan dalam dari meninges. Selanjutnya, lapisan transparan pia mater yang menjadi bagian terluar yang melapisi otak dan medulla spinalis yang juga berisi pembuluh darah.
Dura mater memiliki tiga buah lapisan tambahan kedalam:10
1. Falx cerebri. Falx cerebri ini, menonjol kebawah, menyusuri fissure longitudinalis untuk membentuk semacam dinding pemisah ataupun sekat antara kedua hemisfer otak.
2. Falx cerebelli. Falx cerebelli adalah tambahan berbentuk sabit yang memisahkan kedua halves atau hemisfer pada serebelum.
3. Tentorium cerebelli. Tentorium cerebelli memisahkan serebelum dan serebrum.
Ada beberapa ruang di antara maupun di sekitar meninges, diantaranya adalah:10
1. Ruang Epidural. Ruang epidural terletak persis di bagian luar dura mater, tetapi masih di dalam tulang yang melapisi otak dan medulla spinalis. Ruang ini terdiri atas bantalan lemak dan jaringan konektif lainnya.
2. Ruang Subdural. Ruang subdural terletak antara dura mater dan membrane arachnoid. Ruang ini berisi sejumlah kecil cairan serosa pelumas.
3. Ruang Subarachnoid. Seperti namanya, ruang ini terletak tepat dibawah membrane arachnoid dan diluar dari piamater. Ruang ini berisi sejumlah cairan serebrospinal.

PATOFISIOLOGI

Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau trauma pada kepala. Epidural hematom timbul dan berkembang dari kerusakan pada pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media, dimana dapat robek akibat pukulan atau hantaman tulang temporal. Darah memotong lapisan dura mater dan menekan hemisfer otak dibawahnya. Kesadaran menurun yang terjadi secara mendadak ditimbulkan akibat gegar yang dialami oleh otak dan bersifat sementara. Gejala-gejala neurologis kemudian mereda beberapa jam kemudian seiring dengan terbentuknya hematom yang pada akhirnya akan memberikan efek yang cukup berat yakni herniasi pada otak.8

DIAGNOSIS

Banyak cara yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural hematoma. Dari gambaran klinis, gambaran radiologi hingga gambaran patologi anatomi dapat dijadikan pendekatan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural hematoma.

Gambaran Klinis
Epidural hematoma adalah salah satu akibat yang dapat ditimbulkan dari sebuah trauma kepala. Epidural hematoma kebanyakan berasal dari fraktur tulang tengkorak bagian lateral yang melukai pembuluh darah arteri meningea media atau pembuluh darah vena. Pasien mungkin mengalami kesadaran menurun secara mendadak ataupun tidak, tetapi dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari, kondisi lucid interval dapat terjadi, diikuti dengan perkembangan klinis yang cukup cepat dalam beberapa jam, seperti sakit kepala, hemiparesis, dan pada akhirnya dilatasi pupil yang ipsilateral. Kematian dapat terjadi apabila penanganan tidak segera dilakukan.4
Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Epidural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi biasanya akan mempunyai prognosis yang lebih buruk.3
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.3
Pada tahap akhir kesadaran akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga akan mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi, yang merupakan tanda kematian.3

Gambaran Radiologis
Meskipun foto radiologi skull atau tengkorak sering dilakukan untuk mengevaluasi sebuah fraktur tengkorak, dewasa ini CT scan merupakan pilihan primer dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Emergensi CT scan adalah modalitas utama yang digunakan untuk mengevaluasi trauma kepala akut setelah penilaian neurologis dilakukan. Diagnosis yang tepat dari hasil CT scan sangat krusial untuk menentukan metode penanganan yang tepat.
Epidural hematoma terjadi dibawah calvarium, diluar dari dura periosteal. Sangat jarang melebihi batas dari sutura dikarenakan perlekatan yang kuat dari dura periosteal dengan batas dari sutura. Karena perlekatan yang kuat ini, sebuah epidural hematoma memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT scan dan MRI. Kasus epidural hematoma yang khas memberikan tampakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogeny pada CT scan, tetapi mungkin juga tampak sebagai densitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang menggumpal dan tidak menggumpal.11

Gambaran Patologi Anatomi
Normalnya, tidak terdapat ruang epidural pada tengkorak. Fraktur dari tulang tengkorak dapat merobek pembuluh darah arteri dan vena yang melintas antara lapisan dura serta tulang tengkorak. Sebuah tumbukan atau hantaman dapat menyebabkan deformitas pada tengkorak tanpa mengakibatkan fraktur. Hal ini juga dapat mengakibatkan robekan pada pembuluh darah. Perdarahan yang terjadi akibat dari robekan pembuluh darah ini, dapat mengakibatkan gumpalan pada daerah epidural yang mendorong lapisan dura.1

DIAGNOSIS BANDING

Subdural Hematoma
Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat robeknya vena jembatan. Gejala klinisnya adalah :
• sakit kepala
• kesadaran menurun + / -
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan tampak seperti bulan sabit.3
Subarakhnoid hematoma
Gejala klinisnya yaitu :
• kaku kuduk
• nyeri kepala
• bisa didapati gangguan kesadaran
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang subarakhnoid.3

PENATALAKSANAAN

Epidural hematoma hampir semua didasari oleh fraktur tengkorak. Lokasi yang paling sering ialah fossa temporal dimana skuama temporal adalah bagian tertipis dari tulang tengkorak sehingga mudah terjadi fraktur dan dengan mudah melukai pembuluh darah arteri meningea media. Kadang-kadang, fraktur dari tulang tengkorak akan melintasi sinus venosus. Sinus sagitalis superior dan sinus transversum adalah sinus yang paling rentan terkena, berakibat pada epidural hematoma vena.
Pendekatan yang paling umum dilakukan adalah dengan membuat insisi curvilinear pada kepala untuk membuka sepenuhnya tengkorak yang menutupi hematom (atau seluas mungkin yang bias dilakukan). Apabila otot temporal menutupi sisi yang ingin di insisi, sebaiknya harus ditarik ke arah inferior, dengan menyisakan pinggiran tipis yang melekat ke garis temporal superior dimana otot temporal nantinya dapat disambung kebali di akhir operasi. Ketika tulang telah terlihat, sebuah lubang dibuat dengan menggunakan bor, dekat dengan tepi hematoma. Tulang tengkorak pada akhirnya dapat disingkirkan dengan menggunakan lapisan dasar dari bor. Hematom kemudian disingkirkan, dan berbagai perdarahan dural akan berhenti, dan dura mater dijahit dengan nylon 4-0. Ketika hemostasis dapat dipastikan membaik, tulang tengkorak yang tadinya dilepas, dipasang kembali. Lapisan muskulokutaneus kemudian ditutup dengan menggunakan vicryl 00 untuk lapisan galeal serta untuk kulitnya digunakan stepler. Monitoring terhadap tekanan intracranial biasanya dilakukan pada tahap ini, sebelum akhirnya didorong ke ICU.6

PROGNOSA

Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%. Seperti trauma hematoma intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur dari pasien. Resiko terjadinya epilepsi post trauma pada pasien epidural hematoma diperkirakan sekitar 2%.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Agamanolis, Dimitri P., TraumaticBrain Injury and Increased in Intracranial Pressure, www.neuropathology.com.
2. Anonymous, Head CT, www.headcomputedtopography.com
3. Bayu, Epidural Hematoma, www.makalahku.blogspot.com
4. Greenberg, David A., Michael J. Aminoff, dan Roger P. Simon, Intracranial Hemorrhage, Clinical Neurology, 5th edition, Lange Medical Books, McGraw-Hill, United States of America, 2002, hal.44.
5. Hartwig, S.Mary dan Lorraine M.Wilson, Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf, Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6, editor dr.Huriawati Hartanto et al, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2003, hal. 1016-1017.
6. Holland,Martin.C., Craniocerebral Trauma, Current Surgical Diagnosis & Treatment, 11th edition, editor Lawrence W.Way dan Gerard M. Doherty, MD., McGraw-Hill, United States of America, 2003, hal.906.
7. Holland, Martin.C, Epidural Hematoma, Current Surgical Diagnosis & Treatment, 5th edition, editor Stone, C.Keith dan Roger Humphries, McGraw-Hill, United States of America, 2004, hal.428.
8. McPhee, Stephen J dan William F.Ganong, Vascular Territories and Clinical Features in Ischemic Stroke, Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine, 5th edition, Lange Medical Books, McGraw-Hill, United States of America, 2006, hal.184.
9. Price, D.Daniel, Epidural Hematoma, www.emedicine.com
10. Thibodeau, Gary A. dan Kevin T.Patton, Central Nervous System, Anatomy and Physiology, 5th edition, Mosby, Missouri, 2003, hal.375-376.
11. Zee,Chi S, Head Injury, Neuroradiology A Study Guide, editor Martin J.W dan Susan Finn, McGraw-Hill Companies, United States of America, 1996, hal.236-237.

