Paparan materi pornografi secara terus-menerus dapat menyebabkan kecanduan (adiksi) yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan otak mengecil dan fungsinya terganggu.
Dalam seminar mengenai dampak pornografi terhadap kerusakan otak di Jakarta, ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD mengatakan bahwa adiksi mengakibatkan otak bagian tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil.
Penyusutan jaringan otak yang memproduksi dopamine (bahan kimia pemicu rasa senang) itu, menurut dia, menyebabkan kekacauan kerja neurotransmiter yakni zat kimia otak yang berfungsi sebagai pengirim pesan.
"Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol. Ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya," kata Hilton serta menambahkan adiksi pornografi juga menimbulkan gangguan memori.
Kondisi tersebut, ia menjelaskan, tidak terjadi secara cepat dalam waktu singkat namun melalui beberapa tahap yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitisasi dan akhirnya penurunan perilaku.
"Pornografi dapat merusak sel-sel otak, akibatnya perilaku dan kemampuan intelegensia akan mengalami gangguan," tambah Kepala Pusat Pemeliharaan, Peningkatan dan Penanggulangan Intelegensia Kesehatan H. Jofizal Jannis.
Ia menjelaskan, penurunan intelegensia secara langsung dan tidak langsung akan menurunkan produktivitas dan menurunkan indeks pembangunan sumber daya manusia.
Menurut Hilton, kerusakan otak akibat kecanduan pornografi adalah yang paling berat, lebih berat dari kecanduan kokain.
Namun demikian, kata dia, kini ada harapan kerusakan otak itu bisa dipulihkan hingga mendekati normal dengan berbagai metode penyembuhan.
Terapi yang dapat digunakan untuk memulihkan kerusakan otak akibat kecanduan, menurut dia, antara lain pemberian motivasi pribadi untuk memacu semangat penderita guna melepaskan diri dari kecanduan, dan penciptaan lingkungan yang aman bagi pecandu dengan menurunkan secara drastis aksesnya terhadap pornografi.
Selain itu, ia menambahkan, pembentukan kelompok pendukung dengan konselor dan terapis serta terapi peningkatan spiritualitas dampaknya juga sangat bermakna dalam upaya pemulihan.
"Penelitian menunjukkan spiritualitas agama apapun, akan mempercepat proses pemulihan," katanya.
*Kanker Paru-paru Akibat Merokok Dapat Diketahui Dari Mulut
Sel-sel yang melapisi mulut dapat mencerminkan kerusakan molekul yang disebabkan oleh rokok pada lapisan paru-paru, demikian laporan beberapa peneliti AS.
Pemeriksaan jaringan oral yang melapisi mulut untuk mengukur perubahan molekul yang menyebabkan kanker pada paru-paru dapat menyelamatkan pasien dan orang yang beresiko terserang kanker paru-paru dari prosedur tak nyaman yang digunakan saat ini, kata tim peneliti tersebut.
Mereka berharap akan ada kemungkinan untuk pada suatu hari menyeka mulut perokok guna meramalkan siapa yang akan terserang kanker paru-paru, sehingga menghindari biopsi berbahaya dan menyakitkan pada paru-paru.
Proses itu juga mungkin mengarah kepada pemeriksaan yang akan meramalkan kanker lain, kata Dr. Li Mao, ahli dalam penyakit kanker kepala, tengkuk dan paru-paru di M.D. Anderson Cancer Center, University of Texas, di Houston.
"Studi kami membuka pintu bagi peningkatan kemampuan kita untuk meramalkan siapa yang memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terserang kanker yang berkaitan dengan tembakau," kata Mao dalam suatu pernyataan. "Bukan hanya kanker paru-paru, tapi juga kanker pankreas, kandung kemih dan kepala serta tengkuk, yang juga berkaitan dengan penggunaan tembakau."
Merokok adalah penyebab utama kanker paru-paru, tapi hanya sebanyak 10% perokok terserang penyakit tersebut. Penyakit itu menimbulkan sedikit gejala sampai berkembang, yang berarti pasien jarang didiagnosis atau dirawat hingga sudah sangat terlambat untuk diobati.
Tim Mao ingin menemukan cara untuk memantau pasien yang menggunakan satu obat, COX-2 inhibitor celecoxib, yang dijual oleh Pfizer (PFE.N) dengan nama Celebrex, dengan harapan dapat mencegah kanker paru-paru.
Mereka meneliti dua gen yang dikenal membantu mencegah perkembangan kanker, p16 dan FHIT. Ada kerusakan mendasar (pada kedua gen itu) jauh sebelum kanker menyerang," kata Mao.
Ketika berbicara pada pertemuan American Association for Center Research di San Diego, mereka mengatakan mereka mencari kerusakan khusus pada kedua gen tersebut dalam sampel paru-paru dan mulut dari 125 perokok lama.
"Kami berbicara mengenai hanya pemeriksaan dalam untuk memperoleh informasi yang sama dengan yang dapat kami peroleh dari penyikatan paru-paru yang diperoleh melalui bronchoscopy," kata penyaji studi itu Dr. Manisha Bhutani yang bekerja bersama Mao.
Tim tersebut mengkaji jaringan oral dan yang melapisi paru-paru yang disebut epithelium, pada 125 perokok kronis yang terdaftar dalam studi itu.
Status dua gen penting yang menekan tumor dianalisis. Gen itu, p16 dan FHIT, diketahui rusak sangat dini dalam proses perkembangan kanker.
Peserta studi itu memberi sampel mulut dan paru-paru pada awal dan kemudian tiga bulan kemudian. Para peneliti melacak apakah p16, FHIT atau keduanya telah dirusak. Perbandingan jaringan dasar mereka memperlihatkan persentase gen yang dirusak sama pada sel-sel mulut dan paru-paru.
Gen p16 ditutup melalui suatu proses yang disebut methylation di dalam paru-paru sebanyak 23% relawan, sementara FHIT terpengaruh pada 17%. Di mulut, p16 dirusak pada 19% perokok, dan FHIT pada 15% di antara mereka.
Pada 95% orang yang gen mereka terpengaruh, mereka terpengaruh pada mulut dan paru-paru, kata Mao dan Bhutani.
"Studi kami menyediakan bukti sistematis pertama bahwa jaringan yang dapat ditembus, oral epithelium, dapat digunakan untuk memantau kejadian molekular pada jaringan yang kurang dapat ditembus," kata Bhutani. "Ini memberi metode pemantauan-bio yang sesuai guna memberi pandangan ke dalam berbagai peristiwa molekular yang terjadi di paru-paru perokok kronis."
Satu daerah lanjutan pada studi tersebut ialah menemukan pembuat-bio tambahan pada jaringan mulut.
Pemeriksaan jaringan oral yang melapisi mulut untuk mengukur perubahan molekul yang menyebabkan kanker pada paru-paru dapat menyelamatkan pasien dan orang yang beresiko terserang kanker paru-paru dari prosedur tak nyaman yang digunakan saat ini, kata tim peneliti tersebut.
Mereka berharap akan ada kemungkinan untuk pada suatu hari menyeka mulut perokok guna meramalkan siapa yang akan terserang kanker paru-paru, sehingga menghindari biopsi berbahaya dan menyakitkan pada paru-paru.
Proses itu juga mungkin mengarah kepada pemeriksaan yang akan meramalkan kanker lain, kata Dr. Li Mao, ahli dalam penyakit kanker kepala, tengkuk dan paru-paru di M.D. Anderson Cancer Center, University of Texas, di Houston.
"Studi kami membuka pintu bagi peningkatan kemampuan kita untuk meramalkan siapa yang memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terserang kanker yang berkaitan dengan tembakau," kata Mao dalam suatu pernyataan. "Bukan hanya kanker paru-paru, tapi juga kanker pankreas, kandung kemih dan kepala serta tengkuk, yang juga berkaitan dengan penggunaan tembakau."
Merokok adalah penyebab utama kanker paru-paru, tapi hanya sebanyak 10% perokok terserang penyakit tersebut. Penyakit itu menimbulkan sedikit gejala sampai berkembang, yang berarti pasien jarang didiagnosis atau dirawat hingga sudah sangat terlambat untuk diobati.
Tim Mao ingin menemukan cara untuk memantau pasien yang menggunakan satu obat, COX-2 inhibitor celecoxib, yang dijual oleh Pfizer (PFE.N) dengan nama Celebrex, dengan harapan dapat mencegah kanker paru-paru.
Mereka meneliti dua gen yang dikenal membantu mencegah perkembangan kanker, p16 dan FHIT. Ada kerusakan mendasar (pada kedua gen itu) jauh sebelum kanker menyerang," kata Mao.
Ketika berbicara pada pertemuan American Association for Center Research di San Diego, mereka mengatakan mereka mencari kerusakan khusus pada kedua gen tersebut dalam sampel paru-paru dan mulut dari 125 perokok lama.
"Kami berbicara mengenai hanya pemeriksaan dalam untuk memperoleh informasi yang sama dengan yang dapat kami peroleh dari penyikatan paru-paru yang diperoleh melalui bronchoscopy," kata penyaji studi itu Dr. Manisha Bhutani yang bekerja bersama Mao.
Tim tersebut mengkaji jaringan oral dan yang melapisi paru-paru yang disebut epithelium, pada 125 perokok kronis yang terdaftar dalam studi itu.
Status dua gen penting yang menekan tumor dianalisis. Gen itu, p16 dan FHIT, diketahui rusak sangat dini dalam proses perkembangan kanker.
Peserta studi itu memberi sampel mulut dan paru-paru pada awal dan kemudian tiga bulan kemudian. Para peneliti melacak apakah p16, FHIT atau keduanya telah dirusak. Perbandingan jaringan dasar mereka memperlihatkan persentase gen yang dirusak sama pada sel-sel mulut dan paru-paru.
Gen p16 ditutup melalui suatu proses yang disebut methylation di dalam paru-paru sebanyak 23% relawan, sementara FHIT terpengaruh pada 17%. Di mulut, p16 dirusak pada 19% perokok, dan FHIT pada 15% di antara mereka.
Pada 95% orang yang gen mereka terpengaruh, mereka terpengaruh pada mulut dan paru-paru, kata Mao dan Bhutani.
"Studi kami menyediakan bukti sistematis pertama bahwa jaringan yang dapat ditembus, oral epithelium, dapat digunakan untuk memantau kejadian molekular pada jaringan yang kurang dapat ditembus," kata Bhutani. "Ini memberi metode pemantauan-bio yang sesuai guna memberi pandangan ke dalam berbagai peristiwa molekular yang terjadi di paru-paru perokok kronis."
Satu daerah lanjutan pada studi tersebut ialah menemukan pembuat-bio tambahan pada jaringan mulut.
Stroke Tidak Kenal Jenis Kelamin dan Usia
Serangan penyakit stroke dipastikan tidak mengenal jenis kelamin, menurut salah satu dokter ahli saraf di sebuah RS swasta di Lampung, karena penyakit gangguan saraf yang mematikan itu dapat saja menyerang kaum perempuan maupun pria, berusia lanjut atau berusia muda.
Dokter ahli saraf di RS Immanuel, dr Ruth Mariva SpS menyebutkan, penyakit stroke tidak hanya menimpa kaum pria dan manusia berusia lanjut, tapi juga bisa menyerang kaum perempuan dan orang berusia muda.
Dia menyebutkan, serangan stroke biasanya terjadi secara mendadak atau tiba-tiba dengan gejala yang bervariasi, mulai dari bicara cadel, lemah sebelah/seluruh badan, sampai tidak sadarkan diri.
Menurut dia, kasus-kasus stroke itu ternyata semakin banyak menimpa kaum perempuan dan orang berusia muda.
Meski penyakit tersebut mematikan, lanjut dia, namun masih bisa dicegah terjadi dengan menganut pola hidup sehat serta berobat secara teratur.
Dijelaskan, adanya faktor risiko stroke yang tidak bisa dimodifikasi dan menjadi unsur bawaan adalah riwayat keluarga, umur, jenis kelamin, dan ras.
Sedangkan faktor risiko yang bisa diubah adalah masalah medis dan pola hidup, di antaranya adalah gejala penyakit darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, kolesterol, asam urat, kegemukan, merokok, kurang berolahraga, narkoba, dan kelainan darah.
Penderita serangan stroke yang menimbulkan kerusakan otak terjadi di sebelah kiri, akan mengakibatkan penderita mengalami kelumpuhan pada sebelah kanan, gangguan berbicara, lamban, dan daya ingat merosot.
Kerusakan otak sebelah kanan, akan mengakibatkan kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kiri, gangguan orientasi tempat, juga kemunduran daya ingat.
Ia menyebutkan, stroke dapat dicegah dengan mengontrol faktor risiko stroke yang ada pada diri seseorang.
Dr Ruth Mariva SpS juga mengatakan, hipertensi atau tekanan darah yang terus menerus di atas ambang batas normal merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan terjadi stroke dan penyakit jantung koroner.
Hipertensi sering menimbulkan komplikasi yang akhirnya mengakibatkan terjadi gangguan pada jantung, serangan stroke, gangguan fungsi ginjal, dan penyakit arteri (pembuluh darah tepi).
Dia menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadi hipertensi.
Penyebab hipertensi primer, yakni faktor turunan dan lingkungan (banyak mengonsumsi garam, alkohol, kegemukan, kurang berolahraga, merokok dan stress), sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi ginjal, masalah hormon, obat-obatan, dan kehamilan.
Ia juga menyebutkan bahwa hampir 90% penderita hipertensi adalah hipertensi primer, sedangkan hipertensi sekunder berkisar 5-10% saja, dan lebih dari 50% penyebab stroke adalah hipertensi.
Dokter ahli saraf di RS Immanuel, dr Ruth Mariva SpS menyebutkan, penyakit stroke tidak hanya menimpa kaum pria dan manusia berusia lanjut, tapi juga bisa menyerang kaum perempuan dan orang berusia muda.
Dia menyebutkan, serangan stroke biasanya terjadi secara mendadak atau tiba-tiba dengan gejala yang bervariasi, mulai dari bicara cadel, lemah sebelah/seluruh badan, sampai tidak sadarkan diri.