Epidemiologi Abses Hati

A. PENDAHULUAN (2)

Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari system gastrointestinal sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri, parasit atau jamur.
Selama kurun waktu satu abad terakhir ini, telah banyak perubahan dalam hal epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik, pengelolaan maupun prognosis abses hati.
Di negara-negara yang sedang berkembang, abses hati amoebik didapatkan secara endemic dan jauh lebih sering disbanding abses hati piogenik. Dalam makalah ini akan dibicarakan abses hati amoebik yaitu penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari system gastrointestinal yang sering terjadi.

B. DEFINISI (1)
Amoebiasis hati masih merupakan masalah kesehatan dan social di daerah seperti Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin. Terutama di daerah yang banyak didapatkan strain virulen Entamoeba histolytica yang tinggi dan dimana keadaan sanitasi buruk, status sosio-ekonomi rendah serta status gizi yang kurang baik.

C. EPIDEMIOLOGI (1)
Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang terinfeksi E. histolytica, tetapi hanya sepersepuluh yang memperlihatkan gejala. Insiden amoebiasis hati di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien pertahun.
Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada decade IV. Penularan pada umumnya melaluijalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan amoebiasis hati yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.

D. ETIOLOGI (1,2)
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya E. histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.
Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E. histolytica yang memberi gejala invasive, sehingga diduga ada 2 jenis E. histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi strain ini berbeda bedasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.
E.histolytica didalam feses dapat ditemukan dalam 2 bentukyaitu bentuk vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten tehadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering atau asam. Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan dekstruksi jaringan.

E. PATOGENESIS (1,2)
Patogenesis amoebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti. Cara penularan pada umumnya fekal-oral baik melalui makanan atau minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan hygiene perorangan yang buruk. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated.
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme :
1. Strain E. histolytica ada yang patogen dan non-patogen
2. Secara genetic E. histolytica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama kepada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amoebiasis hati :
1. penempelan E. histolytica pada mukosa usus.
2. pengrusakan sawar intestinal
3. lisis sel epitelintestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-mediated yang disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberculosis, malnutrisi, keganasan, dll.
4. penyebarab amoeba ke hati. Penyebaran amoeba dari usus ke hati sebagian besar melalui v.porta. terjadi proses akumulasio neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amoebiasis hati ini dapat terjadi bebulan atau tahun setelah terjadinya amoebiasis intestinal dan sekitar 50% amoebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amoebiasis.

F. PATOLOGI (1,2)
Abses hati amoebik biasanya terletak di lobus superoanterior. Besarnya abses bervariasi dari beberapa cm sampai abses besar sekali yang mengandung beberapa liter pus. Abses dapat tunggal (soliter) ataupun ganda (multiple). Walaupun amoeba berasal dari usus, kebanyakan kasus abses hati amoebik tidak menunjukkan adanya amoebiasis usus pada saat yang bersamaan, jadi ada infeksi usus lama bertahun-tahun sebelum infeksi menyebar ke hati.
Sejak awal penyakit, lesi amoeba didalam hepar tidak pernah difus melainkan merupakan proses local. Proses hepatolitik tetap asimtomatik dan gejala-gejala akan muncul jikan daerahini meluas membentuk suatu abses yang lebih besar. Lesi kecil akan sembuh dengan pembentukan jaringan parut, sedangkan pada dinding abses besar akan ditemukan fibrosis. Jarang terjadi kalsifikasi, dan amoebiasis tidak pernah menjadi sirosis hati.
G. GAMBARAN KLINIS (1,2,3)
Riwayat penyakit
Cara timbulnya abses hati amoebik biasanya tidak akut, menyusup yaitu terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir pada seluruh kasus. Terdapat rasa sakit diperut atas yang sifat sakit berupa perasaan ditekan atau ditusuk. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah posisi atau batuk. Penderita merasa lebih enak bila berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu dapat pula terjadi sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila abses terletak dekat diafragma dan sakit di epigastrium bila absesnya dilobus kiri.
Anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Batuk-batuk dan gejala iritasi diafragma juga bisa dijumpai walaupun tidak ada ruptur abses melalui diafragma. Riwayat penyakit dahulu disentri jarang ditemukan. Ikterus tak biasa ada dan jika ada ia ringan. Nyeri pada area hati bisa dimulai sebagai pegal, kemudian mnjadi tajam menusuk. Alcohol membuat nyeri memburuk dan juga perubahan sikap.
Pembengkakan bisa terlihat dalam epigastrium atau penonjolan sela iga. Nyeri tekan hati benar-benar menetap. Limpa tidak membesar.
Gambaran klinik tidak klasik dapat berupa : (2)
1. benjolan didalam perut, seperti bukan kelainan hati misalnya diduga empiema kandung empedu atau tumor pancreas.
2. gejala renal. Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa yang diduga ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobus kanan hati.
3. ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak didekat porta hepatis.
4. colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik absesnya sendiri.
5. gejala kardiak. Ruptur abses ke rongga pericardium memberikan gambaran klinik efusi pericardial.
6. gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa abses paru menutupi gambaran klasik abses hatinya.
7. abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang.
8. gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri, ditemukan pada 1,5 %.
9. demam yang tidak diketahui penyebabnya. Secara klinik sering dikacaukan dengan tifus abdominalis atau malaria.

H. KELAINAN LABORATORIUM DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG (1,2)
1. Laboratorium
Kelainan pemeriksaan hematology pada amoebiasis hati didapatkan Hb antara 10,4-11,3 g%, sedangkan leukosit berkisar antara 15.000-16.000/mm.
Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/l sedangkan SGOT 27,8-55,9 u/l dan SGPT 15,7-63,0 u/l.
Jadi kelainan laboratorium yang dapat ditemukan pada amoebiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Foto dada
kelainan foto dada pada amoebiasis hati dapat berupa : peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
b. Foto polos abdomen
kelainan yang didapat tidak begitu banyak, mungkin dapat berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid level yang jelas.
c. Ultrasonografi
untuk mendeteksi amoebiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amoebiasis hati adalah :
1. bentuk bulat atau oval
2. tidak ada gema dinding yang berarti
3. ekogenisitas lebih rendah dari parenkim hati normal
4. bersentuhan dengan kapsul hati
5. peninggian sonic distal
d. tomografi komputer
sensitivitas tomografi komputer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk melihat kelainan di daerah posterior dan superior.
e. Pemeriksaan serologi
ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain indirect haemaglutination (IHA), counter immunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Yang banyak dilakukan adalah tes IHA. Tes IHA menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Titer 1:128 bermakna untuk diagnosis amoebiasis invasive.

I. DIAGNOSIS (1)
Untuk diagnosis amoebiasis hati dapat digunakan criteria Sherlock (1969), criteria Ramachandran (1973) atau criteria Lamont dan Pooler.
Criteria Sherlock :
1. hepatomegali yang nyeri tekan
2. respon baik terhadap obat amoebisid
3. leukositosis
4. peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang
5. aspirasi pus
6. pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. tes hemaglutinasi positif

Kriteria Ramachandran (bila didapatkan 3 atau lebih dari) :
1. hepatomegali yang nyeri
2. riwayat disentri
3. leukositosis
4. kelainan radiologis
5. respon terhadap terapi amoebisid
Kriteria Lamont dan Pooler (bila didapatkan 3 atau lebih dari ) :
1. hepatomegali yang nyeri
2. kelainan hematologis
3. kelainan radiologis
4. pus amoebik
5. tes serologic positif
6. kelainan sidikan hati
7. respon yang baik dengan terapi amoebisid

J. KOMPLIKASI (2)
1. Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3. Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
4. Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.


K. PENGOBATAN DAN TINDAKAN (1,2)
1. Medikamentosa
Derivat nitroimidazole dapat memberantas tropozoit intestinal/ekstraintestinal atau kista. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intravena.
Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :
1. Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan ;
2. Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari, ditambah;
3. Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hr) selama 10 hari.
2. Tindakan aspirasi terapeutik
Indikasi :
1. abses yang dikhawatirkan akan pecah
2. respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
3. abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga perikerdium atau peritoneum.
3. Tindakan pembedahan
Pembedahan dilakukan bila :
1. abses disertai komplikasi infeksi sekunder.
2. abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.
3. bila teraoi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
4. ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial.
Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan reseksi misalnya lobektomi.

L. PROGNOSIS (1,2)
Faktor yang mempengaruhi prognosis :
1. virulensi parasit
2. status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
3. usia penderita, lebih buruk pada usia tua
4. cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk
5. letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.
Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.


DAFTAR PUSTAKA

1. Julius : Abses Hati Amoebik ; dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Soeparman, dkk (editor), jilid I edisi pertama, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001, hal 328-332.
2. S.A. Abdurachman, Abses Hati Amobik, dalam buku Gastroenterohepatologi, H. Aziz, jilid 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal 395-402.
3. Elizondo G, Weissleder R, Stark DD et al, Amoebic Liver Abcess : Diagnosis and Treatment Evaluation with MRI imaging, Radiology, 1987. Hal 563-568
Labels: Health

INFEKSI

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh. (Kozier, et al, 1995). Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi. Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi. Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen (agen infeksi), sedangkan mikroorganisme yang tidak menimbulkan penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit timbul jika pathogen berkembang biak dan menyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika penyakit bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan penyakit menular (contagius). Mikroorganisme mempunyai keragaman dalam virulensi/keganasan dan juga beragam dalam menyebabkan beratnya suatu penyakit yang disebabkan.
TIPE MIKROORGANISME PENYEBAB INFEKSI
Penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
• BakteriBakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan dapat hidupdidalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
• Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya harus masuk dalam sel hidup untuk diproduksi.
• Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur
• Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda.
TIPE INFEKSI
• Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora yang menetap/flora residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan berkembang biak tetapi tidak dapat menimbulkan penyakit. Infeksi terjadi ketika mikroorganisme yang menetap tadi sukses menginvasi/menyerang bagian tubuh host/manusia yang sistem pertahanannya tidak efektif dan patogen menyebabkan kerusakan jaringan.
• Infeksi lokal : spesifik dan terbatas pada bagain tubuh dimana mikroorganisme tinggal.
• Infeksi sistemik : terjadi bila mikroorganisme menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menimbulkan kerusakan.
• Bakterimia : terjadi ketika dalam darah ditemukan adanya bakteri
• Septikemia : multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi sistemik
• Infeksi akut : infeksi yang muncul dalam waktu singkat
• Infeksi kronik : infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama (dalam hitungan bulan sampai tahun)

Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang diberikan.
Berbagai komponen dari sistem imun memberikan jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik, yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas. Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik maupun nonspesifik bisa gagal dan hal tersebut mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres.
Efek dan gejala nyata yang berhubungan dengan kelainan pertahanan hospes bervariasi berdasarkan pada sistem imun yang rusak. Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah adalah: infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
• Periode inkubasi
Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala pertama.
Contoh: flu 1-3 hari, campak 2-3 minggu, mumps/gondongan 18 hari
• Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik (malaise, demam ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit ke orang lain.
• Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis infeksi. Contoh: demam dimanifestasikan dengan sakit tenggorokan, mumps dimanifestasikan dengan sakit telinga, demam tinggi, pembengkakan kelenjar parotid dan saliva.
• Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi

RADANG
Radang merupakan mekanisme pertahanan tubuh disebabkan adanya respons jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh (Mutschler. 1991; Korolkovas. 1988). Pengaruh-pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi fisika, kimia, bakteri. parasit dan sebagainya. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar X dan radium, juga termasuk bendabenda asing yang tertanam pada jaringan atau sebab lain yang menimbulkan pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun termasuk noksi kimia. Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan Pneumococcus (Boyd, 1971). Reaksi radang dapat diamati dari gejala-gejala klinis. Di sekitar jaringan terkena radang terjadi peningkatan panas (kalor), timbul warna kemerah-merahan (rubor) dan pembengkakan (tumor). Kemungkinan disusul perubahan struktur jaringan yang dapat menimbulkan kehilangan fungsi (Mutschler, 1991; Korolkovas, 1988).
Proses Radang
Respons kardiovaskular pada proses radang tergantung dari karakteristik dan distribusi noksi. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar jaringan yang mengalami pengaruh-pengaruh merusak pada fase akut berlangsung cepat dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan-perubahan pada jaringan dan berakhir 15 sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit (lnsel, 1991; Melmon dan Morreli, 1978; Robins, 1974). Volume darah yang membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar jaringan berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran darah menjadi lebih lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah kehilangan tekstur. Peningkatan permeabilitas kapiler disebabkan kontraksi sel-sel endotel sehingga menirnbulkan celah-celah bermembran. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin, serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh faktor Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai jaringan karena meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa udem (Korolkovas, 1988; Boyd, 1971; Robins, 1974).
Fase radang sub-akut berlangsung lambat, mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari misalnya karena pengaruh noksi bakteri. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung. Karakteristik paling menonjol adalah infiltrasi fagosit yaitu sel polimorfonuklir dan monosit ke jaringan. Selain itu aliran darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan jaringan yang ekstensif. Proses fagosit mencapai daerah peradangan dinamakan kemotaktik. Migrasi fagosit diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen komplemen, untuk leukosit polimorfonuklir yaitu C3 a. Selain itu LTB4 dan PAF ikut berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel endotel, pada ujung depan mengecil dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel kemudian melarutkan membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk ke jaringan dan berakumulasi (Insel, 1991; Melmon clan Morreli, 1978; Roitt, et al, 1985). Fagosit yang mula-mula keluar dari dinding pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklir yang menyerang dan mencerna bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna bakteri (Boyd, 1971).
Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeable sifatnya berubah disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama membentuk eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa sakit disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan. Selain itu rasa sakit disebabkan bradikinin dan PG. Kerusakan jaringan disebabkan fagositosis, enzim lisosomal clan radikal oksigen. Deman oleh pirogen endogen yang dihasilkan adalah karena kerusakan sel (Korolkovas, 1988; Boyd, 1971).

Konjungtivitis Folikularis

1.PENDAHULUAN
Konjungtivitis yang lebih sering dikenal sebagai mata merah (pink eye) adalah istilah yang diberikan untuk segala bentuk peradangan yang terjadi pada konjungtiva, yang ditandai dengan mata merah, iritasi pada mata, perasaan terbakar, dan mungkin dapat ditemukan pus. Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis merupakan batas dari kelopak mata dan perubahan dari permukaan yang terexpose ke sklera dan melapisi permukaan belakang kelopak mata (konjungtiva palpebra), permukaan depan bola mata (konjungtiva bulbi), bersambung dengan kulit pada tepi kelopak mata (mucocutaneus junction) dan di limbus bersambung dengan epitel kornea.1,2

Berdasarkan respon konjungtiva terhadap peradangan, terdapat empat tipe konjungtivitis yang bisa ditemukan, yaitu : konjungtivitis folikularis, konjungtivitis papillaris, konjungtivitis membran / pseudomembran, dan konjungtivitis granulomatosa. Konjungtivitis folikularis adalah suatu tipe peradangan konjungtiva dengan ditemukannya folikel-folikel pada permukaan konjungtiva.4,5
1.1.Anatomi
Konjungtiva terdiri dari :1,6
a. Konjungtiva palpebra; merupakan permukaan belakang kelopak mata dan melekat erat pada tarsus. Pada tepi atas dan bawah tarsus konjungtiva membelok ke arah belakang (di forniks superior dan forniks inferior) menutupi jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbi.
b. Konjungtiva bulbi; melekat longgar pada sekat orbita di forniks dan melipat-lipat beberapa kali. Keadaan ini memungkinkan mata bisa bergerak lebih leluasa, dan permukaan konjungtiva sekretori menjadi lebih luas (karena saluran kelenjar lakrimal bermuara di forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsula tenon dan konjungtiva menyatu kira-kira 5 mm), konjungtiva bulbi melekat longgar pada kapsula tenon dan sclera yang terletak dibawahnya.