Menurut dia, kasus-kasus stroke itu ternyata semakin banyak menimpa kaum perempuan dan orang berusia muda.
Meski penyakit tersebut mematikan, lanjut dia, namun masih bisa dicegah terjadi dengan menganut pola hidup sehat serta berobat secara teratur.
Dijelaskan, adanya faktor risiko stroke yang tidak bisa dimodifikasi dan menjadi unsur bawaan adalah riwayat keluarga, umur, jenis kelamin, dan ras.
Sedangkan faktor risiko yang bisa diubah adalah masalah medis dan pola hidup, di antaranya adalah gejala penyakit darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, kolesterol, asam urat, kegemukan, merokok, kurang berolahraga, narkoba, dan kelainan darah.
Penderita serangan stroke yang menimbulkan kerusakan otak terjadi di sebelah kiri, akan mengakibatkan penderita mengalami kelumpuhan pada sebelah kanan, gangguan berbicara, lamban, dan daya ingat merosot.
Kerusakan otak sebelah kanan, akan mengakibatkan kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kiri, gangguan orientasi tempat, juga kemunduran daya ingat.
Ia menyebutkan, stroke dapat dicegah dengan mengontrol faktor risiko stroke yang ada pada diri seseorang.
Dr Ruth Mariva SpS juga mengatakan, hipertensi atau tekanan darah yang terus menerus di atas ambang batas normal merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan terjadi stroke dan penyakit jantung koroner.
Hipertensi sering menimbulkan komplikasi yang akhirnya mengakibatkan terjadi gangguan pada jantung, serangan stroke, gangguan fungsi ginjal, dan penyakit arteri (pembuluh darah tepi).
Dia menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadi hipertensi.
Penyebab hipertensi primer, yakni faktor turunan dan lingkungan (banyak mengonsumsi garam, alkohol, kegemukan, kurang berolahraga, merokok dan stress), sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi ginjal, masalah hormon, obat-obatan, dan kehamilan.
Ia juga menyebutkan bahwa hampir 90% penderita hipertensi adalah hipertensi primer, sedangkan hipertensi sekunder berkisar 5-10% saja, dan lebih dari 50% penyebab stroke adalah hipertensi.
VARICELLA
I. Definisi
Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak, mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun banyak juga lesi kult yang tidak berkembang sampai vesikel.
Normalnya pada anak, gejala sistemik biasanya ringan. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada dewasa dan pada anak dengan defisiensi imunitas seluler, dimana penyakit dapat bermanifestasi klinis berupa, erupsi sangat luas, gejala konstitusional berat, dan pneumonia. Terdapat kemungkinan fatal jika tidak ada terapi antivirus yang diberikan.
Vaksin Live Attenuated (Oka) mulai diberikan secara rutin pada anak yang sehat diatas umur 1 tahun 1995. Setelah itu, insidensi varisella dan komplikasinya mulai menurun di Amerika Serikat. Telah banyak negara bagian yang mewajibkan vaksin ini diberikan sebagai syarat masuk sekolah.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
II. Epidemiology
Sebelum pengenalan vaksin pada tahun 1995, varisella merupakan penyakit infeksi paling sering pada anak-anak di USA. Kebanyakan anak terinfeksi pada umur 15 tahun, dengan persentasi dibawah 5% pada orang dewasa. Epidemik Varicella terjadi pada musim dingin dan musim semi, tercatat lebih dari 4 juta kasus, 11.000 rawat inap, dan 100 kematian tiap tahunnya. Varicella merupakan penyakit serius dengan persentasi komplikasi dan kematian tinggi pada balita, dewasa, dan dengan orang imun yang terkompromi. Pada rumah tangga, persentasi penularan dari virus ini berkisar 65%-86%.
III. Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV) yang termasuk kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150 – 200 nm. Inti virus disebut capsid yang berbentuk icosahedral, terdiri dari protein dan DNA yang mempunyai rantai ganda yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan merupakan suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari 162 capsomer. Lapisan ini bersifat infeksius.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster.
IV. Patogenesis
Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka timbullah demam dan malaise.
Permulaan bentuk lesi pada kulit mungkin infeksi dari kapiler endothelial pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebacea dan terjadi pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi papula, vesikel da akhirnya menjadi crusta. Jarang lesi yang menetap dalam bentuk makula dan papula saja. Vesikel ini akan berada pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam.
Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan dari sel tersebut mengandung inclusion body intranuclear type A
Penularan secara airborne droplet. Virus dapat menetap dan laten pada sel syaraf. Lalu dapat terjadi reaktivitas maka dapat terjadi herpes Zooster.
V. Gejala Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 10-21 hari setelah terinfeksi pada anak-anak yang berusia diatas 10 tahun, gejala awalnya berupa sakit kepala demam sedang dan rasa tidak enak badan, gejala tersebut biasanya tidak ditemukan pada anak-anak yang lebih musa. Pada permulaannya, penderita akan merasa sedikit demam, pilek, cepat merasa lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala ini khas untuk infeksi virus. Pada kasus yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan pada kulit yang berukuran kecil yang pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu diikuti timbul di anggota gerak dan wajah.
Kemerahan pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam kulit ini mungkin terasa agak nyeri atau gatal sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika lenting ini dibiarkan maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang nantinya akan terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap (hiperpigmentasi). Bercak ini lama-kelamaan akan pudar sehingga beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.
Lain halnya jika lenting cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam sehingga akan mengering lebih lama. kondisi ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas luka garukan tadi. setelah mengering bekas cacar air tadi akan menghilangkan bekas yang dalam. Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit menghilang.
Papula di mulut cepat pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus), yang sering menyebabkan gangguan menelan. Ulkus juga dapat ditemukan di kelopak mata, saluran pernapasan bagian atas, rectum dan vagina.
Papula pada pita suara dan saluran pernapasan atas kadang menyebabkan gangguan pada pernapasan. Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening dileher bagian samping. Cacar air jarang menyebabkan pembentukan jaringan parut, kalaupun ada hanya berupa lekukan kecil di sekitar mata. Luka cacar air bisa terinfeksi akibat garukan dan biasanya disebabkan oleh staphylococcus.
Anak-anak biasanya sembuh dari cacar air tanpa masalah. Tetapi pada orang dewasa maupun penderita gangguan sistem kekebalan, infeksi ini bisa berat atau bahkan berakibat fatal.
Gambar I. seorang anak dengan Varicella
VI. Differensial Diagnosis
Differensial diagnosis dari infeksi varicella sendiri termasuk infeksi yang dapat menimbulkan vesikular exanthema, seperti infeksi herpes secara umum, hand-foot-mouth infection dan exanthema enteroviral lainnya. Dahulu, variola dan vaccinia merupakan differensial diagnosis yang penting namun infeksi ini sudah sangat jarang ditemukan. Herpes simpleks dapat dibedakan dari pengelompokan vesikelnya, lokasi, dan tes immunoflorescent atau kultur, jika perlu. Tes Tzanck dapat membantu membedakan varicella dengan enteroviral penyebab exanthem lainnya dengan memperlihatkan multinucleated giant cell pada infeksi Herpes zoster.
VII. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak memberikan gambaran yang spesifik.
Untuk pemeriksaan varicella bahan diambil dari dasar vesikel dengan cara kerokan atau apusan dan dicat dengan Giemsa dan Hematoksilin Eosin, maka akan terlihat sel-sel raksasa (giant cell) yang mempunyai inti banyak dan epitel sel berisi Acidophilic Inclusion Bodies atau dapat juga dilakukan pengecatan dengan pewarnaan imunofluoresen, sehingga terlihat antigen virus intrasel.
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan fibroblast pada embrio manusia. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel, kadang-kadang ada darah.
Antibodi terhadap varicella dapat dideteksi dengan pemeriksaan Complemen Fixation Test, Neurailization Test, FAMA, IAHA, dan ELISA.
VIII. Pengobatan
Untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah penggarukan, sebaiknya kulit dikompres dingin. Bisa juga dioleskan losyen kalamin, antihistamin atau losyen lainnya yang mengandung mentol atau fenol.
Untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi bakteri, sebaiknya: kulit dicuci sesering mungkin dengan ait dan sabun, menjaga kebersihan tangan, kuku dipotong pendek, pakaian tetap kering dan bersih.
Kadang diberikan obat untuk mengurangi gatal (antihistamin). Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Jika kasusnya berat, bisa diberikan obat anti-virus asiklovir.
Untuk menurunkan demam, sebaiknya gunakan asetaminofen, jangan aspirin. Karena aspirin dapat memberikan efek samping yang buruk pada anak-anak Obat anti-virus boleh diberikan kepada anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Asiklovir biasanya diberikan kepada remaja, karena pada remaja penyakit ini lebih berat. Asikloir bisa mengurangi beratnya penyakit jika diberikan dalam wakatu 24 jam setelah munculnya ruam yang pertama.
Obat anti-virus lainnya adalah vidarabin.
IX. Komplikasi
Adapun komplikasi yang bisa ditemukan pada cacar air adalah:
- Pneumonia karena virus
- Peradangan jantung
- Peradangan sendi
- Peradangan hati
- Infeksi bakteri (erisipelas, pioderma, impetigo bulosa)
- Ensefalitis (infeksi otak).
X. Prognosis
Dengan perawatan teliti dan memperhatikan higiene akan memberikan prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul akan menjadi sedikit.
Angka kematian pada anak normal di Amerika 5,4 – 7,5 dari 10.000 kasus varicella.
Pada neonatus dan anak yang menderita leukimia, immunodefisiensi, sering menimbulkan komplikasi dan angka kematian yang meningkat.
Angka kematian pada penderita yang mendapatkan pengobatan immunosupresif tanpa mendapatkan vaksinasi dan pengobatan antivirus antar 7 – 27% dan sebagian besar penyebab kematian adalah akibat komplikasi pneumonitis dan ensefalitis.
XI. Pencegahan
Untuk mencegah cacar air diberikan suatu vaksin.
Kepada orang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi cacar air dan memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi (misalnya penderita gangguan sistem kekebalan), bisa diberikan immunoglobulin zoster atau immunoglobulin varicella-zoster.
Vaksin varisela biasanya diberikan kepada anak yang berusia 12-18 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2005
2. Mehta, Parang. Varicella. Emedicine from WebMD. Sept 2007
http://www.emedicine.com/ped/topic2385.htm
3. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2005
4. Schachner, Lawrence. Pediatric Dermatology Third Edition. Mosby. 2003
5. Cacar Air (Varicella). Medicastore.com
http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?id=&iddtl=38&idktg=&idobat=&UID=20071115181404
Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak, mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun banyak juga lesi kult yang tidak berkembang sampai vesikel.
Normalnya pada anak, gejala sistemik biasanya ringan. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada dewasa dan pada anak dengan defisiensi imunitas seluler, dimana penyakit dapat bermanifestasi klinis berupa, erupsi sangat luas, gejala konstitusional berat, dan pneumonia. Terdapat kemungkinan fatal jika tidak ada terapi antivirus yang diberikan.
Vaksin Live Attenuated (Oka) mulai diberikan secara rutin pada anak yang sehat diatas umur 1 tahun 1995. Setelah itu, insidensi varisella dan komplikasinya mulai menurun di Amerika Serikat. Telah banyak negara bagian yang mewajibkan vaksin ini diberikan sebagai syarat masuk sekolah.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
II. Epidemiology
Sebelum pengenalan vaksin pada tahun 1995, varisella merupakan penyakit infeksi paling sering pada anak-anak di USA. Kebanyakan anak terinfeksi pada umur 15 tahun, dengan persentasi dibawah 5% pada orang dewasa. Epidemik Varicella terjadi pada musim dingin dan musim semi, tercatat lebih dari 4 juta kasus, 11.000 rawat inap, dan 100 kematian tiap tahunnya. Varicella merupakan penyakit serius dengan persentasi komplikasi dan kematian tinggi pada balita, dewasa, dan dengan orang imun yang terkompromi. Pada rumah tangga, persentasi penularan dari virus ini berkisar 65%-86%.
III. Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV) yang termasuk kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150 – 200 nm. Inti virus disebut capsid yang berbentuk icosahedral, terdiri dari protein dan DNA yang mempunyai rantai ganda yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan merupakan suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari 162 capsomer. Lapisan ini bersifat infeksius.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster.
IV. Patogenesis
Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka timbullah demam dan malaise.
Permulaan bentuk lesi pada kulit mungkin infeksi dari kapiler endothelial pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebacea dan terjadi pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi papula, vesikel da akhirnya menjadi crusta. Jarang lesi yang menetap dalam bentuk makula dan papula saja. Vesikel ini akan berada pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam.
Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan dari sel tersebut mengandung inclusion body intranuclear type A
Penularan secara airborne droplet. Virus dapat menetap dan laten pada sel syaraf. Lalu dapat terjadi reaktivitas maka dapat terjadi herpes Zooster.
V. Gejala Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 10-21 hari setelah terinfeksi pada anak-anak yang berusia diatas 10 tahun, gejala awalnya berupa sakit kepala demam sedang dan rasa tidak enak badan, gejala tersebut biasanya tidak ditemukan pada anak-anak yang lebih musa. Pada permulaannya, penderita akan merasa sedikit demam, pilek, cepat merasa lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala ini khas untuk infeksi virus. Pada kasus yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan pada kulit yang berukuran kecil yang pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu diikuti timbul di anggota gerak dan wajah.
Kemerahan pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam kulit ini mungkin terasa agak nyeri atau gatal sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika lenting ini dibiarkan maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang nantinya akan terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap (hiperpigmentasi). Bercak ini lama-kelamaan akan pudar sehingga beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.
Lain halnya jika lenting cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam sehingga akan mengering lebih lama. kondisi ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas luka garukan tadi. setelah mengering bekas cacar air tadi akan menghilangkan bekas yang dalam. Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit menghilang.
Papula di mulut cepat pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus), yang sering menyebabkan gangguan menelan. Ulkus juga dapat ditemukan di kelopak mata, saluran pernapasan bagian atas, rectum dan vagina.