1.2.Histologi
Epitel konjungtiva terdiri atas 2-5 lapis sel-sel epitel toraks berlapis, superficial dan basal. Epitel konjungtiva di dekat limbus, yang melapisi karunkula dan di dekat sambungan mukokutan di pinggir kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel gepeng berlapis. Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet yang bulat dan lonjong dan mengeluarkan secret mukus. Mukus ini meminggirkan inti sel-sel goblet dan memungkinkan tersebarnya pada lapisan air mata prekornea. Sel-sel epitel basal menangkap zat warna lebih dalam daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus berisi pigmen.1
Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid (superficial) dan fibrosa (dalam). Lapisan adenoid terdiri atas jaringan limfoid. Lapisan fibrosa tersusun atas jaringan ikat yang melekat lempeng tarsus secara heksagonal. Lapisan fibrosa tersusun longgar mengelilingi bola mata.1,3
Kelenjar lakrimal aksesori (krause dan wolfring) yang susunannya maupun fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terdapat di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks superior dan sebagian kecil di forniks inferior. Kelenjar wolfring terletak di pinggir atas tarsus superior.1
Pembuluh-pembuluh darah konjungtiva terdiri atas arteri siliar anterior dan arteri palpebra. Saraf berjalan dari cabang oftalmik saraf cranial kelima. Hanya terdapat sedikit serabut rasa sakit. Konjungtiva kaya akan getah bening.1,8

II.KLASIFIKASI
Menurut perlangsungannya, konjungtivitis folikularis dibagi dalam dua kelompok, yaitu :3,7
1. Konjungtivitis folikularis akut, yaitu bila perlangsungannya kurang dari 3 minggu. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: keratokonjungtivitis epidemi, demam faringo-konjungtiva, konjungtivitis hemoragik akut, konjungtivitis New Castle, dan lain-lain.
2. Konjungtivitis folikularis kronis, yaitu bila perlangsungannya lebih dari 3 minggu. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: trakoma, konjungtivitis toksik, blefarokonjungtivitis molluscom contagiosum, dan lain-lain.

III.ETIOLOGI
Konjungtivitis folikularis akut biasanya disebabkan oleh virus seperti Herpes simpleks, Herpes zoster, enterovirus, measless, coxsackievirus dan vaccinia. Sedangkan konjungtivitis folikularis kronik disebabkan oleh infeksi Klamidia trakomatis, reaksi toksik, Molluskum kontangiosum, dan Moraxella.3,8

IV. HISTOPATOLOGI
Sebagai reaksi inflamasi, konjungtivitis folikularis juga menunjukkan tanda-tanda peradangan (tumor, rubor, dolor dan kalor), selain folikel-folikel yang merupakan karakteristik penyakit ini. Folikel terlihat sebagai benjolan kecil mengkilat dengan pembuluh darah kecil di atasnya, berwarna putih kekuningan dan berbentuk kubah. Secara histopatologis, folikel-folikel ini merupakan agregasi sel-sel limfosit dan sel plasma di stroma superficial.3
Folikel-folikel ini dibentuk oleh sel limfosit mononuclear yang normal terdapat di konjungtiva, utamanya di lapisan adenoid. Akibat inflamasi, limfosit ini menginfiltrasi daerah subepitelial dan berkumpul di satu titik tertentu dan membentuk nodul sentral. Nodul-nodul lain kemudian bermunculan di sekitar nodul sentral, dan tampaklah gambaran folikel-folikel.4,5

V.DIAGNOSIS
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa konjungtivitis folikularis merupakan respon konjungtiva terhadap reaksi inflamasi, maka diagnosis konjungtivitis folikularis ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didapatkan dari pemeriksaan mukosa konjungtiva. Folikel biasanya ditemukan di konjungtiva tarsal superior dan forniks inferior.4,5
Penegakan diagnosis ini tidak berdasarkan etiologi, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan kultur untuk mencari faktor penyebabnya. Demikian halnya dengan anamnesis, walaupun bervariasi pada tiap pasien, bila memberikan gambaran reaksi folikuler maka diagnosis konjungtivitis folikularis sudah bisa ditegakkan.5
Akan tetapi, bila diagnosis ditegakkan hanya sampai disini saja, maka sulit untuk mengambil tindakan selanjutnya, seperti pengobatan, perawatan dan pemantauan. Setidaknya antara akut dan kronis sudah bisa dibedakan dari anamnesis. Selebihnya diperlukan pilihan bantuan guna menetapkan diagnosis yang lebih spesifik.

A.Konjungtivitis Folikularis Akut
1.Keratokonjungtivitis Epidemi
Disebabkan oleh infeksi adenovirus tipe 8. Masa inkubasi 5 sampai 10 hari. Gejala radang mata timbul akut dan selalu pada satu mata terlebih dahulu berupa konjungtivitis folikularis akut. Pada setengah kasus lainnya, mata sebelah meradang setelah minggu kedua. Kelenjar preaurikuler kadang membesar dan nyeri tekan. Radang akut berlangsung 8 sampai 10 hari dengan kelopak mata yang membengkak. Konjungtiva tarsal hiperemi dan konjungtiva bulbi kemosis. Terdapat perdarahan subkonjungtiva. Pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit, baru timbul gejala-gejala dikornea.8
Pada kornea terdapat infiltrat bulat kecil, superficial, subepitel. Tidak pernah timbul neovaskularisasi kornea. Kelainan kornea ini terdapat pada 50% kasus. Sensibilitas kornea tidak terganggu.8

Gejala-gejala subjektif berupa mata berair, silau dan seperti ada pasir. Gejala radang akut mereda dalam tiga minggu, tetapi kelainan kornea dapat menetap berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah sembuhnya penyakit.8
2. Demam Faringokonjungtiva.
Penyebab paling sering adalah adenovirus tipe 3. Pada penyakit ini nyata demamnya, disamping tanda-tanda konjungtivitis folikuler akut dan faringitis akut. Penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak daripada orang dewasa. Kelenjar preaurikuler dapat membesar. Lebih sering mengenai kedua mata (jarang satu mata). Kelopak mata membengkak. Dua minggu sesudah perjalanan penyakit dapat timbul kelainan kornea berupa infiltrat-infiltrat bulat kecil superficial. Faringitis timbul beberapa hari setelah timbulnya konjungtivitis folikular akut. Demam faringokonjungtiva berlangsung sekitar 4 hari sampai 2 minggu.8
3. Konjungtivitis Hemoragik Akut
Penyebab penyakit ini adalah enterovirus 70, yang sukar diisolasi dan membutuhkan madia khusus. Masa inkubasi 1-2 hari. Penyakit ini dikenal mulai tahun 1969, saat itu timbul wabah mata merah yang mengenai segala usia. Penyakit ini ditandai dengan adanya konjungtivitis folikular akut dengan gejala khas adanya perdarahan subkonjungtiva, pembesaran kelenjar preaurikuler yang nyeri tekan.8
Gejala-gejala subjektif seperti ada pasir, berair dan gatal. Biasanya mulai satu mata untuk beberapa jam atau satu dua hari, kemudian disusul peradangan akut mata yang lain. Penyakit ini sangat menular dengan kontak langsung melalui benda-benda yang kena sekret mata penderita.8
Penyakit ini dapat menimbulkan kelainan pada kornea berupa keratitis superficial pungtata, bahkan kadang-kadang ulkus kornea. Penyakit ini berlangsung 5-10 hari, kadang-kadang sampai 2 minggu.8
4. Konjungtivitis New Castle
Konjungtivitis ini biasanya mengenai orang-orang yang sering berhubungan dengan unggas. Penyebabnya virus New Castle. Masa inkubasinya 1-2 hari. Konjungtivitis ini sering unilateral disertai gejala subjektif seperti perasaan ada benda asing, berair dan silau. Sering disertai rasa sakit. Gambaran klinik: kelopak mata bengkak, konjungtiva tarsal hiperemi dan hiperplasi, kadang seperti beludru, kadang seperti bergranulasi, tampak adanya folikel-folikel kecil, lebih banyak di konjungtiva tarsal inferior. Kadang-kadang pada konjungtiva tarsal terdapat perdarahan-perdarahan. Konjungtivitis ini biasanya disertai pembesaran kelenjar preaurikuler, nyeri tekan. Gejala-gejala di atas memberat dalam 2 atau 3 hari untuk kemudian mereda dan sembuh dalam 2-3 minggu. Penyakit ini jarang dijumpai.8
5. Konjungtivitis Inklusi
Penyakit ini disebabkan oleh Chlamidya trachomatis. Masa inkubasi penyakit ini 4-12 hari. Biasanya mengenai anak-anak muda antara 18 tahun sampai 30 tahun. Gambaran kliniknya adalah konjungtivitis folikular akut disertai sekret mukopurulen. Pada minggu kedua perjalanan penyakit dapat timbul keratitis epitel, baik perifer maupun sentral, kadang berupa infiltrasi seperti pada keratokonjungtivitis epidemi. Kadang terdapat neovaskularisasi superficial.8
Apabila terdapat konjungtivitis folikular akut dengan sekret mukopurulen yang berlangsung lebih dari 2 minggu, maka dugaan kemudian “Inclusion conjungtivitis”. Pada pemeriksaan kerokan konjungtiva dengan sediaan apus yang diberi pewarnaan Giemsa dapat ditemukan inclusion bodies yang sama morfologinya seperti inclusion bodies trakoma.8
B.Konjungtivitis Folikularis Kronik
1. Trakoma
Penyebab penyakit ini adalah Klamidia trakoma. Masa inkubasi sukar ditentukan karena timbulnya penyakit ini adalah lambat. Penyakit ini termasuk penyakit mata yang sangat menular.8
Gambaran kliniknya dibagi atas 4 stadium :8
1. Stadium I; disebut stadium insipien atau stadium permulaan, didapatkan terutama folikel di konjungtiva tarsal superior, pada konjungtiva tarsal inferior juga terdapat folikel, tetapi ini tidak merupakan gejala khas trakoma. Pada kornea di daerah limbus superior terdapat keratitis pungtata epitel dan subepitel. Kelainan kornea lebih jelas apabila diperiksa dengan melakukan tes fluoresin, dimana akan terlihat titik-titik hijau pada defek kornea.