Papula pada pita suara dan saluran pernapasan atas kadang menyebabkan gangguan pada pernapasan. Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening dileher bagian samping. Cacar air jarang menyebabkan pembentukan jaringan parut, kalaupun ada hanya berupa lekukan kecil di sekitar mata. Luka cacar air bisa terinfeksi akibat garukan dan biasanya disebabkan oleh staphylococcus.
Anak-anak biasanya sembuh dari cacar air tanpa masalah. Tetapi pada orang dewasa maupun penderita gangguan sistem kekebalan, infeksi ini bisa berat atau bahkan berakibat fatal.
Gambar I. seorang anak dengan Varicella
VI. Differensial Diagnosis
Differensial diagnosis dari infeksi varicella sendiri termasuk infeksi yang dapat menimbulkan vesikular exanthema, seperti infeksi herpes secara umum, hand-foot-mouth infection dan exanthema enteroviral lainnya. Dahulu, variola dan vaccinia merupakan differensial diagnosis yang penting namun infeksi ini sudah sangat jarang ditemukan. Herpes simpleks dapat dibedakan dari pengelompokan vesikelnya, lokasi, dan tes immunoflorescent atau kultur, jika perlu. Tes Tzanck dapat membantu membedakan varicella dengan enteroviral penyebab exanthem lainnya dengan memperlihatkan multinucleated giant cell pada infeksi Herpes zoster.
VII. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak memberikan gambaran yang spesifik.
Untuk pemeriksaan varicella bahan diambil dari dasar vesikel dengan cara kerokan atau apusan dan dicat dengan Giemsa dan Hematoksilin Eosin, maka akan terlihat sel-sel raksasa (giant cell) yang mempunyai inti banyak dan epitel sel berisi Acidophilic Inclusion Bodies atau dapat juga dilakukan pengecatan dengan pewarnaan imunofluoresen, sehingga terlihat antigen virus intrasel.
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan fibroblast pada embrio manusia. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel, kadang-kadang ada darah.
Antibodi terhadap varicella dapat dideteksi dengan pemeriksaan Complemen Fixation Test, Neurailization Test, FAMA, IAHA, dan ELISA.
VIII. Pengobatan
Untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah penggarukan, sebaiknya kulit dikompres dingin. Bisa juga dioleskan losyen kalamin, antihistamin atau losyen lainnya yang mengandung mentol atau fenol.
Untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi bakteri, sebaiknya: kulit dicuci sesering mungkin dengan ait dan sabun, menjaga kebersihan tangan, kuku dipotong pendek, pakaian tetap kering dan bersih.
Kadang diberikan obat untuk mengurangi gatal (antihistamin). Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Jika kasusnya berat, bisa diberikan obat anti-virus asiklovir.
Untuk menurunkan demam, sebaiknya gunakan asetaminofen, jangan aspirin. Karena aspirin dapat memberikan efek samping yang buruk pada anak-anak Obat anti-virus boleh diberikan kepada anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Asiklovir biasanya diberikan kepada remaja, karena pada remaja penyakit ini lebih berat. Asikloir bisa mengurangi beratnya penyakit jika diberikan dalam wakatu 24 jam setelah munculnya ruam yang pertama.
Obat anti-virus lainnya adalah vidarabin.
IX. Komplikasi
Adapun komplikasi yang bisa ditemukan pada cacar air adalah:
- Pneumonia karena virus
- Peradangan jantung
- Peradangan sendi
- Peradangan hati
- Infeksi bakteri (erisipelas, pioderma, impetigo bulosa)
- Ensefalitis (infeksi otak).
X. Prognosis
Dengan perawatan teliti dan memperhatikan higiene akan memberikan prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul akan menjadi sedikit.
Angka kematian pada anak normal di Amerika 5,4 – 7,5 dari 10.000 kasus varicella.
Pada neonatus dan anak yang menderita leukimia, immunodefisiensi, sering menimbulkan komplikasi dan angka kematian yang meningkat.
Angka kematian pada penderita yang mendapatkan pengobatan immunosupresif tanpa mendapatkan vaksinasi dan pengobatan antivirus antar 7 – 27% dan sebagian besar penyebab kematian adalah akibat komplikasi pneumonitis dan ensefalitis.
XI. Pencegahan
Untuk mencegah cacar air diberikan suatu vaksin.
Kepada orang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi cacar air dan memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi (misalnya penderita gangguan sistem kekebalan), bisa diberikan immunoglobulin zoster atau immunoglobulin varicella-zoster.
Vaksin varisela biasanya diberikan kepada anak yang berusia 12-18 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2005
2. Mehta, Parang. Varicella. Emedicine from WebMD. Sept 2007
http://www.emedicine.com/ped/topic2385.htm
3. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2005
4. Schachner, Lawrence. Pediatric Dermatology Third Edition. Mosby. 2003
5. Cacar Air (Varicella). Medicastore.com
http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?id=&iddtl=38&idktg=&idobat=&UID=20071115181404
* APPENDISITIS AKUT
Insiden dan Epidemiologi
Dengan lebih dari 250,000 appendectomies dikerjakan tiap tahunnya, appendicitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Insiden appendicitis puncaknya pada decade pertama dan kedua kehidupan; jarang terjadi pada usia sangat muda atau tua. Namun, perforasi sering terjadi pada anak-anak dan umur lanjut, dimana periode ini merupakan angka tertinggi pada mortalitas. Pria dan wanita sama-sama dapat terkena, kecuali pada antara umur pubertas dan umur 25 tahun, dimana pria dominant dengan rasio 3:2. Insiden appendicitis cenderung stabil di Amerika Serikat selama 30 tahun terakhir, sementara insiden appendicitis lebih rendah pada negara berkembang dan negara terbelakang, terutama negara-negara Afrika, dan lebih jarang pada kelompok sosioekonomi rendah. Angka mortalitas di Amerika Serikat menurun delapan kali lipat antara tahun 1941 dan 1970 namun bertahan <1>
Patogenesis
Appendicitis diyakini terjadi sebagai akibat adanya obstruksi lumen appendix. Obstruksi paling sering disebabkan oleh fecalith, dimana diakibatkan oleh akumulasi dan pengeringan kandungan feses yang mengandung serat tumbuhan. Pembesaran folikel lymphoid akibat infeksi virus, barium mongering, cacing (cacing pita, Ascaris, dan Taenia), dan tumor dapat pula mengobstruksi lumen ini. Penemuan patologis lainnya yang umum yaitu adanya ulkus appendix. Penyebab ulkus ini tidak diketahui, walaupun etiologi virus telah dipostulatkan. Infeksi Yersinia mungkin dapat menyebabkan penyakit ini karena terlihat peningkatan antibody terhadap infeksi ini pada 30% kasus appendicitis. Bakteri di lumen memperbanyak diri dan menginvasi dinding appendix bersamaan dengan terjadinya pembengkakan vena dan kemudian gangguan arterial akibat tingginya tekanan intralumen. Pada akhirnya, gangrene dan perforasi terjadi. Jika proses ini berjalan perlahan, struktur sekitar seperti terminal ileum, cecum, dan omentum dapat menutupi area ini sehingga abses terlokalisasi akan muncul, dimana perkembangan dari gangguan vaskuler dapat menyebabkan perforasi dengan akses bebas ke kavum peritoneum. Ruptur pada abses appendix dapat menyebabkan adanya fistula antara appendix dan buli-buli, usus halus, sigmoid, atau caecum. Biasanya appendicitis akut merupakan manifestasi klinis pertama Chron’s Disease
Sementara infeksi kronis pada appendix seperti tuberculosis, amebiasis, dan actinomycosis dapat terjadi, suatu pernyataan klinis menyatakan bahwa inflamasi appendix kronik tidak biasanya menjadi penyebab dari nyeri abdominal yang berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Di lain pihak, appendicitis akut rekuren dapat terjadi, biasanya diikuti dengan hilangnya inflamasi dan gejala diantara dua serangan. Appendisitis akut rekuren dapat juga terjadi jika sisa appendix ditinggalkan begitu saja setelah appendectomy.
Manifestasi Klinis
Rasa tidak nyaman pada abdomen dan anorexia berkepanjangan yang dikaitkan dengan appendicitis merupakan patognomonic. Nyeri dijelaskan terletak pada daerah periumbilikal pada awalnya dan kemudian merambat ke bagian kanan bawah. Pola klasik gejala ini terjadi pada 66% pasien. Namun, pada pasien pria, gejala ini cukup untuk langsung dianjurkan eksplrasi bedah. Differensial diagnosis untuk nyeri periumbilical atau region bawah kanan diperlihatkn pada Tabel 1. Nyeri periumbilical bersifat visceral, diakibatkan adanya distensi dari lumen appendix. Nyeri ini dibawa oleh konduksi lambat C-fiber dan nyeri biasanya tidak dapat dibedakan letaknya antara periumbilical atau daerah epigastric. Pada umumnya, nyeri visceral ringan, kadang-kadang dengan kram dan biasanya berlangsung selama 4 – 6 jam, namun ini mungkin tidak dirasakan pada seseorang yang stoic (tidak mudah mengeluh jika sakit). Ketika inflamasi menyebar hingga ke permukaan peritoneal parietal, nyeri menjadi somatik, jelas, lebih berat dan dapat semakin sakit akibat pergerakan atau batuk. Nervus afferen pada bagian parietal adalah A delta fibers, yang merupakan konduksi cepat dan unilateral. Serat saraf ini melokalisasi nyeri pada quadran kanan bawah. Anorexia sangat umum terjadi; dimana pasien lapar biasanya tidak terkena appendicitis akut. Mual dan muntah terjadi pada 60% – 50% kasus, namun muntah biasanya terbatas. Perubahan pada aktivitas usus memiliki nilai diagnostic yang kecil, karena tidak ada perubahan yang biasa ditemukan, walaupun dapat terjadi diare akibat adanya inflamasi appendix pada daerah perbatasan dengan sigmoid dapat menyebabkan kesulitan dalam penegakkan diagnosis. Poliuria dan dysuria terjadi jika appendix terdapat berdekatan dengan kandung kemih.
Tabel 1. Lokasi anatomic asal dari nyeri periumbilical dan regio bagian kanan bawah sebagai differensial diagnosis Appendicitis .
Periumbilical
Appendicitis
Obstruksi usus halus
Gastroenteritis
Mesenteric ischemia
Kuadran Kanan Bawah
Penyebab Gastrointestinal
Penyebab Gynecologis
Appendicitis
Tumor Ovarium
Inflammatory bowel disease
Penyakit Radang Panggul
Diverculitis sisi kanan
Penyebab Ginjal
Gastroenteritis
Pyelonephritis
Hernia Inguinalis
Perinephritic abscess
A
Nephrolithiasis
Pemeriksaan fisis berbeda-beda tergantung onset penyakit dan tergantung pada lokasi appendix, yang bias saja terletak di bagian dalam pada cul-de-sac pelvis; kuadran kanan bawah terkait dengan lokasi peritoneum, cecum dan usus halus; pada bagian kanan atas (terutama selama kehamilan); atau bahkan pada kuadran kiri bawah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan kecuali rasa perih dapat di provokasi. Sementara keperihan biasanya absent pada stadium visceral dini penyakit, perasaan ini selalu munvul dan ditemukan di lokasi manapun tergantung posisi appendix. Umumnya, nyeri tekan ini pada McBurney’s point, secara anatomis terletak sepertiga dari jarak Spina iliaca anterior dan umbilicus. Rasa nyeri dapat tidak ada sama sekali jika appendix retrocecal atau pelvis ditemukan, dimana pemeriksaan fisis yang ditemukan hanya rasa nyeri pada pinggang atau pada pemeriksaan rectal atau pelvis. Nyeri rebound biasa didapatkan dan seringkali tidak ditemukan pada tahap dini penyakit ini. Hyperesthesia kulit pada kuadran kanan bawah dan tanda psoas atau obturator positif kadang merupakan tanda lanjut dan kurang memiliki nilai diagnostic .
Suhu tubuh biasanya normal atau sedikit meningka [37.2°–38°C (99°–100.5°F)], namun suhu tubuh >38.3°C (101°F) menandakan adanya perforasi. Tachycardia berjalan seiring dengan peningkatan suhu. Rigiditas dan rasa nyeri semakin ditandai jika penyakit semakin mengarah pada perforasi atau peritonitis difus. Distensi jarang ditemukan kecuali peritonitis difus telah dialami. Suatu massa dapat berkembang jika perforasi lokal telah terjadi namun biasanya tidak terdeteksi sebelum 3 hari setelah onset. Keberadaan massa dini menandakan adanya karsinoma cecum atau Crohn’s disease. Perforasi jarang terjadi sebelum 24 jam pertama onset gejala, namun persentasinya menjadi 80% setelah 48 jam pertama.
Walaupun leukositosis moderat dengan jumlah 10.000 – 18.000 sel/L sering ditemukan , alpanya leukositosis tidak menyingkirkan diagnosis appendicitis akut. Leukositosis >20.000sel/L menandakan adanya kemungkinan perforasi. Anemia dan darah pada feses menunjukkan adanya diagnosis primer karsinoma caecum, terutama pada lanjut usia. Urin mungkin mengandung sedikit sel darah putih atau merah tanpa bacteria jika appendix berdekatan dengan ureter kanan atau kandung kemih. Urinalysis adalah alat paling berguna untuk menyingkirkan diagnosis penyakit genitourinaria yang mirip dengan appendicitis.
Foto polos jarang bermanfaat kecuali terlihatnya fekalith opaque (5% pasien) didapatkan pada kuadran kanan bawah (terutama pada anak-anak). Sehingga, X-ray abdominal tidak rutin dilakukan kecuali terdapat keadaan lain seperti kemungkinan adanya obstruksi usus atau adanya batu ureter. Diagnosis mungkin dapat ditegakkan dengan gambaran USG dengan adanya appendix yang membesar atau berdinding tebal. USG juga terbaik untuk menyingkirkan diagnosis adanya kista ovarium, kehamilan ektopik, dan abses tuboovarium. Beberapa penelitian telah membuktikan manfaat dari CT-Scan dengan atau tanpa kontras untuk menegakkan diagnosis appendicitis akut. Penemuan pada CT dapat berupa appendix menebal dengan adanya periappendical stranding dan biasanya dengan keberadaan fecalith (Gambar 1 dan 2). Nilai presisi dari CT-Scan adalah 95-97% an dengan akurasi hingga 90-98%. Sebagai tambahan tidak nampaknya appendix pada gambaran CT-Scan berkaitan dengan penemuan appendix normal pada 98% kasus. Udara bebas peritoneum jarang terlihat, bahkan pada appendicitis dengan perforasi
Gambar 1. CT dengan kontras intravena-oral dari appendicitis akut. Terdapat penebalan dinding appendix dan periappendiceal stranding (panah).
Gambar 2. Fecolith pada Appendix
Walaupun episode riwayat khas dan penemuan fisis terdapat pada 50-60% kasus, luasnya variasi dari pola atipikal penyakit ini biasa ditemukan, terutama pada umur anak-anak atau lansia dan selama kehamilan. Balita dibawah umur 2 tahun mempunyai 70-80% insiden perforasi dan peritonitis. Ini kemungkinan disebabkan oleh keterlambatan mendiagnosis. Balita yang mengalami diare, muntah-muntah, dan nyeri perut paling dicurigai. Demam lebih sering terjadi pada kelompok umur ini. Pada orang lansia, nyeri biasanya samar, dan diagnosisnya sering tertunda menyebabkan 30% insiden perforasi pada pasien dengan umur diatas 70 tahun. Pasien lansia sering datang mulanya dengan adanya massa yang sedikit nyeri (abses appendix primer) atau dengan obstruksi usus 5 atau 6 hari setelah perforasi appendix yang tidak terdeteksi..
Appendicitis terjadi pada 1 diantara 500-2000 kehamilan dan merupakan keadaan extrauterin yang paling sering membutuhkan operasi abdomen. Diagnosis kemungkinan terlewatkan atau terlambat karena kejadian nyeri abdomen dan mual-muntah sering normal terjadi pada kehamilan dank arena adanya perpidahan appendix dari kuadran kanan bawah ke kuadran kanan atas selama trimester kedua dan ketiga kehamilan. Appendicitis cenderung sering terjadi pada trimester kedua. Diagnosis terbaik ditegakkan dengan USG, yang memiliki akurasi 80%, namun, jika perforasi telah terjadi, akurasi menjadi 30%. Intervensi dini harus dilakukan karena insiden kematian janin dengan appendix normal adalah 1,5% dan dengan perforasi insiden menjadi 20-35%
Differensial Diagnosis
Appendisitis akut telah disebut juga sebagai masquerader dan diagnosis lebih sulit ditegakkan pada wanita muda. Memperoleh anamnese termasuk dari aktivitas seksual dan keberadaan secret vagina, akan membantu membedakan appendicitis dengan Penyakit Radang Panggul (PID/Pelvic Inflammatory Disease). Adanya secret vagina yang berbau dan didapatkannya bakteri gram negative intraseluler merupakan patognomonik untuk PID. Nyeri pada pergerakan serviks juga lebih spesifik untuk PID namun dapat pula terjadi pada appendicitis jika perforasi telah terjadi atau appendix berada dekat dengan uterus atau adnexa. Rupture of graafian follicle (mittelschmerz) tejadi pada pertengahan siklus dan akan menyebabkan nyeri dan perih lebih diffuse dan biasanya derajatnya lebih ringan dibandingkan appendicitis.Ruptur kista korpus luteum mirip secara klinis dengan ruptur folikel graafian namun muncul pada periode menstruasi. Adanya massa adnexal, adanya perdarahan, dan tes kehamilan positif menunjukkan adanya rupture kehamilan tuba. Kista ovarium yang terlilit dan endometriosis biasanya juga sulit dibedakan dengan appendicitis. Pada keadaan wanita seperti ini, USG dan laparoskopi memiliki nilai diagnosis yang tinggi .
Lymphadenitis mesenterika akut dan gastroenteritis akut menjadi diagnosis jika nodus limfe terlihat membesar atau kemerahaan pada mesenterika dan appendix normal biasanya terlihat pada operasi pada pasien yang biasanya mengalami keperihan pada kuadran kanan bawah. Sebelumnya pasien ini mungkin memiliki suhu tubuh yang tinggi, diare, nyeri abdomen yang lebih diffuse, dan lymphositosis. Diantara kram, abdomen biasanya relaksaasi secara sempurna. Anak-anak sepertinya lebih sering mendapatkannya dibandingkan pada orang dewasa. Beberapa dari pasien ini terkena infeksi with Y. pseudotuberculosis atau Y. enterocolitica, dimana diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan kultur nodus mesenterika atau dengan pemeriksaan serologic. Pada gastroenteritis akibat Salmonella, penemuan abdominal mirip, walaupun nyeri dapat lebih berat dan terlokalisasi, dan demam sering ditemukan. Keberadaan gejala yang serupa pada keluarga membantu diagnosis. Penyakit Crohn’s biasanya berkaitan dengan riwayat gejala yang lama, sering dengan eksaserbasi sebelumnya yang dinilai sebagai episode gastroenteritis kevuali diagnosis telah ditegakkan sebelumnya. Seringpula massa akibat radang dapat dipalapasi. Sebagai tambahan, kolesistitis akut, ulkus perforasi, divertikulitis akut, obstruksi usus strangulated (teremas), kalkulus uretra, dan pyelonephritis dapat mempersulit diagnosis.
Penatalaksanaan Appendisitis Akut
Jika diagnosis dipertanyakan, observasi selama 4-6 jam dengan beberapa pemeriksaan abdominal seringkali berguna. Antibiotik sebaiknya tidak diberikan jika diagnosis masih belum jelas karena sepertinya obat ini akan menutupi gejala perforasi. Pengobatan dari suspek appendicitis adalah operasi dini dan appendectomy sesegera mungkin. Appendectomy biasanya dilakukan dengan teknik laparoskopi dan berkaitan dengan pemakaian sedikit bahan anastesi dan pasien cepat dipulangkan. Biasanya ditemukan 15-20% insiden appendix normal pada operasi appendectomy namun hal ini diterima karena dapat mencegah perforasi akibat appendicitis yang lama ditangani. Penggunaan laparoskopi dini dibandingkan pemeriksaan klinis yang carmat tidak memberikan manfaat klinis yang berarti pada pasien nyeri abdomen tidak spesifik.
Pendekatan yang berbeda dilakukan jika massa dapat terpalpasi pada 3-5 hari dari onset gejala. Penemuan ini biasanya menandakan adanya phlegmon atau abses dan komplikasi dari exisi bedah sering terjadi. Pasien seperti ini diatasi dengan antibiotic spectrum luas, drainase abses >3cm, cairan parenteral, dan istirahat usus (bowel rest) biasanya memberikan remisi dalam 1 minggu. Appendectomy biasanya dilakukan secara aman pada 6-12 minggu kemudian. Penelitian klinis acak telah menunjukkan bahwa pemakaian antibiotic dapat efektif untuk menangani appendicitis akut dan tidak terperforasi pada 86% pasien pria. Namun pemberian antibiotic saja terkait dengan jumlah rekurensi yang tinggi dibandingkan dengan intervensi bedah. Jika massa membesar dan pasien terlihat menjadi lebih toksik, abses sebaiknya didrainase. Perforasi berkaitan dengan peritonitis umum dan komplikasinya, termasuk abses subphrenic, pelvis, atau abses lainnya dan dapat dihindari dengan diagnosis dini. Angka mortalitas untuk appendicitis tidak terperforasi 0,1%, lebih kecil dibandingkan resiko anastesia total; untuk appendicitis perforasi, mortalitas biasanya 3% (dan dapat mencapai 15% pada orang lanjut usia).
Dengan lebih dari 250,000 appendectomies dikerjakan tiap tahunnya, appendicitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Insiden appendicitis puncaknya pada decade pertama dan kedua kehidupan; jarang terjadi pada usia sangat muda atau tua. Namun, perforasi sering terjadi pada anak-anak dan umur lanjut, dimana periode ini merupakan angka tertinggi pada mortalitas. Pria dan wanita sama-sama dapat terkena, kecuali pada antara umur pubertas dan umur 25 tahun, dimana pria dominant dengan rasio 3:2. Insiden appendicitis cenderung stabil di Amerika Serikat selama 30 tahun terakhir, sementara insiden appendicitis lebih rendah pada negara berkembang dan negara terbelakang, terutama negara-negara Afrika, dan lebih jarang pada kelompok sosioekonomi rendah. Angka mortalitas di Amerika Serikat menurun delapan kali lipat antara tahun 1941 dan 1970 namun bertahan <1>
Patogenesis
Appendicitis diyakini terjadi sebagai akibat adanya obstruksi lumen appendix. Obstruksi paling sering disebabkan oleh fecalith, dimana diakibatkan oleh akumulasi dan pengeringan kandungan feses yang mengandung serat tumbuhan. Pembesaran folikel lymphoid akibat infeksi virus, barium mongering, cacing (cacing pita, Ascaris, dan Taenia), dan tumor dapat pula mengobstruksi lumen ini. Penemuan patologis lainnya yang umum yaitu adanya ulkus appendix. Penyebab ulkus ini tidak diketahui, walaupun etiologi virus telah dipostulatkan. Infeksi Yersinia mungkin dapat menyebabkan penyakit ini karena terlihat peningkatan antibody terhadap infeksi ini pada 30% kasus appendicitis. Bakteri di lumen memperbanyak diri dan menginvasi dinding appendix bersamaan dengan terjadinya pembengkakan vena dan kemudian gangguan arterial akibat tingginya tekanan intralumen. Pada akhirnya, gangrene dan perforasi terjadi. Jika proses ini berjalan perlahan, struktur sekitar seperti terminal ileum, cecum, dan omentum dapat menutupi area ini sehingga abses terlokalisasi akan muncul, dimana perkembangan dari gangguan vaskuler dapat menyebabkan perforasi dengan akses bebas ke kavum peritoneum. Ruptur pada abses appendix dapat menyebabkan adanya fistula antara appendix dan buli-buli, usus halus, sigmoid, atau caecum. Biasanya appendicitis akut merupakan manifestasi klinis pertama Chron’s Disease
Sementara infeksi kronis pada appendix seperti tuberculosis, amebiasis, dan actinomycosis dapat terjadi, suatu pernyataan klinis menyatakan bahwa inflamasi appendix kronik tidak biasanya menjadi penyebab dari nyeri abdominal yang berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Di lain pihak, appendicitis akut rekuren dapat terjadi, biasanya diikuti dengan hilangnya inflamasi dan gejala diantara dua serangan. Appendisitis akut rekuren dapat juga terjadi jika sisa appendix ditinggalkan begitu saja setelah appendectomy.
Manifestasi Klinis
Rasa tidak nyaman pada abdomen dan anorexia berkepanjangan yang dikaitkan dengan appendicitis merupakan patognomonic. Nyeri dijelaskan terletak pada daerah periumbilikal pada awalnya dan kemudian merambat ke bagian kanan bawah. Pola klasik gejala ini terjadi pada 66% pasien. Namun, pada pasien pria, gejala ini cukup untuk langsung dianjurkan eksplrasi bedah. Differensial diagnosis untuk nyeri periumbilical atau region bawah kanan diperlihatkn pada Tabel 1. Nyeri periumbilical bersifat visceral, diakibatkan adanya distensi dari lumen appendix. Nyeri ini dibawa oleh konduksi lambat C-fiber dan nyeri biasanya tidak dapat dibedakan letaknya antara periumbilical atau daerah epigastric. Pada umumnya, nyeri visceral ringan, kadang-kadang dengan kram dan biasanya berlangsung selama 4 – 6 jam, namun ini mungkin tidak dirasakan pada seseorang yang stoic (tidak mudah mengeluh jika sakit). Ketika inflamasi menyebar hingga ke permukaan peritoneal parietal, nyeri menjadi somatik, jelas, lebih berat dan dapat semakin sakit akibat pergerakan atau batuk. Nervus afferen pada bagian parietal adalah A delta fibers, yang merupakan konduksi cepat dan unilateral. Serat saraf ini melokalisasi nyeri pada quadran kanan bawah. Anorexia sangat umum terjadi; dimana pasien lapar biasanya tidak terkena appendicitis akut. Mual dan muntah terjadi pada 60% – 50% kasus, namun muntah biasanya terbatas. Perubahan pada aktivitas usus memiliki nilai diagnostic yang kecil, karena tidak ada perubahan yang biasa ditemukan, walaupun dapat terjadi diare akibat adanya inflamasi appendix pada daerah perbatasan dengan sigmoid dapat menyebabkan kesulitan dalam penegakkan diagnosis. Poliuria dan dysuria terjadi jika appendix terdapat berdekatan dengan kandung kemih.
Tabel 1. Lokasi anatomic asal dari nyeri periumbilical dan regio bagian kanan bawah sebagai differensial diagnosis Appendicitis .
Periumbilical
Appendicitis
Obstruksi usus halus
Gastroenteritis
Mesenteric ischemia
Kuadran Kanan Bawah
Penyebab Gastrointestinal
Penyebab Gynecologis
Appendicitis
Tumor Ovarium
Inflammatory bowel disease
Penyakit Radang Panggul
Diverculitis sisi kanan
Penyebab Ginjal
Gastroenteritis
Pyelonephritis
Hernia Inguinalis
Perinephritic abscess
A
Nephrolithiasis
Pemeriksaan fisis berbeda-beda tergantung onset penyakit dan tergantung pada lokasi appendix, yang bias saja terletak di bagian dalam pada cul-de-sac pelvis; kuadran kanan bawah terkait dengan lokasi peritoneum, cecum dan usus halus; pada bagian kanan atas (terutama selama kehamilan); atau bahkan pada kuadran kiri bawah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan kecuali rasa perih dapat di provokasi. Sementara keperihan biasanya absent pada stadium visceral dini penyakit, perasaan ini selalu munvul dan ditemukan di lokasi manapun tergantung posisi appendix. Umumnya, nyeri tekan ini pada McBurney’s point, secara anatomis terletak sepertiga dari jarak Spina iliaca anterior dan umbilicus. Rasa nyeri dapat tidak ada sama sekali jika appendix retrocecal atau pelvis ditemukan, dimana pemeriksaan fisis yang ditemukan hanya rasa nyeri pada pinggang atau pada pemeriksaan rectal atau pelvis. Nyeri rebound biasa didapatkan dan seringkali tidak ditemukan pada tahap dini penyakit ini. Hyperesthesia kulit pada kuadran kanan bawah dan tanda psoas atau obturator positif kadang merupakan tanda lanjut dan kurang memiliki nilai diagnostic .