2. Stadium II; disebut stadium established atau nyata, didapatkan folikel-folikel di konjungtiva tarsal superior,beberapa folikel sudah matur berwarna lebih abu-abu. Pada kornea selain keratitis pungtata superficial, juga terlihat adanya neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke arah kornea bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan neovaskularisasi tersebut dikenal sebagai pannus.

3. Stadium III; disebut stadium parut, dimulai terbentuknya sikatriks pada folikel konjungtiva tarsal superior yang terlihat sebagai garis putih halus. Pannus pada kornea lebih nyata. Tidak jarang pada stadium ini masih terlihat trikiasis sebagai penyakit. Pada stadium ini masih dijumpai folikel pada konjungtiva tarsal superior.

4. Stadium IV; disebut stadium penyembuhan. Pada stadium ini, folikel pada konjungtiva tarsal superior tidak ada lagi, yang ada hanya sikatriks. Pada kornea bagian atas pannus tidak aktif lagi. Pada stadium ini dijumpai komplikasi-komplikasi seperti entropion sikatrisiale, yaitu pinggir kelopak mata atas melengkung ke dalam disebabkan sikatriks pada tarsus. Bersamaan dengan enteropion, bulu-bulu mata letaknya melengkung kedalam menggosok bola mata (trikiasis). Bulu mata demikian dapat berakibat kerusakan pada kornea, yang mudah terkena infeksi sekunder, sehingga mungkin terjadi ulkus kornea. Apabila penderita tidak berobat, ulkus kornea dapat menjadi dalam dan akhirnya timbul perforasi.
Pada penderita trakoma, keluhan yang sering didapat adalah gatal dan keluar banyak kotoran. Apabila ada keraguan diagnosis trakoma, maka dapat dilakukan kerokan konjungtiva tarsal superior di tempat dimana ada folikel matur. Bahan kerokan diapus pada sediaan dan diwarnai Giemsa. Pada sediaan ini didapatkan sel plasma, sel Leber dan Inclusion bodies.7
2. Konjungtivitis Toksik
Merupakan konjungtivitis yang terjadi akibat iritasi kronis oleh benda asing pada mata. Penyakit ini dapat terjadi pada satu mata (unilateral), dapat pula bilateral, tergantung bagian yang terpajan.1,8
Gejalanya dapat berupa rasa gatal, berair, dan rasa terbakar. Dari pemeriksaan didapatkan injeksi konjungtiva palpebra dan bulber, kemosis, folikel dan papil pada konjungtiva palpebra superior dan atau inferior, serta tidak ditemukannya pembesaran kelenjar preaurikuler.1,8
Biasanya, dari anamnesis didapatkan riwayat penggunaan obat mata topical yang lama. Terjadinya konjungtivitis ini disebabkan adanya hiperreaksi system imun terhadap allergen, seperti obat-obat topical, lensa kontak, debu, ketombe dan lain-lain. Alergen ini kemudian menyebabkan degranulasi sel mast yang kemudian melepaskan mediator-mediator vasoaktif, termasuk histamin (berperan dalam meningkatkan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, dan sekresi mukus).1,8



VI.PENGOBATAN
A.Konjungtivitis Folikular Akut
1. Keratokonjungtivitis Epidemi
Dianjurkan memberi obat topical sulfasetamid atau antibioktik untuk mencegah infeksi sekunder.8
2. Demam Faringokonjungtiva
Tidak ada pengobatan spesifik.8
3. Konjungtivitis Hemoragik akut
Penyakit ini menimbulkan kelainan pada kornea berupa keratitis superfisial pungtata, bahkan kadang-kadang ulkus kornea. Tidak dikenal obat spesifik tetapi dianjurkan tetes mata sulfasetamid dan antibiotik. Penyakit ini berlangsung 5-10 hari, kadang-kadang sampai 2 minggu.8
4. Konjungtivitis New Castle
Tidak ada pengobatan yang efektif, tetapi dapat diberi antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.8
5. Konjungtivitis inklusi
Pengobatan antibiotik setempat tidak begitu efektif, perlu diberikan tetrasiklin sistemik. Selain tetrasiklin dapat diberikan sulfonamid dan eritromisin.8

B.Konjungtivitis Folikularis Kronik
1. Trakoma
Pengobatan trakoma berupa pemberian salep mata derivat tetrasiklin 3 sampai 4 kali sehari selama 2 bulan. Apabila perlu dapat diberikan juga sulfonamid oral. Trikiasis diepilasi, entropion dioperasi tarsotomi.7,8
2. Konjungtivits Toksik
Penanganannya bersifat simptomatik, berupa kompres dingin, air mata buatan, dan salep mata penyejuk. Dekongestan topical bisa diberikan sebagai vasokontriksi, mengurangi hiperemis, kemosis dan gejala lainnya karena obat ini bisa mengurangi pelepasan mediator dari pembuluh darah ke jaringan. Antihistamin oral dan topical juga bermanfaat untuk mengurangi gejala akut.8

VII. PENUTUP
Konjungtivitis yang lebih sering dikenal sebagai mata merah (pink eye) adalah istilah yang diberikan untuk segala bentuk peradangan pada konjungtiva. Berdasarkan respon konjungtiva terhadap peradangan, terdapat empat tipe konjungtivitis yang bisa ditemukan, yaitu : konjungtivitis folikularis, konjungtivitis papillaris, konjungtivitis membran/pseudomembran, dan konjungtivitis granulomatosa.
Konjungtivitis folikularis adalah suatu tipe peradangan konjungtiva dengan ditemukannya folikel-folikel pada permukaan konjungtiva, yang kemudian dibagi lagi ke dalam bentuk akut dan kronis. Bentuk akut dari peradangan ini adalah : keratokonjungtivitis epidemi, demam faringo-konjungtiva, konjungtivitis hemoragik akut dan konjungtivitis New Castle. Sedang bentuk kronisnya misalnya trakoma, konjungtivitis toksik dan blefarokonjungtivitis molluscom contagiosum.
Diagnosis konjungtivitis folikularis ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didapatkan dari pemeriksaan mukosa konjungtiva, bukan berdasar pada etiologi. Pengobatan diberikan bervariasi sesuai dengan diagnosis jenis dari konjungtivitis folikularis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan,D.et al. Konjungtiva. Dalam Oftamologi Umum. Jilid I. Ed. XI. Widya Medika, Jakarta:1994;89-93.

2. Morrow, G.L. and Richard L. Abbott. Conjunctivitis. Available at http://www.aafp.org/afp/980215ap/ morrow.html:1998.

3. Kannelpoulus, A.J. Differential Diagnosis in bacterial conjungtivitis. Available at: WWW.brilliantvision.com

4. Sidharta, I. Konjungtivitis. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Balai penerbit FKUI, Jakarta: 1998; 43-8.

5. Abelson, M.B., et al. Diagnostic Clues: Papillae and Follicles. Available at: www.Visionweb.com

6. Koswandi, A. dan Robby N.L. Mata. Dalam Histologi. Jilid 4. Ed. Robby N.L. Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

7. Sidharta, I. Konjungtivitis Folikularis Kronis. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta:1997; 141-3.

8. Radjamin, R.K.T., dkk. Konjungtivitis. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Airlangga University Press, Surabaya:1984; 62-6.

9. Bawazeer, A. Keratoconjunctivitis Epidemic. Available at http://www.emedicine.com/oph/ topic677.htm. Department of Ophtalmology, Devision Uveitis and Cornea, King Abdulaziz University, Saudi Arabia:2001.

10. Mabey, D. Trachoma. Available at: http:// www.emedicine. com/oph/topic118.htm. Department of Ophtalmology, St. Thomas Hospital, London: 2001.
Labels: Health

Pengertian Radang Dan Proses Terjadinya Radang

Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang menyolok pada jaringan hidup disekitarnya. Respon terhadap cedera ini dinamakan peradangan. Yang lebih khusus peradangan adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis.
Peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang,penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan baik yang dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional.
Jadi yang dimaksud dengan radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera.
Pada proses peradangan terjadi pelepasan histamine dan zat-zat humoral lain kedalam cairan jaringan sekitarnya.
Akibat dari sekresi histamine tersebut berupa:
1. Peningkatan aliran darah lokal.
2. Peningkatan permeabilitas kapiler.
3. Perembesan ateri dan fibrinogen kedalam jaringan interstitial.
4. Edema ekstraseluler lokal.
5. Pembekuan cairan ekstraseluler dan cairan limfe.
Peradangan dapat juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari hospes terhadap infeksi.

Adapun kejadiannya sebagai berikut: pada setiap luka pada jaringan akan timbul reaksi inflamasi atau reaksi vaskuler.Mula-mula terjadi dilatasi lokal dari arteriole dan kapiler sehingga plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan edema akan terkumpul di daerah sekitar luka, kemudian fibrin akan membentuk semacam jala, struktur ini akan menutupi saluran limfe sehingga penyebaran mikroorganisme dapat dibatasi.Dalam proses inflamasi juga terjadi phagositosis, mula-mula phagosit membungkus mikroorganisme, kemudian dimulailah digesti dalam sel. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pH menjadi asam. Selanjutnya akan keluar protease selluler yang akan menyebabkan lysis leukosit.Setelah itu makrofag mononuclear besar akan tiba di lokasi infeksi untuk membungkus sisa-sisa leukosit.Dan akhirnya terjadilah pencairan (resolusi) hasil proses inflamasi lokal.
Cairan kaya protein dan sel darah putih yang tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai akibat reaksi radang disebut eksudat.

Beda Eksudat dan Transudat

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskular dengan berat jenis tinggi (diatas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg % serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.Cairan ini tertimbun sebagai akibat permeabilitas vascular (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravascular sebagai akibat aliran lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya.
Transudat adalah cairan dalam ruang interstitial yang terjadi hanya sebagai akibat tekanan hidrostatik atau turunnya protein plasma intravascular yang meningkat (tidak disebabkan proses peradangan/inflamasi).Berat jenis transudat pada umumnya kurang dari 1.012 yang mencerminkan kandungan protein yang rendah. Contoh transudat terdapat pada wanita hamil dimana terjadi penekanan dalam cairan tubuh.
Jenis-Jenis Eksudat

1. Eksudat non seluler
Eksudat serosa
Pada beberapa keadaan radang, eksudat hampir terdiri dari cairan dan zat-zat yang terlarut dengan sangat sedikit leukosit. Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat serosa,yang pada dasamya terdiri dari protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah yang permiable dalam daerah radang bersama-sama dengan cairan yang menyertainya. Contoh eksudat serosa yang paling dikenal adalah cairan luka melepuh.

Eksudat fibrinosa
Jenis eksudat nonseluler yang kedua adalah eksudat fibrinosa yang terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Fibrinogen ini diubah menjadi fibrin, yang berupa jala jala lengket dan elastic (barangkali lebih dikenal sebagai tulang belakang bekuan darah). Eksudat fibrinosa sering dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang seperti pleura dan pericardium dimana fibrin diendapkan dipadatkan menjadi lapisan kasar diatas membran yang terserang. Jika lapisan fibrin sudah berkumpul di permukaan serosa,sering akan timbul rasa sakit jika terjadi pergeseran atas permukaan yang satu dengan yang lain. Contoh pada penderita pleuritis akan merasa sakit sewaktu bernafas, karena terjadi pergesekan sewaktu mengambil nafas.

Eksudat musinosa (Eksudat kataral)
Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membran mukosa, dimana terdapat sel-sel yang dapat mengsekresi musin. Jenis eksudat ini berbeda dengan eksudat lain karena eksudat ini merupakan sekresi set bukan dari bahan yang keluar dari aliran darah. Sekresi musin merupakan sifat normal membran mukosa dan eksudat musin merupakan percepatan proses dasar fisiologis.Contoh eksudat musin yang paling dikenal dan sederhana adalah pilek yang menyertai berbagai infeksi pemafasan bagian atas.

2. Eksudat Seluler
Eksudat netrofilik
Eksudat yang mungkin paling sering dijumpai adalah eksudat yang terutama terdiri dari neutrofil polimorfonuklear dalam jumlah yang begitu banyak sehingga bagian cairan dan protein kurang mendapat perhatian. Eksudat neutrofil semacam ini disebut purulen. Eksudat purulen sangat sering terbentuk akibat infeksi bakteri.lnfeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi neutrofil yang luar biasa tingginya di dalam jaringan dan banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim hidrolisis yang kuat disekitarnya. Dalam keadaan ini enzim-enzim hidrolisis neutrofil secara haraf ah mencernakan jaringan dibawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi netrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut suppuratif,atau lebih sering disebut pus/nanah.
Jadi pus terdiri dari :
- neutrofil pmn. yang hidup dan yang mati neutrofil pmn. yang hancur
- hasil pencairan jaringan dasar (merupakan hasil pencernaan)
- eksudat cair dari proses radang
- bakteri-bakteri penyebab
- nekrosis liquefactiva.
3. Eksudat Campuran
Sering terjadi campuran eksudat seluler dan nonseluler dan campuran ini dinamakan sesuai dengan campurannya.Jika terdapat eksudat fibrinopurulen yang terdiri dari fibrin dan neutrofil polimorfonuklear,eksudat mukopurulen, yang terdiri dari musin dan neutrofil, eksudat serofibrinosa dan sebagainya.

Luka Bakar Mudah Terjadi Septikhemi.
Pada luka bakar saluran-saluran limfe tetap terbuka yaitu karena jaringan yang terbakar tidak menimbulkan tromboplastin sehingga tidak terjadi kooagulasi eksudat. Jika aliran cairan limfe tidak tersumbat akan memudahkan menyebarkan kuman-kuman sehingga masuk dalam sirkulasi darah dan terjadi septikhemi.