Suhu tubuh biasanya normal atau sedikit meningka [37.2°–38°C (99°–100.5°F)], namun suhu tubuh >38.3°C (101°F) menandakan adanya perforasi. Tachycardia berjalan seiring dengan peningkatan suhu. Rigiditas dan rasa nyeri semakin ditandai jika penyakit semakin mengarah pada perforasi atau peritonitis difus. Distensi jarang ditemukan kecuali peritonitis difus telah dialami. Suatu massa dapat berkembang jika perforasi lokal telah terjadi namun biasanya tidak terdeteksi sebelum 3 hari setelah onset. Keberadaan massa dini menandakan adanya karsinoma cecum atau Crohn’s disease. Perforasi jarang terjadi sebelum 24 jam pertama onset gejala, namun persentasinya menjadi 80% setelah 48 jam pertama.
Walaupun leukositosis moderat dengan jumlah 10.000 – 18.000 sel/L sering ditemukan , alpanya leukositosis tidak menyingkirkan diagnosis appendicitis akut. Leukositosis >20.000sel/L menandakan adanya kemungkinan perforasi. Anemia dan darah pada feses menunjukkan adanya diagnosis primer karsinoma caecum, terutama pada lanjut usia. Urin mungkin mengandung sedikit sel darah putih atau merah tanpa bacteria jika appendix berdekatan dengan ureter kanan atau kandung kemih. Urinalysis adalah alat paling berguna untuk menyingkirkan diagnosis penyakit genitourinaria yang mirip dengan appendicitis.
Foto polos jarang bermanfaat kecuali terlihatnya fekalith opaque (5% pasien) didapatkan pada kuadran kanan bawah (terutama pada anak-anak). Sehingga, X-ray abdominal tidak rutin dilakukan kecuali terdapat keadaan lain seperti kemungkinan adanya obstruksi usus atau adanya batu ureter. Diagnosis mungkin dapat ditegakkan dengan gambaran USG dengan adanya appendix yang membesar atau berdinding tebal. USG juga terbaik untuk menyingkirkan diagnosis adanya kista ovarium, kehamilan ektopik, dan abses tuboovarium. Beberapa penelitian telah membuktikan manfaat dari CT-Scan dengan atau tanpa kontras untuk menegakkan diagnosis appendicitis akut. Penemuan pada CT dapat berupa appendix menebal dengan adanya periappendical stranding dan biasanya dengan keberadaan fecalith (Gambar 1 dan 2). Nilai presisi dari CT-Scan adalah 95-97% an dengan akurasi hingga 90-98%. Sebagai tambahan tidak nampaknya appendix pada gambaran CT-Scan berkaitan dengan penemuan appendix normal pada 98% kasus. Udara bebas peritoneum jarang terlihat, bahkan pada appendicitis dengan perforasi
Gambar 1. CT dengan kontras intravena-oral dari appendicitis akut. Terdapat penebalan dinding appendix dan periappendiceal stranding (panah).
Gambar 2. Fecolith pada Appendix
Walaupun episode riwayat khas dan penemuan fisis terdapat pada 50-60% kasus, luasnya variasi dari pola atipikal penyakit ini biasa ditemukan, terutama pada umur anak-anak atau lansia dan selama kehamilan. Balita dibawah umur 2 tahun mempunyai 70-80% insiden perforasi dan peritonitis. Ini kemungkinan disebabkan oleh keterlambatan mendiagnosis. Balita yang mengalami diare, muntah-muntah, dan nyeri perut paling dicurigai. Demam lebih sering terjadi pada kelompok umur ini. Pada orang lansia, nyeri biasanya samar, dan diagnosisnya sering tertunda menyebabkan 30% insiden perforasi pada pasien dengan umur diatas 70 tahun. Pasien lansia sering datang mulanya dengan adanya massa yang sedikit nyeri (abses appendix primer) atau dengan obstruksi usus 5 atau 6 hari setelah perforasi appendix yang tidak terdeteksi..
Appendicitis terjadi pada 1 diantara 500-2000 kehamilan dan merupakan keadaan extrauterin yang paling sering membutuhkan operasi abdomen. Diagnosis kemungkinan terlewatkan atau terlambat karena kejadian nyeri abdomen dan mual-muntah sering normal terjadi pada kehamilan dank arena adanya perpidahan appendix dari kuadran kanan bawah ke kuadran kanan atas selama trimester kedua dan ketiga kehamilan. Appendicitis cenderung sering terjadi pada trimester kedua. Diagnosis terbaik ditegakkan dengan USG, yang memiliki akurasi 80%, namun, jika perforasi telah terjadi, akurasi menjadi 30%. Intervensi dini harus dilakukan karena insiden kematian janin dengan appendix normal adalah 1,5% dan dengan perforasi insiden menjadi 20-35%
Differensial Diagnosis
Appendisitis akut telah disebut juga sebagai masquerader dan diagnosis lebih sulit ditegakkan pada wanita muda. Memperoleh anamnese termasuk dari aktivitas seksual dan keberadaan secret vagina, akan membantu membedakan appendicitis dengan Penyakit Radang Panggul (PID/Pelvic Inflammatory Disease). Adanya secret vagina yang berbau dan didapatkannya bakteri gram negative intraseluler merupakan patognomonik untuk PID. Nyeri pada pergerakan serviks juga lebih spesifik untuk PID namun dapat pula terjadi pada appendicitis jika perforasi telah terjadi atau appendix berada dekat dengan uterus atau adnexa. Rupture of graafian follicle (mittelschmerz) tejadi pada pertengahan siklus dan akan menyebabkan nyeri dan perih lebih diffuse dan biasanya derajatnya lebih ringan dibandingkan appendicitis.Ruptur kista korpus luteum mirip secara klinis dengan ruptur folikel graafian namun muncul pada periode menstruasi. Adanya massa adnexal, adanya perdarahan, dan tes kehamilan positif menunjukkan adanya rupture kehamilan tuba. Kista ovarium yang terlilit dan endometriosis biasanya juga sulit dibedakan dengan appendicitis. Pada keadaan wanita seperti ini, USG dan laparoskopi memiliki nilai diagnosis yang tinggi .
Lymphadenitis mesenterika akut dan gastroenteritis akut menjadi diagnosis jika nodus limfe terlihat membesar atau kemerahaan pada mesenterika dan appendix normal biasanya terlihat pada operasi pada pasien yang biasanya mengalami keperihan pada kuadran kanan bawah. Sebelumnya pasien ini mungkin memiliki suhu tubuh yang tinggi, diare, nyeri abdomen yang lebih diffuse, dan lymphositosis. Diantara kram, abdomen biasanya relaksaasi secara sempurna. Anak-anak sepertinya lebih sering mendapatkannya dibandingkan pada orang dewasa. Beberapa dari pasien ini terkena infeksi with Y. pseudotuberculosis atau Y. enterocolitica, dimana diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan kultur nodus mesenterika atau dengan pemeriksaan serologic. Pada gastroenteritis akibat Salmonella, penemuan abdominal mirip, walaupun nyeri dapat lebih berat dan terlokalisasi, dan demam sering ditemukan. Keberadaan gejala yang serupa pada keluarga membantu diagnosis. Penyakit Crohn’s biasanya berkaitan dengan riwayat gejala yang lama, sering dengan eksaserbasi sebelumnya yang dinilai sebagai episode gastroenteritis kevuali diagnosis telah ditegakkan sebelumnya. Seringpula massa akibat radang dapat dipalapasi. Sebagai tambahan, kolesistitis akut, ulkus perforasi, divertikulitis akut, obstruksi usus strangulated (teremas), kalkulus uretra, dan pyelonephritis dapat mempersulit diagnosis.
Penatalaksanaan Appendisitis Akut
Jika diagnosis dipertanyakan, observasi selama 4-6 jam dengan beberapa pemeriksaan abdominal seringkali berguna. Antibiotik sebaiknya tidak diberikan jika diagnosis masih belum jelas karena sepertinya obat ini akan menutupi gejala perforasi. Pengobatan dari suspek appendicitis adalah operasi dini dan appendectomy sesegera mungkin. Appendectomy biasanya dilakukan dengan teknik laparoskopi dan berkaitan dengan pemakaian sedikit bahan anastesi dan pasien cepat dipulangkan. Biasanya ditemukan 15-20% insiden appendix normal pada operasi appendectomy namun hal ini diterima karena dapat mencegah perforasi akibat appendicitis yang lama ditangani. Penggunaan laparoskopi dini dibandingkan pemeriksaan klinis yang carmat tidak memberikan manfaat klinis yang berarti pada pasien nyeri abdomen tidak spesifik.
Pendekatan yang berbeda dilakukan jika massa dapat terpalpasi pada 3-5 hari dari onset gejala. Penemuan ini biasanya menandakan adanya phlegmon atau abses dan komplikasi dari exisi bedah sering terjadi. Pasien seperti ini diatasi dengan antibiotic spectrum luas, drainase abses >3cm, cairan parenteral, dan istirahat usus (bowel rest) biasanya memberikan remisi dalam 1 minggu. Appendectomy biasanya dilakukan secara aman pada 6-12 minggu kemudian. Penelitian klinis acak telah menunjukkan bahwa pemakaian antibiotic dapat efektif untuk menangani appendicitis akut dan tidak terperforasi pada 86% pasien pria. Namun pemberian antibiotic saja terkait dengan jumlah rekurensi yang tinggi dibandingkan dengan intervensi bedah. Jika massa membesar dan pasien terlihat menjadi lebih toksik, abses sebaiknya didrainase. Perforasi berkaitan dengan peritonitis umum dan komplikasinya, termasuk abses subphrenic, pelvis, atau abses lainnya dan dapat dihindari dengan diagnosis dini. Angka mortalitas untuk appendicitis tidak terperforasi 0,1%, lebih kecil dibandingkan resiko anastesia total; untuk appendicitis perforasi, mortalitas biasanya 3% (dan dapat mencapai 15% pada orang lanjut usia).
10 tips mencegah kanker
anda mencari cara untuk mengurangi resiko terkena kanker ? inilah daftar 10 rekomendasi diet dan aktivitas yang dikemukakan pada pertemuan tahunan yang diselenggarakan American Dietetic Association (ADA).
1. Sedapat mungkin mempunyai tubuh yang ramping namun tidak sampai kurus (underweight)
2. Aktif secara fisik minimal 30 menit tiap hari
3. Hindari minuman bergula, dan batasi konsumsi makanan berkalori tinggi, terutama yang rendah serat dan tinggi lemak atau dengan gula tambahan.
4. Makan lebih banyak jenis sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan gandum
5. Membatasi konsumsi daging merah (termasuk daging sapi, babi, dan kambing) dan mencegah konsumsi daging olahan
6. Jika anda peminum alkohol, batasi konsumsi harian anda hingga 2 gelas untuk pria dan 1 gelas untuk wanita.
7. Batasi konsumsi makanan bergaram dan makanan olahan dengan garam/sodium.
8. Jangan menggunakan supplemen untuk melindungi dari kanker.
9. Yang terbaik bagi ibu untuk menyusui anaknya secara ekslusif selama 6 bulan dan baru kemudian menambahkan makanan penambah ASI .
10. Setelah penanganan, penderita kanker sebaiknya mengikuti rekomendasi ini untuk pencegahan rekurensi kanker .
Pada pertemuan ADA, pakar memberikan tips praktis untuk mengikuti rekomendasi ini, dimana telah dikemukakan pada tahun lalu oleh suatu lembaga non-profit, American Institute for Cancer Research dan organisasi induknya, World Cancer Research Fund International.
Mengapa Memilih Rekomendasi Ini
Walter Willett, MD, DrPH, seorang professor epidemiologi yang memimpin Departmen Gizi dan Makanan di Harvard School of Public Health, merupakan salah satu anggota ilmiah tim international yang mengemukakan rekomendasi ini
Pada pertemuan ADA , Willett mengatakan, rekomendasi pertama - untuk sedapat mungkin menjadi ramping dalam batas berat badan yang normal -- "sejauh ini merupakan yang paling penting"
Namun terdapat salah satu rekomendasi yang menurut Willet adalah kemungkinan suatu "kesalahan" yaitu rekomendasi yang mengatakan larangan mengkonsumsi kanker. Supplemen vitamin D dapat menurunkan resiko kanker kolorektal dan kemungkinan kanker lainnya, kata Willett. Ia menduga rekomendasi ini akan menjadi prioritas utama untuk diteliti.
Bagaimana mengikuti Rekomendasi Ini
Karen Collins, MS, RD, CDN, merupakan seorang pakar gizi dari American Institute for Cancer Research. Ia mengulas rekomendasi ini sebelum dikemukakan tahun lalu. dan ia bergabung bersama Willett dalam anggota ADA.
Collins memberikan tips praktis untuk mengikuti tiap rekomendasi tersebut :
1. Sedapat mungkin untuk menjadi ramping dalam batas berat badan normal : Jangan hanya melihat timbangan; periksa lingkar perut sebagai pengukuran kasar terhadap lemak abdomen, Collin merekomendasikan lingkar perut pria tidak boleh lebih dari 37 inchi dan untuk wanita 31,5 inchi
2. Aktif secara fisik minimal 30 menit sehari: Anda dapat memecahnya menjadi 10 menit dalam 3 kali sesi tiap harinya, dan lebih banyak aktivitas lebih baik.
3. Menghindari minuman bergula dan membatasi makanan padat energi: Bukan karena makanan tersebut secara langsung menyebabkan kanker akan tetapi makanan tersebut dapat meningkatkan kalori anda hingga melampaui batas.
4. Makan lebih banyak jenis sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan gandum: Cobalah sayuran dengan ragam warna (seperti hijau tua pada bayam, biru tua pada blueberries, putih pada bawang, dll). Kebanyakan orang makan jenis sayur yang sama berulang-ulang kali dan kebiasaan ini perlu diperbaiki
5. Jika tidak dapat berhenti mengkonsumsi alkohol, batasi konsumsi hingga 2 gelas untuk pria dan 1 gelas untuk wanita perhari : Perhatikan ukuran proporsi anda pada beberapa orang jumlah minimal alkohol lebih rendah daripada yang direkomendasikan.
6. Batasi konsumsi daging merah (sapi, babi, dan kambing) dan menghindari daging olahan : Batasi konsumsi daging hingga 18 ons per minggu, kata Collin, yang menyarankan mengganti daging tersebut dengan daging ayam, seafood, dan kacang-kacangan. Collin tidak mengatakan jangan pernah makan daging merah, namun makanlah daging tersebut dengan bijak.
7. Batasi konsumsi makanan bergaram dan makanan olahan dengan garam: Jangan melewati 2400 mg per hari, gunakan rempah sebagai gantinya, kata Collin. Ia menambahkan pula bahwa makanan olahan mengandung hampir seluruh intake sodium anda perhari bukan garam yang anda masukkan ketika memasak
8. Jangan menggunakan supplemen untuk mencegah kanker: Bukan karena supplemen buruk bagi tubuh-- mereka pun dapat "bermanfaat" untuk mencegah kanker, akan tetapi tidak ada bukti ilmiah bahwa supplemen tersebut melindungi dari kanker, kecuali vitamin D, tegas COllin .
9. ASI ekslusi selama 6 bulan untuk bayi kemudian menambahkan makanan penambah ASI setelah 6 bulan: Rumah bersalin sebaiknya dapat mendorong ibu untuk melakukan rekomendasi ini, kata Collin.
10. Setelah penanganan, penderita kanker sebaiknya mengikuti rekomendasi tersebut untuk mencegah rekurensi kanker berikutnya. Penderita kanker termasuk orang yang sedang menjalani terapi dan orang yang telah menyelesaikan terapi kankernya.
Membuat Pencegahan Kanker Menjadi Lebih Sederhana
Anda lelah mengikuti rekomendasi ini?Collins memangkas 10 rekomendasi tersebut menjadi tiga yang terpenting:
* Pilih makanan dari tumbuhan. Batasi konsumsi daging dan hindari daging olahan.
* Aktif secara fisik minimal 30 menit dalam sehari.
* Menargetkan berat badan ideal sepanjang hidup.
Catat pula bahwa tips tersebut mengurangi --tidak menghilangkan-- resiko kanker. Banyak faktor lain yang tidak dapat dimodifikasi seperti faktor gen dan lingkungan yang mempengaruhi resiko kanker. Aktivitas dan pola makan merupakan faktor yang sepenuhnya bergantung pada kendali kita.
1. Sedapat mungkin mempunyai tubuh yang ramping namun tidak sampai kurus (underweight)
2. Aktif secara fisik minimal 30 menit tiap hari
3. Hindari minuman bergula, dan batasi konsumsi makanan berkalori tinggi, terutama yang rendah serat dan tinggi lemak atau dengan gula tambahan.
4. Makan lebih banyak jenis sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan gandum
5. Membatasi konsumsi daging merah (termasuk daging sapi, babi, dan kambing) dan mencegah konsumsi daging olahan
6. Jika anda peminum alkohol, batasi konsumsi harian anda hingga 2 gelas untuk pria dan 1 gelas untuk wanita.
7. Batasi konsumsi makanan bergaram dan makanan olahan dengan garam/sodium.
8. Jangan menggunakan supplemen untuk melindungi dari kanker.
9. Yang terbaik bagi ibu untuk menyusui anaknya secara ekslusif selama 6 bulan dan baru kemudian menambahkan makanan penambah ASI .
10. Setelah penanganan, penderita kanker sebaiknya mengikuti rekomendasi ini untuk pencegahan rekurensi kanker .
Pada pertemuan ADA, pakar memberikan tips praktis untuk mengikuti rekomendasi ini, dimana telah dikemukakan pada tahun lalu oleh suatu lembaga non-profit, American Institute for Cancer Research dan organisasi induknya, World Cancer Research Fund International.
Mengapa Memilih Rekomendasi Ini
Walter Willett, MD, DrPH, seorang professor epidemiologi yang memimpin Departmen Gizi dan Makanan di Harvard School of Public Health, merupakan salah satu anggota ilmiah tim international yang mengemukakan rekomendasi ini
Pada pertemuan ADA , Willett mengatakan, rekomendasi pertama - untuk sedapat mungkin menjadi ramping dalam batas berat badan yang normal -- "sejauh ini merupakan yang paling penting"
Namun terdapat salah satu rekomendasi yang menurut Willet adalah kemungkinan suatu "kesalahan" yaitu rekomendasi yang mengatakan larangan mengkonsumsi kanker. Supplemen vitamin D dapat menurunkan resiko kanker kolorektal dan kemungkinan kanker lainnya, kata Willett. Ia menduga rekomendasi ini akan menjadi prioritas utama untuk diteliti.
Bagaimana mengikuti Rekomendasi Ini
Karen Collins, MS, RD, CDN, merupakan seorang pakar gizi dari American Institute for Cancer Research. Ia mengulas rekomendasi ini sebelum dikemukakan tahun lalu. dan ia bergabung bersama Willett dalam anggota ADA.
Collins memberikan tips praktis untuk mengikuti tiap rekomendasi tersebut :
1. Sedapat mungkin untuk menjadi ramping dalam batas berat badan normal : Jangan hanya melihat timbangan; periksa lingkar perut sebagai pengukuran kasar terhadap lemak abdomen, Collin merekomendasikan lingkar perut pria tidak boleh lebih dari 37 inchi dan untuk wanita 31,5 inchi
2. Aktif secara fisik minimal 30 menit sehari: Anda dapat memecahnya menjadi 10 menit dalam 3 kali sesi tiap harinya, dan lebih banyak aktivitas lebih baik.
3. Menghindari minuman bergula dan membatasi makanan padat energi: Bukan karena makanan tersebut secara langsung menyebabkan kanker akan tetapi makanan tersebut dapat meningkatkan kalori anda hingga melampaui batas.
4. Makan lebih banyak jenis sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan gandum: Cobalah sayuran dengan ragam warna (seperti hijau tua pada bayam, biru tua pada blueberries, putih pada bawang, dll). Kebanyakan orang makan jenis sayur yang sama berulang-ulang kali dan kebiasaan ini perlu diperbaiki
5. Jika tidak dapat berhenti mengkonsumsi alkohol, batasi konsumsi hingga 2 gelas untuk pria dan 1 gelas untuk wanita perhari : Perhatikan ukuran proporsi anda pada beberapa orang jumlah minimal alkohol lebih rendah daripada yang direkomendasikan.
6. Batasi konsumsi daging merah (sapi, babi, dan kambing) dan menghindari daging olahan : Batasi konsumsi daging hingga 18 ons per minggu, kata Collin, yang menyarankan mengganti daging tersebut dengan daging ayam, seafood, dan kacang-kacangan. Collin tidak mengatakan jangan pernah makan daging merah, namun makanlah daging tersebut dengan bijak.
7. Batasi konsumsi makanan bergaram dan makanan olahan dengan garam: Jangan melewati 2400 mg per hari, gunakan rempah sebagai gantinya, kata Collin. Ia menambahkan pula bahwa makanan olahan mengandung hampir seluruh intake sodium anda perhari bukan garam yang anda masukkan ketika memasak
8. Jangan menggunakan supplemen untuk mencegah kanker: Bukan karena supplemen buruk bagi tubuh-- mereka pun dapat "bermanfaat" untuk mencegah kanker, akan tetapi tidak ada bukti ilmiah bahwa supplemen tersebut melindungi dari kanker, kecuali vitamin D, tegas COllin .
9. ASI ekslusi selama 6 bulan untuk bayi kemudian menambahkan makanan penambah ASI setelah 6 bulan: Rumah bersalin sebaiknya dapat mendorong ibu untuk melakukan rekomendasi ini, kata Collin.
10. Setelah penanganan, penderita kanker sebaiknya mengikuti rekomendasi tersebut untuk mencegah rekurensi kanker berikutnya. Penderita kanker termasuk orang yang sedang menjalani terapi dan orang yang telah menyelesaikan terapi kankernya.
Membuat Pencegahan Kanker Menjadi Lebih Sederhana
Anda lelah mengikuti rekomendasi ini?Collins memangkas 10 rekomendasi tersebut menjadi tiga yang terpenting:
* Pilih makanan dari tumbuhan. Batasi konsumsi daging dan hindari daging olahan.
* Aktif secara fisik minimal 30 menit dalam sehari.
* Menargetkan berat badan ideal sepanjang hidup.
Catat pula bahwa tips tersebut mengurangi --tidak menghilangkan-- resiko kanker. Banyak faktor lain yang tidak dapat dimodifikasi seperti faktor gen dan lingkungan yang mempengaruhi resiko kanker. Aktivitas dan pola makan merupakan faktor yang sepenuhnya bergantung pada kendali kita.
OSTEOMYELITIS
PENDAHULUAN
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-piogenik seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat terbatas pada sebagian kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-sum, perioesteum, dan jaringan lunak disekitar tulang.
Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang selamat mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat osteomyelitis relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan antibiotik dan intervensi invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah diagnosis dini dan operasi yang tepat serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli orthopaedi, spesialis penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan hilangnya jaringan lunak.
Gambar 1. Perbandingan antara tulang sehat dan tulang yang terinfeksi
PATOFISIOLOGI
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.
Gambar 2. Perubahan patofisiologis pada osteomyelitis yang disebabkan oleh infeksi daerah sekitar.
KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).
A. Osteomyelits Hematogenous Akut
Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi dan seringkali ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding dengan wanita di segala kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana keadaan ini umum ditemukan pada anak. Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya terkait dengan beberapa keadaan yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang inadekuat. Pada beberapa kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.
Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan tubuh, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh daragh tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebabkan diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit.
Tahap selanjutnya, penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodi.
Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari tulang panjang yang sedang berkembang terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik lokal pada tulang dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan intramedullare semakin meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan materi purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun terjadi. Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan sequestra yang luas dan osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada anak tergantung pada suplai darah dan struktur anatomis tulang
Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis dan memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung mengalami deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi tersebut. Physis berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari metaphyse ke epiphyse. Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe dan diaphyse, keadaan ini menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses yang terbentuk akan merusak korteks metaphyse yang tipis dan membentuk abses subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada kasus-kasus yang berat
Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih tua semakin tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi. Jika infeksi mengenai diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya abses periosteal, suplai darah periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak ditangani dengan tepat.
Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada anak adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3 tahun.
Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran bakteri secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan imun yang buruk. Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada umumnya corpus vertebra yang terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan, dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi, maka akan menyebabkan fraktur patologis.
Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel inflamasi akan menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui physis, kearah diaphysis, atau disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan yang minimal resistensinya, melalui korteks metaphysis, selanjutnya terbentuk pus subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya terjadi, anak yang lebih muda ( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak akan menunjukkan penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.
Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia dibawah 2 tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan penyebaran abses metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul yang paling sering terkena pada pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal, kolum radius, dan fibula distal berada intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia yang lebih tua, sirkulasi seperti ini tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe menutup, infeksi dapat menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian melibatkan persendian.
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui menjadi penyebab infeksi corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis akut hematogenous, Staphylococcus aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok streptokokkus dan koliform gram negatif juga sering didapati. Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari infeksi ortopedik pada bayi prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan penyebaran lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan septikemia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-daerah lain. Penyebaran lokal dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum, selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit, penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septik, dan penyebaran ke medulla tulang sekitar.
Diagnosis
Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien dengan imunitas buruk, gambaran klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada stadium awal penyakit, namun kadangkala gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana sindrom kompartmen sering dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang terinfeksi dan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau septik sendi.
Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut dan berguna dalam mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya kembali ke normal lebih cepat dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding kelompok kontrol.
Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang biasanya tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian tulang dengan menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24 hingga 48 jam setelah terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat memperlihatkan adanya perubahan akibat proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan lunak.
Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah. Aspirasi tulang biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya dilakukan dengan abocath nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri yang maksimal, biasanya pada metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya diaspirasi pertama kali dengan memasukkan jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan lebih dalam lagi untuk mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan pewarnaan gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat, toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi, daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik. Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan, maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat. Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu. Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologik.
B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut
Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset yang lebih mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis menjadi sulit. Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan bahwa 35% pasien mereka dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut
Diagnosis
Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan setelah 2 minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau tidak sama sekali. Nyeri dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten mengarahkan diagnosis. Sel darah putih biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50% pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan dengan biopsi atau aspirat tulang yang sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60% pemeriksaan. Pemindaian tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.
Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum onset gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme dengan virulensi yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan adanya peradangan pada tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi, diagnosis yang akurat sangat bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.
Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill dan dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang sulit dilakukan. Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur. Material purulen tidak selalu diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering ditemukan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.
Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik untuk semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada epiphysis dan metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan karakteristik dari osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena dalam 48 jam pertama dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross dan Cole memiliki angka kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44 pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan tidak ada perbedaan pada outcome antara penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka dan kuretase hanya pada lesi yang tampak agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian antibotik.
Abses Brodie
Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering pada ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal, metaphysis paling sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan pula pada daerah metaphyse – epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini pada umumnya menyerupai lesi litik dengan lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara saksama pada foto polos sangat penting dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran tumor pada tulang.
Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah. Staphylococcus aureus ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak ditemukan. Keadaan ini sering membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup dengan longgar dan menggunakan drain.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6 minggu. Apabila diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun gejala pasien dapat berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis tergolong lama yaitu selama 12 minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut dibutuhkan follow-up yang cukup lama.
C. Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta, jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan tulang.
Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.
Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.
Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.
Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia 84 tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang metatarsal dan sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal yang mengindikasikan adanya osteomyelitis.
Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi .
a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik
Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat.
Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus terbuka atau ditutup dengan longgar dan memakai drain
Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut dan terbukti berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang kosong tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;
2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer sebelum rekonstruksi,
3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan
5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).
b. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6
Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik.