Reaksi sel pada radang

Leukositosis terjadi bila ada jaringan cedera atau infeksi sehingga pada tempat cedera atau radang dapat terkumpul banyak leukosit untuk membendung infeksi atau menahan microorganisme menyebar keseluruh jaringan.
Leukositosis ini disebabkan karena produksi sumsum tulang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk emigrasi pada waktu terjadi cedera atau radang. Karena itu banyak leukosit yang masih muda dalam darah, dalam pemeriksaan laboratorium dikatakan pergeseran ke kiri

Jenis-Jenis Leukosit Dan Masing-Masing Fungsinya Dalam Peradangan

Leukosit yang bersirkulasi dalam aliran darah dan emigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, di mana tidak saja leukosit tetapi juga sel-sel darah merah dan trombosit dihasilkan secara terus memenerus.Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan banyak sekali leukosit yang belum matang dari berbagai jenis dan "pool" leukosit matang yang ditahan sebagai cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit yang bersirkulasi dalam darah perifer dibatasi dengan ketat tetapi diubah "sesuai kebutuhan" jika timbul proses peradangan. Artinya, dengan rangsangan respon peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pengeluaran satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah.
1. Granulosit.
Terdiri dari : neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Dua jenis leukosit lain ialah monosit dan limposit, tidak mengandung banyak granula dalam sitoplasmanya.
a) Neutrofil
Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah besar di dalam eksudat pada jamjam pertama peradangan adalah neutrofil.Inti dari sel ini berlobus tidak teratur atau polimorf. Karena itu sel-sel ini disebut neutrofil polimorfonuklear (pmn) atau "pool". Sel-sel ini memiliki urutan perkembangan di dalam sumsum tulang, perkembangan ini kira-kira memerlukan 2 minggu. Bila mereka dilepaskan ke dalam sirkulasi darah, waktu paruhnya dalam sirkulasi kira-kira 6 jam. Per millimeter kubik darah terdapat kira-kira 5000 neutrofil, kira-kira 100 kali dari jumlah ini tertahan dalam sumsum tulang sebagai bentuk matang yang siap untuk dikeluarkan bila ada sinyal.
Granula yang banyak sekali terlihat dalam sitoplasma neutrofil sebenarnya merupakan paket-paket enzim yang terikat membran yaitu lisosom, yang dihasilkan selama pematangan sel. Jadi neutrofil pmn yang matang adalah kantong yang mengandung banyak enzim dan partikel-partikel antimicrobial. Neutrofil pmn mampu bergerak aktif dan mampu menelan berbagai zat dengan proses yang disebut fagositosis. Proses fagositosis dibantu oleh zat-zat tertentu yang melapisi obyek untuk dicernakan dan membuatnya lebih mudah dimasukkan oleh leukosit. Zat ini dinamakan opsonin. Setelah mencernakan partikel dan memasukkannya ke dalam sitoplasma dalam vakuola fagositosis atau fagosom, tugas berikutnya dari leukosit adalah mematikan partikel itu jika partikel itu agen microbial yang hidup, dan mencernakannya. Mematikan agen-agen yang hidup itu diselesaikan melalui berbagai cara yaitu perubahan pH dalam sel setelah fagositosis, melepaskan zat-zat anti bakteri. Pencernaan partikel yang terkena fagositosis itu umumnya diselesaikan di dalam vakuola dengan penyatuan lisosom dengan fagosom. Enzim-enzim pencernaan yang sebelumnya tidak aktif sekarang diaktifkan di dalam fagolisosom, mengakibatkan pencernaan obyek secara enzimatik.
b) Eosinofil
Merupakan jenis granulosit lain yang dapat ditemukan dalam eksudat peradangan, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Eosinofil secara fungsional akan memberikan respon terhadap rangsang kemotaksis khas tertentu yang ditimbulkan pada perkembangan allergis dan mereka mengandung enzim-enzim yang mampu menetralkan efek-efek mediator peradangan tertentu yang dilepaskan dalam reaksi peradangan semacam itu.

c) Basofil
Berasal dari sumsum tulang yang juga disebut mast sel/basofil jaringan. Granula dari jenis sel ini mengandung berbagai enzim, heparin, dan histamin. Basofil akan memberikan respon terhadap sinyal kemotaksis yang dilepaskan dalam perjalanan reaksi immunologis tertentu. Dan basofil biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam eksudat.
Basofil darah dan mast sel jaringan dirangsang untuk melepas granulanya pada berbagai keadaan cedera, termasuk reaksi immunologis maupun reaksi non spesifik.Dalam kenyataannya mast sel adalah sumber utama histamin pada reaksi peradangan.

2. Monosit
Adalah bentuk leukosit yang penting. Pada reaksi peradangan monosit akan bermigrasi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dan kecepatannya lebih lambat. Karena itu, pada jam jam pertama peradangan relative sedikit terdapat monosit dalasn eksudat. Namun makin lama akan makin bertambah adanya monosit dalam eksudat. Sel yang sama yang dalam aliran darah disebut monosit, kalau terdapat dalam eksudat disebut makrofag. Ternyata, jenis sel yang sama ditemukan dalam jumlah kecil melalui jaringan penyambung tubuh walaupun tanpa peradangan yang jelas. Makrofag yang terdapat dalam jaringan penyambung ini disebut histiosit. Dengan banyak hal fungsi makrofag sangat mirip dengan fungsi neutrofil pmn. dimana makrofag akan bergerak secara aktif yang memberi respon terhadap stimulasi kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencernakan berbagal agen. Ada perbedaan penting antara makrofag dan neutrofil, dimana siklus kehidupan makrofag lebih panjang, dapat bertahan berminggu-minngu atau bahkan berbulan-bulan dalam jaringan dibanding dengan neutrofil yang berumur pendek. Selain itu waktu monosit memasuki aliran darah dari sumsum tulang dan waktu memasuki jaringan dari aliran darah, ia belum matang betul seperti halnya neutrofil. Karena neutrofil dalam jaringan dan aliran darah sudah mengalami pematangan (sudah matang), sehingga ia tidak mampu melakukan pembelahan sel dan juga tidak mampu melakukan sintesis enzim-enzim pencenna. Pada monosit dapat dirangsang untuk membelah dalam jaringan, dan mereka mampu memberi respon terhadap keadaan lokal dengan mensintesis sejumlah enzim intrasel. Kemampuan untuk menjalani "on the.job training", ini adalah suatu sifat makrofag yang vital, khususnya pada reaksireaksi immunologis tertentu. Selain itu makrofag-makrofag dapat mengalami perubahan bentuk, selama mengalami perubahan itu, mereka menghasilkan seI-se1 secara tradisional disebut sel epiteloid. Makrofag juga mampu bergabung membentuk sel raksasa berinti banyak disebut giant cell.
Walaupun makrofag merupakan komponen penting dalam eksudat namun mereka tersebar secara luas dalam tubuh, dalam keadaan normal dan disebut sebagai system reticuloendotelial atau RES (Reticulo Endotelial System), yang mempunyai sifat fagositosis, termasuk juga dalam hati, sel tersebut dikenal sebagai sel kupffer. Fungsi utama makrofag sebagai pembersih dalam darah ataupun seluruh jaringan tubuh.Fungsi RES yang sehari-hari penting menyangkut pemrosesan haemoglobin sel darah merah yang sudah mencapai akhir masa hidupnya. Sel-sel ini mampu memecah Hb menjadi suatu zat yang mengandung besi dan zat yang tidak mengandung besi. Besinya dipakai kembali dalam tubuh untuk pembuatan sel-sel darah merah lain dalam sumsum tulang dan zat yang tidak mengandung besi dikenal sebagai bilirubin, di bawa ke dalam aliran darah ke hati, dimana hepatosit mengekstrak bilirubin dari aliran darah dan mengeluarkannya sebagai bagian dari empedu.
3. Limposit
Umumnya terdapat dalam eksudat hanya dalam jumlah yang sangat kecil,meskipu eksudat sudah lama terbentuk yaitu sampai reaksi-reaksi peradangan menjadi kronis.

Tanda-Tanda Kardinal Peradangan

Pada peristiwa peradangan akut dapat dilihat tanda-tanda pokok (gejala kardinal).
1. Rubor (kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensupali daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti,menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia,melalui pengeluaran zat seperti histamin.

2. Kalor (panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari -37 °C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°C, hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.

3. Dolor (rasa sakit)
Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

4. Tumor (pembengkaan)
Segi paling menyolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkaan lokal (tumor). Pembengkaan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.

5. Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Fungsio laesa atau perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah dikenal. Sepintas lalu, mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal dart lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, berfungsi secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.
Berbagai bentuk/Jenis Radang

Bentuk peradangan dapat timbul didasarkan atas jenis eksudat yang terbentuk, organ atau jaringan tertentu yang terlibat, dan lamanya proses peradangan. Tata nama proses peradangan memperhitungkan masing-masing variable ini. Berbagai eksudat diberi nama deskriptif. Lamanya respon peradangan disebut akut;disebut kronik jika ada bukti perbaikan yang sudah lanjut bersama dengan dumadhsi;dan disebut subakut jika ada bukti awal perbaikan bersama dengan eksudasi. Lokasi reaksi peradangan disebut dengan akhiran -it is yang ditambahkan pada nama organ (misalnya; apendisitis, tonsillitis).

Jenis Radang

Misalnya: radang kataral, radang pseudomembran, ulkus, abses, flegmon, radang purulen, suppurativaa dan lain-lain.
a) Radang Kataral
Terbentuk diatas permukaan membran mukosa,dimana terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat musin yang paling banyak dikenal adalah puck yang menyertai banyak infeksi pernafasan bagian atas.

b) Radang Pseudomembran
Istilah ini dipakai untuk reaksi radang pada permukaan selaput lendir yang ditandai dengan pembentukan eksudat berupa lapisan selaput superficial, mengandung agen penyebab, endapan fibrin, sel-sel nekrotik aktif dan sel-sel darah putih radang.Radang membranosa sering dijumpai dalam orofaring, trachea,bronkus, dan traktus gastrointestinal.

c) Ulkus.
Terjadi apabila sebagian permukaan jaringan hilang sedangkan jaringan sekitarnya meradang.

d) Abses
Abses adalah lubang yang terisi nanah dalam jaringan. Abses adalah lesi yang sulit untuk diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk meluas dengan pencairan, kecenderungannya untuk membentuk lubang dan resistensinya terhadap penyembuhan. Jika terbentuk abses, maka obat-obatan seperti antibiotik dalam darah sulit masuk ke dalam abses. Umumnya penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu oleh pengosongannya secara pembedahan, sehingga memungkinkan ruang yang sebelumnya berisi nanah mengecil dan sembuh. Jika abses tidak dikosongkan secara pembedahan oleh ahli bedah, maka abses cenderung untuk meluas, merusak struktur lain yang dilalui oleh abses tersebut.

e) Flegmon
Flegmon: radang purulen yang meluas secara defuse pada jaringan.

f) Radang Purulent
Terjadi akibat infeksi bakteri.terdapat pada cedera aseptik dan dapat terjadi dimana-mana pada tubuh yang jaringannya telah menjadi nekrotik.

g) Radang supuratif
Gambaran ini adalah nekrosis liqeuvaktifa yang disertal emigrasi neutrofil dalam jumlah banyak.Infeksi supuratif local disebabkan oleh banyak macam bakteri yang secara kolektif diberi nama piogen (pembentukan nanah).Yang termasuk piogen adalah stafilokokkus,banyak basil gram negatif. Perbedaan penting antara radang supuratif dan radang purulen bahwa pada radang supuratif terjadi nekrosis liquefaktiva dari jaringan dasar. Nekrosis liquefaktiva adalah jaringan nekrotik yang sedikit demi sedikit mencair akibat enzim.
Aspek/Reaksi Sistemik Pada Peradangan

Reaksi sistemik yang menyertai reaksi local pada peradangan diantaranya adalah
1. Demam.
Yang merupakan akibat dari pelepasan zat pirogen endogen yang berasal dari neutrofil dan makrofag. Selanjutnya zat tersebut akan memacu pusat pengendali suhu tubuh yang ada dihypothalamus.

2. Perubahan hematologis.
Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan mempengaruhi proses maturasi dan pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan suatu jenis leukosit, kenaikan ini disebut leukositosis. Perubahan protein darah tertentu juga terjadi bersamaan dengan perubahan apa yang dinamakan laju endap darah.

3. Gejala konstitusional.
Pada cedera yang hebat, terjadi perubahan metabolisme dan endokrin yang menyolok. Akhirnya reaksi peradangan local sering diiringi oleh berbagai gejala konstitusional yang berupa malaise, anoreksia atau tidak ada nafsu makan dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.

Beda Radang Dengan Infeksi

Peradangan dan infeksi itu tidak sinonim.Pada infeksi ditandai adanya mikroorganisme dalam jaringan, sedang pada peradangan belum tentu, karena banyak peradangan yang tejadi steril sempurna.Jadi infeksi hanyalah merupakan sebagian dari peradangan.

Nasib Radang Dan Pemulihan Jaringan Pada Radang

Dengan adanya reaksi peradangan, maka hasil perbaikan yang paling menggembirakan yang dapat diperoleh adalah, jika terjadi hanya sedikit kerusakan atau tidak ada kerusakan jaringan di bawahnya sama sekali. Pada keadaan semacam itu jika agen penyerang sudah dinetralkan dan dihilangkan. Pembuluh darah kecil di daerah itu memperoleh kembali semipermeabilitasnya, aliran cairan berhenti dan emigrasi leukosit dengan cara yang sama juga berhenti. Cairan yang sebelumnya sudah dieksudasikan sedikit demi sedikit diserap oleh pembuluh limfe dan sel-sel eksudat mengalami disintegrasi dan keluar melalui pembuluh limfe atau benar-benar dihilangkan dari tubuh. Hasil akhir dari proses ini adalah penyembuhan jaringan yang meradang jaringan tersebut pulih seperti sebelum reaksi. Gejala ini disebut resolusi.
Sebaliknya, bila jumlah jaringan yang rusak cukup bermakna jaringan yang rusak harus diperbaiki oleh proliferasi sel-sel hospes berdekatan yang masih hidup. Perbaikan sebenarnya melibatkan dua komponen yang terpisah tetapi terkoordinir. Pertama disebut regenerasi Hasil akhirnya adalah penggantian unsureunsur yang telah hilang dengan jenis sel yang sama. Komponen perbaikan kedua melibatkan proliferasi unsur-unsur jaringan penyambung yang mengakibatkan pembentukan jaringan parut.

Penyembuhan luka.

Koordinasi pembentukan parut dan regenerasi barangkali paling mudah dilukiskan pada kasus penyembuhan luka kulit. Jenis penyembuhan yang paling sederhana terlihat pada penanganan luka oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, dimana pinggir luka dapat didekatkan agar proses penyembuhan dapat terjadi. Penyembuhan semacam ini disebut penyembuhan primer atau healing by first intention. Setelah teijadi luka maka tepi luka dihubungkan oleh sedikit bekuan darah yang fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadilah reaksi peradangan akut pada tepi luka itu dan sel-sel radang, khususnya makrofag, memasuki bekuan darah dan mulai menghancurkanya. Dekat reaksi peradangan eksudat ini, terjadi pertumbuhan ke dalam oleh jaringan granulasi ke dalam daerah yang tadinya ditempati oleh bekuan darah. Dengan demikian maka dalam jangka waktu beberapa hari luka itu dijembatani oleh jaringan granulasi yang disiapkan agar matang menjadi jaringan parut. Sementara proses ini berjalan maka epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan regenerasi dan dalam waktu beberapa hari bermigrasi lapisan tipis epitel diatas permukaa luka.Waktu jaringan parut di bawahnya menjadi matang, epitel ini juga menebal dan matang sehingga menyerupai kulit yang didekatnya. Hasil akhirnya adalah terbentuknya kembali permukaan kulit dan dasar jaringan parut yang tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal. Pada luka lainnya diperlukan jahitan untuk mendekatkan kedua tepi luka sampai terjadi penyembuhan.
Bentuk penyembuhan kedua terjadi jika luka kulit sedemikian rupa sehingga tepi luka tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Keadaan ini disebut healing by second intention atau kadang kala disebut penyembuhan yang disertai granulasi

Penyembuhan Abses

Penyembuhan akan berlangsung lebih cepat bila isi abses dapat keluar. Abses kecil akan diorganisasi dan menjadi jaringan ikat. Abses besar hanya sekitarnya akan diorganisasi dan menjadi jaringan ikat.