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.
d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.
KOMPLIKASI
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.
PENCEGAHAN
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-piogenik seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat terbatas pada sebagian kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-sum, perioesteum, dan jaringan lunak disekitar tulang.
Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang selamat mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat osteomyelitis relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan antibiotik dan intervensi invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah diagnosis dini dan operasi yang tepat serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli orthopaedi, spesialis penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan hilangnya jaringan lunak.
Gambar 1. Perbandingan antara tulang sehat dan tulang yang terinfeksi
PATOFISIOLOGI
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.
Gambar 2. Perubahan patofisiologis pada osteomyelitis yang disebabkan oleh infeksi daerah sekitar.
KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).
A. Osteomyelits Hematogenous Akut
Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi dan seringkali ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding dengan wanita di segala kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana keadaan ini umum ditemukan pada anak. Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya terkait dengan beberapa keadaan yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang inadekuat. Pada beberapa kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.
Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan tubuh, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh daragh tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebabkan diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit.
Tahap selanjutnya, penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodi.
Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari tulang panjang yang sedang berkembang terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik lokal pada tulang dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan intramedullare semakin meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan materi purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun terjadi. Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan sequestra yang luas dan osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada anak tergantung pada suplai darah dan struktur anatomis tulang
Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis dan memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung mengalami deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi tersebut. Physis berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari metaphyse ke epiphyse. Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe dan diaphyse, keadaan ini menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses yang terbentuk akan merusak korteks metaphyse yang tipis dan membentuk abses subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada kasus-kasus yang berat
Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih tua semakin tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi. Jika infeksi mengenai diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya abses periosteal, suplai darah periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak ditangani dengan tepat.
Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada anak adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3 tahun.
Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran bakteri secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan imun yang buruk. Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada umumnya corpus vertebra yang terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan, dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi, maka akan menyebabkan fraktur patologis.
Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel inflamasi akan menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui physis, kearah diaphysis, atau disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan yang minimal resistensinya, melalui korteks metaphysis, selanjutnya terbentuk pus subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya terjadi, anak yang lebih muda ( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak akan menunjukkan penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.
Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia dibawah 2 tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan penyebaran abses metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul yang paling sering terkena pada pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal, kolum radius, dan fibula distal berada intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia yang lebih tua, sirkulasi seperti ini tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe menutup, infeksi dapat menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian melibatkan persendian.
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui menjadi penyebab infeksi corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis akut hematogenous, Staphylococcus aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok streptokokkus dan koliform gram negatif juga sering didapati. Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari infeksi ortopedik pada bayi prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan penyebaran lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan septikemia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-daerah lain. Penyebaran lokal dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum, selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit, penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septik, dan penyebaran ke medulla tulang sekitar.
Diagnosis
Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien dengan imunitas buruk, gambaran klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada stadium awal penyakit, namun kadangkala gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana sindrom kompartmen sering dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang terinfeksi dan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau septik sendi.
Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut dan berguna dalam mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya kembali ke normal lebih cepat dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding kelompok kontrol.
Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang biasanya tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian tulang dengan menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24 hingga 48 jam setelah terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat memperlihatkan adanya perubahan akibat proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan lunak.
Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah. Aspirasi tulang biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya dilakukan dengan abocath nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri yang maksimal, biasanya pada metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya diaspirasi pertama kali dengan memasukkan jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan lebih dalam lagi untuk mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan pewarnaan gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat, toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi, daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik. Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan, maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat. Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu. Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologik.
B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut
Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset yang lebih mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis menjadi sulit. Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan bahwa 35% pasien mereka dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut
Diagnosis
Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan setelah 2 minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau tidak sama sekali. Nyeri dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten mengarahkan diagnosis. Sel darah putih biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50% pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan dengan biopsi atau aspirat tulang yang sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60% pemeriksaan. Pemindaian tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.
Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum onset gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme dengan virulensi yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan adanya peradangan pada tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi, diagnosis yang akurat sangat bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.
Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill dan dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang sulit dilakukan. Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur. Material purulen tidak selalu diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering ditemukan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.
Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik untuk semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada epiphysis dan metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan karakteristik dari osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena dalam 48 jam pertama dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross dan Cole memiliki angka kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44 pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan tidak ada perbedaan pada outcome antara penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka dan kuretase hanya pada lesi yang tampak agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian antibotik.
Abses Brodie
Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering pada ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal, metaphysis paling sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan pula pada daerah metaphyse – epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini pada umumnya menyerupai lesi litik dengan lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara saksama pada foto polos sangat penting dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran tumor pada tulang.
Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah. Staphylococcus aureus ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak ditemukan. Keadaan ini sering membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup dengan longgar dan menggunakan drain.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6 minggu. Apabila diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun gejala pasien dapat berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis tergolong lama yaitu selama 12 minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut dibutuhkan follow-up yang cukup lama.
C. Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta, jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan tulang.
Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.
Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.
Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.
Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia 84 tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang metatarsal dan sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal yang mengindikasikan adanya osteomyelitis.
Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi .
a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik
Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat.
Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus terbuka atau ditutup dengan longgar dan memakai drain
Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut dan terbukti berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang kosong tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;
2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer sebelum rekonstruksi,
3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan
5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).
b. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6
Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik.
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.
d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.
KOMPLIKASI
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.
PENCEGAHAN
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.
MENGENAL "KANKER PAYUDARA"
Kanker payudara merupakan salah satu kanker terbanyak pada wanita dan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit kanker. Insidensi penyakit ini meningkat tetapi angka kematian akibat kanker payudara menurun, hal ini disebabkan penanganan yang semakin baik dan dengan ditemukannya stadium dini sangat menentukan angka kesembuhan yang tinggi. Penanganan kanker payudara bila ditemukan secara dini sebaiknya dikelola sebaik mungkin dan benar, karena bila dikelola salah akibatnya akan fatal. Untuk penanganannya harus benar-benar dibuat perencanaan yang matang, informconcern yang jelas kepada penderita, bagaimana prognosisnya, bagaimana mengelolanya sampai minimal 5 tahun, harus diingat prinsip-prinsip onkologi.
Faktor Resiko:
1. Ada riwayat keluarga yang menderita kanker
2. Mengandung gen BRCA1 dan BRCA2 yang mutasi
3. Menstruasi <>
4. Menopause terlambat
5. Pernah terkena radiasi
6. Nullipara
7. Mempunyai anak pertama > 30 tahun
8. Pengguna obat hormon yang lama
9. Obesitas
Gejala:
1. 90 % dengan keluhan ada benjolan dan biasanya tidak nyeri
2. Discharge dari papila
3. Retraksi papaila
4. Iritasi kulit payudara, dimpling, hyperemesis
Pemeriksaan:
1. SADARI/SARARI dimulai pada wanita usia 20 tahun, 7 hari setelah haid berhenti
2. Pemeriksaan klinis dianjurkan setiap 3 tahun 1 kali
3. Imaging dengan mammography ( pada wanita usia > 35 tahun dan massa tumor <>
Staging:
Dipakai sistem T (tumor) N (lymph node) M (metastasis)
Stadium diklasifikasikan I sampai IV
Prognosis Faktor:
Ditentukan oleh:
1. Ukuran tumor
2. Grade tumor
3. Usia
4. Status KGB
5. Hormonal : Estrogen dan Progesteron reseptor ( ER dan PR )
6. Immunohistokimia : her 2 neu / c erb B2
Pengobatan
Stadium I dan II
1. Mastektomi dengan diseksi KGB aksila plain 1 / dan 2.
2. Ditambah adjuvan radioterapi atau khemoterapi atas indikasi, misalnya stadium II A dan II B dengan T3N1Mo.
3. Dapat dilakukan Breast Conserving Therapy (BCT) bila tumor <>
4. Pengobatannya harus diketahui status ER / PR, dan c erb B2.
Stadium III
1. Penanganannya sangat kompleks, perlu tindakan preoperative khemoterapi atau radiasikemudian operasi, dan dilanjutkan khemoterapi atau radiasi hormonal terapi.
2. Tindakan operasi saja akan meningkatkan angka kekambuhan yang tinggi dan memperburuk prognosis pasien.
3. Pengobatannya harus diketahui status ER / PR, dan c erb B2.
Stadium IV
4. Palliatif terapi
Kesimpulan
1. Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan
2. Sulit disembuhkan bila stadium lanjut
3. Pengobatannya tidak hanya 1 modalitas terapi saja tetapi memerlukan modalitas terapi lain
4. Pengobatan dan pengawasan penderita kanker payudara sangat panjang, 5 sampai dengan 10 tahun
Prinsip Bedah Onkologi:
“Tindakan pengobatan yang pertama harus benar, bila sudah salah tidak ada lagi tempat untuk membenarkannya”
Faktor Resiko:
1. Ada riwayat keluarga yang menderita kanker
2. Mengandung gen BRCA1 dan BRCA2 yang mutasi
3. Menstruasi <>
4. Menopause terlambat
5. Pernah terkena radiasi
6. Nullipara
7. Mempunyai anak pertama > 30 tahun
8. Pengguna obat hormon yang lama
9. Obesitas
Gejala:
1. 90 % dengan keluhan ada benjolan dan biasanya tidak nyeri
2. Discharge dari papila
3. Retraksi papaila
4. Iritasi kulit payudara, dimpling, hyperemesis
Pemeriksaan:
1. SADARI/SARARI dimulai pada wanita usia 20 tahun, 7 hari setelah haid berhenti
2. Pemeriksaan klinis dianjurkan setiap 3 tahun 1 kali
3. Imaging dengan mammography ( pada wanita usia > 35 tahun dan massa tumor <>
Staging:
Dipakai sistem T (tumor) N (lymph node) M (metastasis)
Stadium diklasifikasikan I sampai IV
Prognosis Faktor:
Ditentukan oleh:
1. Ukuran tumor
2. Grade tumor
3. Usia
4. Status KGB
5. Hormonal : Estrogen dan Progesteron reseptor ( ER dan PR )
6. Immunohistokimia : her 2 neu / c erb B2
Pengobatan
Stadium I dan II
1. Mastektomi dengan diseksi KGB aksila plain 1 / dan 2.
2. Ditambah adjuvan radioterapi atau khemoterapi atas indikasi, misalnya stadium II A dan II B dengan T3N1Mo.
3. Dapat dilakukan Breast Conserving Therapy (BCT) bila tumor <>
4. Pengobatannya harus diketahui status ER / PR, dan c erb B2.
Stadium III
1. Penanganannya sangat kompleks, perlu tindakan preoperative khemoterapi atau radiasikemudian operasi, dan dilanjutkan khemoterapi atau radiasi hormonal terapi.
2. Tindakan operasi saja akan meningkatkan angka kekambuhan yang tinggi dan memperburuk prognosis pasien.
3. Pengobatannya harus diketahui status ER / PR, dan c erb B2.
Stadium IV
4. Palliatif terapi
Kesimpulan
1. Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan
2. Sulit disembuhkan bila stadium lanjut
3. Pengobatannya tidak hanya 1 modalitas terapi saja tetapi memerlukan modalitas terapi lain
4. Pengobatan dan pengawasan penderita kanker payudara sangat panjang, 5 sampai dengan 10 tahun
Prinsip Bedah Onkologi:
“Tindakan pengobatan yang pertama harus benar, bila sudah salah tidak ada lagi tempat untuk membenarkannya”
MITOS SEPUTAR KEHAMILAN
Seperti kita ketahui, banyak sekali mitos-mitos mengenai ibu hamil yang beredar di masyarakat. Tidak jarang mitos-mitos seperti ini membuat pusing para calon ibu. Nah, untuk lebih jelasnya berikut beberapa mitos yang sering ditemui di masyarakat beserta pandangannya dari segi medis:
1. Minum es bisa membuat bayi dalam kandungan menjadi besar.
Tidak ada kaitan ilmiah antara minum es dengan bayi besar. Air es sama sekali tidak mempunyai kalori, jadi tidak mungkin bisa memperbesar bayi. Bayi tumbuh besar adalah karena asupan kalori yang didapat dari makanan ibu.
2. Air kelapa muda bisa bikin bayi lahir bersih tanpa banyak lendir.
Air kelapa muda tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap lendir yang menyertai persalinan. Sebenarnya lendir yang banyak keluar selama proses persalinan justru akan memperlancar proses kelahiran bayi.
3. Minum beberapa sendok air kelapa pada minggu-minggu terakhir bisa memperlancar persalinan.
Mitos ini juga tidak benar, sebab yang licin cuma tenggorokan dan bukan jalan lahir. Lagipula saluran tempat bayi keluar bukan lewat saluran pencenaan, melainkan lewat vagina.
4. Puting payudara menghitam berarti akan mendapatkan bayi laki-laki.
Jika hal itu benar maka akan banyak jumlah pria di dunia ini. Perlu diketahui, putting payudara yang menghitam selama kehamilan disebabkan oleh hormon, jadi tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin bayi.
5. Jika kandungan maju ke depan berarti bayinya laki-laki, sedangkan bila melebar ke samping berarti bayinya perempuan.
Kenyataannya jika kandungan menonjol keluar maka kemungkinan si ibu memiliki badan yang pendek, sehingga tidak ada tempat bagi bayi kecuali menonjol keluar.
6. Menyusui bayi dapat mencegah kehamilan berikutnya.
Menyusui bayi hanya efektif untuk mencegah kehamilan pada 6 bulan pertama. Selain persyaratannya harus menyusui penuh, bayi juga tidak diberi makanan tambahan dan si ibu sendiri belum mendapatkan haid. Sedotan pada putting susu akan merangsang hipifisis otak mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon ini mencegah indung telur mengeluarkan telur (ovum), sehingga tidak memungkinkan terjadinya kehamilan.
7. Dipijat/diurut supaya posisi bayi tidak sungsang.
Memijat/mengurut untuk memposisikan bayi adalah sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan kematian janin. Sebenarnya bayi berada dalam kolam air ketuban, dia seharian jungkir balik, dan dia sendiri yang memposisikan diri, jadi tidak perlu diposisikan orang lain.
1. Minum es bisa membuat bayi dalam kandungan menjadi besar.
Tidak ada kaitan ilmiah antara minum es dengan bayi besar. Air es sama sekali tidak mempunyai kalori, jadi tidak mungkin bisa memperbesar bayi. Bayi tumbuh besar adalah karena asupan kalori yang didapat dari makanan ibu.
2. Air kelapa muda bisa bikin bayi lahir bersih tanpa banyak lendir.
Air kelapa muda tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap lendir yang menyertai persalinan. Sebenarnya lendir yang banyak keluar selama proses persalinan justru akan memperlancar proses kelahiran bayi.
3. Minum beberapa sendok air kelapa pada minggu-minggu terakhir bisa memperlancar persalinan.
Mitos ini juga tidak benar, sebab yang licin cuma tenggorokan dan bukan jalan lahir. Lagipula saluran tempat bayi keluar bukan lewat saluran pencenaan, melainkan lewat vagina.
4. Puting payudara menghitam berarti akan mendapatkan bayi laki-laki.
Jika hal itu benar maka akan banyak jumlah pria di dunia ini. Perlu diketahui, putting payudara yang menghitam selama kehamilan disebabkan oleh hormon, jadi tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin bayi.
5. Jika kandungan maju ke depan berarti bayinya laki-laki, sedangkan bila melebar ke samping berarti bayinya perempuan.
Kenyataannya jika kandungan menonjol keluar maka kemungkinan si ibu memiliki badan yang pendek, sehingga tidak ada tempat bagi bayi kecuali menonjol keluar.
6. Menyusui bayi dapat mencegah kehamilan berikutnya.
Menyusui bayi hanya efektif untuk mencegah kehamilan pada 6 bulan pertama. Selain persyaratannya harus menyusui penuh, bayi juga tidak diberi makanan tambahan dan si ibu sendiri belum mendapatkan haid. Sedotan pada putting susu akan merangsang hipifisis otak mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon ini mencegah indung telur mengeluarkan telur (ovum), sehingga tidak memungkinkan terjadinya kehamilan.
7. Dipijat/diurut supaya posisi bayi tidak sungsang.
Memijat/mengurut untuk memposisikan bayi adalah sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan kematian janin. Sebenarnya bayi berada dalam kolam air ketuban, dia seharian jungkir balik, dan dia sendiri yang memposisikan diri, jadi tidak perlu diposisikan orang lain.
JERAWAT??? OH.. NO..
Apa jadinya kalau kulit wajah kamu berjerawat? Yang pertama akan kamu alami adalah kurang rasa percaya diri dalam pergaulan. Bekas-bekas jerawat pada wajah kamu akan membentuk flek hitam yang sulit untuk dihilangkan. Lantas, bagaimanakah cara yang tepat untuk menghilangkan jerawat berikut flek hitam yang biasanya mengikuti setelahnya?
Apa yang menyebabkan merasa minder atau tidak percaya diri dalam pergaulan? Mungkin salah satu jawabannya adalah karena kamu memiliki masalah pada wajah, yaitu adanya jerawat dan flek hitam. Keduanya memang sangat mengganggu dan mengurangi keapikan penampilan kamu. Apalagi bekas-bekas jerawat yang akhirnya menjadi flek hitam di wajah tidak mudah untuk dihilangkan dalam waktu singkat.
Dari segi medis, jerawat atau acne adalah penyakit pada kulit wajah yang diakibatkan adanya ketidak normalan kulit akibat berlebihannya produksi kelenjar minyak. Produksi kelenjar minyak yang berlebihan mengakibatkan saluran follicle rambut dan pori-pori kulit menjadi tersumbat. Saluran yang tersumbat itu akan mengalami peradangan sehingga membentuk komedo.
Jerawat digolongkan ringan bila bentuknya masih komedo dengan jumlah lesi kurang dari 30. Apabila lesi berkisar antara 30-125, maka dinamakan jerawat sedang. Jerawat besar yang disebut nodul atau kista timbul bila lesi di atas 125. Daerah yang mudah terkena jerawat ialah muka, dada, punggung dan lengan. Munculnya jerawat sering terjadi pada masa pubertas antara 13-20 tahun yang disebabkan perubahan hormon pada renaja. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 85% populasi mengalami jerawat pada usia 13-20 tahun, 15% populasi mengalaminya hingga usia 30 tahun. Jika tidak teratasi dengan baik, gangguan jerawat dapat menetap hingga usia 40 tahun. Karena itu perlu kamu pahami beberapa penyebab utama munculnya jerawat.
Penyebab mengapa seseorang mempunyai jerawat dan yang lain tidak punya masih belum diketahui secara pasti. Setiap orang memiliki potensi berjerawat apabila tidak memperhatikan penyebab dari munculnya jerawat. Beberapa faktor yang menyebabkan jerawat secara umum adalah:
- Depresi dan stress berat
- Faktor keturunan atau genetik
- Aktivitas hormon yang berlebihan
- Kelenjar minyak yang hiperaktif
- Bakteri yang mengendap pada pori-pori kulit
- Iritasi kulit, endapan kotoran, dan akibat garukan
- Anabolic steroid
- Pil pengontrol kelahiran atau pil KB
- Berada dalam lingkungan dengan kadar chlorine yang tinggi, terutama chlorinated dioxin, yang menyebabkan jerawat serius yang disebut chloracne
Mencegah Timbulnya Jerawat yang Membandel
Bagi kamu yang masih belum berjerawat, jagalah kulit, terutama dari bahaya munculnya jerawat. Sebab jika sewaktu-waktu kamu berjerawat, ada kemungkinan akan meradang hingga semakin banyak tumbuh jerawat pada wajah kamu. Untuk itu, perlu mencegah jerawat sejak dini dengan cara:
1. Rajin mencuci muka setiap hari. Minimal sekali sehari sebelum kamu pergi tidur. Kotoran yang melekat pada wajah jika tidak dibersihkan akan masuk ke dalam pori-pori dan membuat lobang pori-pori terhambat. Akibatnya kelenjar minyak yang dihasilkan mengalami penyumbatan sehingga akan tumbuh jerawat baru di kulit kamu.
2. Hindari tidur larut malam, sebab saat malam hari ketika kamu tidur, metabolisme pada bagian kulit wajah dan kulit yang lain membantu untuk proses regenerasi.
3. Hilangkan kebiasaan mengkonsumsi makanan-makanan berlemak dan mengandung kolesterol tinggi. Lemak dan kolesterol dapat merangsang kelenjar minyak memproduksi minyak lebih banyak. Selain itu akan meningkatkan jumlah lesi hingga batas maksimal yang akan memperbesar jerawat.
4. Kurangi konsumsi alkohol dan merokok. Alkohol dan nikotin akan membawa dampak penuaan dini pada kulit wajah. Penuaan itu akan berakibat pada tergangggunya sel-sel metabolisme. Metabolisme yang terganggu akan mengakibatkan kulit rentan terkena infeksi dan bakteri jerawat.
5. Bersihkan wajah dari make-up sampai tuntas. Jangan sampai tersis foundation di wajah kamu yang justru akan menutup rapat pori-pori kulit wajah kamu.
Apa yang menyebabkan merasa minder atau tidak percaya diri dalam pergaulan? Mungkin salah satu jawabannya adalah karena kamu memiliki masalah pada wajah, yaitu adanya jerawat dan flek hitam. Keduanya memang sangat mengganggu dan mengurangi keapikan penampilan kamu. Apalagi bekas-bekas jerawat yang akhirnya menjadi flek hitam di wajah tidak mudah untuk dihilangkan dalam waktu singkat.
Dari segi medis, jerawat atau acne adalah penyakit pada kulit wajah yang diakibatkan adanya ketidak normalan kulit akibat berlebihannya produksi kelenjar minyak. Produksi kelenjar minyak yang berlebihan mengakibatkan saluran follicle rambut dan pori-pori kulit menjadi tersumbat. Saluran yang tersumbat itu akan mengalami peradangan sehingga membentuk komedo.
Jerawat digolongkan ringan bila bentuknya masih komedo dengan jumlah lesi kurang dari 30. Apabila lesi berkisar antara 30-125, maka dinamakan jerawat sedang. Jerawat besar yang disebut nodul atau kista timbul bila lesi di atas 125. Daerah yang mudah terkena jerawat ialah muka, dada, punggung dan lengan. Munculnya jerawat sering terjadi pada masa pubertas antara 13-20 tahun yang disebabkan perubahan hormon pada renaja. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 85% populasi mengalami jerawat pada usia 13-20 tahun, 15% populasi mengalaminya hingga usia 30 tahun. Jika tidak teratasi dengan baik, gangguan jerawat dapat menetap hingga usia 40 tahun. Karena itu perlu kamu pahami beberapa penyebab utama munculnya jerawat.
Penyebab mengapa seseorang mempunyai jerawat dan yang lain tidak punya masih belum diketahui secara pasti. Setiap orang memiliki potensi berjerawat apabila tidak memperhatikan penyebab dari munculnya jerawat. Beberapa faktor yang menyebabkan jerawat secara umum adalah:
- Depresi dan stress berat
- Faktor keturunan atau genetik
- Aktivitas hormon yang berlebihan
- Kelenjar minyak yang hiperaktif
- Bakteri yang mengendap pada pori-pori kulit
- Iritasi kulit, endapan kotoran, dan akibat garukan
- Anabolic steroid
- Pil pengontrol kelahiran atau pil KB
- Berada dalam lingkungan dengan kadar chlorine yang tinggi, terutama chlorinated dioxin, yang menyebabkan jerawat serius yang disebut chloracne
Mencegah Timbulnya Jerawat yang Membandel
Bagi kamu yang masih belum berjerawat, jagalah kulit, terutama dari bahaya munculnya jerawat. Sebab jika sewaktu-waktu kamu berjerawat, ada kemungkinan akan meradang hingga semakin banyak tumbuh jerawat pada wajah kamu. Untuk itu, perlu mencegah jerawat sejak dini dengan cara:
1. Rajin mencuci muka setiap hari. Minimal sekali sehari sebelum kamu pergi tidur. Kotoran yang melekat pada wajah jika tidak dibersihkan akan masuk ke dalam pori-pori dan membuat lobang pori-pori terhambat. Akibatnya kelenjar minyak yang dihasilkan mengalami penyumbatan sehingga akan tumbuh jerawat baru di kulit kamu.
2. Hindari tidur larut malam, sebab saat malam hari ketika kamu tidur, metabolisme pada bagian kulit wajah dan kulit yang lain membantu untuk proses regenerasi.
3. Hilangkan kebiasaan mengkonsumsi makanan-makanan berlemak dan mengandung kolesterol tinggi. Lemak dan kolesterol dapat merangsang kelenjar minyak memproduksi minyak lebih banyak. Selain itu akan meningkatkan jumlah lesi hingga batas maksimal yang akan memperbesar jerawat.
4. Kurangi konsumsi alkohol dan merokok. Alkohol dan nikotin akan membawa dampak penuaan dini pada kulit wajah. Penuaan itu akan berakibat pada tergangggunya sel-sel metabolisme. Metabolisme yang terganggu akan mengakibatkan kulit rentan terkena infeksi dan bakteri jerawat.
5. Bersihkan wajah dari make-up sampai tuntas. Jangan sampai tersis foundation di wajah kamu yang justru akan menutup rapat pori-pori kulit wajah kamu.
asuhan keperawatan dengan demam typoid
A. Tinjauan Teoritis Demam Typoid
1. Pengertian
“Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran“. (Mansjoer, 2000: 432).
“Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan kesadaran”. (Soegijanto, 2002: 1).
“Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh tubuh”. (Tambayong, 2000: 143).
“Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi salmonella typhi”. ( Ovedoff, 2002: 514).
2. Etiologi
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) “Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi”.
Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B, salmonella enteretidis bioseratife C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A, salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.
Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.
3. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi, 2001: 281).
Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.
Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Mansjoer, 1999: 422).
Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:
a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.
d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
5. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:
a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.
Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa mungkin terjadi pada tes widal).
Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.
Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:
1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid.
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien demam typoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.
Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200 atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah klien. (Mansjoer, 2000: 433).
Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
Faktor yang berhubungan dengan klien:
a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella dimasa lalu.
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin, sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”.
“Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.
3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250 mg selama 5 hari kemudian.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.
e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga diberikan obat-obat simtomatik antara lain:
a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak berguna.
b. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).
8. Prognosis
“Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7 %”. (Sjaifoellah, 1996: 441).
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.
b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid
1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:
a. Aktivitas dan Istirahat.
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif, hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah kotor.
c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.
d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada konstipasi/adanya peristaltik.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk, membran mukosa pucat.
f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.
Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.
h. Keamanan
Gejala: Peningkatan suhu tubuh 38C-40C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.
i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi yang di alami.
j. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/ tirah baring.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat diare.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Intervensi:
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses inflamasi.
2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak minum.
Rasional: Membantu mengurangi demam.
3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3 jam.
Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.
4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.
Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi basil salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Intervensi:
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan, minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi yang berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.
2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.
Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses keperawatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses penyembuhan
Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme dan infeksi.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Intervensi:
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan berat ringannya kekurangan cairan.
2) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.
3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.
Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.
4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.
Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.
Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.
2) Monitor adanya penurunan berat badan.
Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500 gr/minggu.
3) Monitor lingkungan selama makan.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.
4) Monitor mual dan muntah.
Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.
5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk mempercepat proses penyembuhan.
6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.
7) Berikan makanan yang terpilih.
Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala diare.
Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.
2) Identifikasi faktor penyebab diare.
Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
3) Observasi turgor kulit secara rutin.
Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.
4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.
Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.
5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi diare.
6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.
Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.
7) Evaluasi intake makanan yang masuk.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.
8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.
Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/ terjadi komplikasi.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.
Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang memperberat (seperti stress, tidak toleran terhadap makanan) atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta membantu dalam membuat diagnosis dan kebutuhan terapi.
3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.
Rasional: Untuk menghilang nyeri.
4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.
Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.
2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.
Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab, tanda dan gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.
3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah diberikan kepada klien dengan demam typoid.
Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Evaluasi:
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).
2) Klien tidak demam lagi.
3) Klien tidak gelisah.
4) Turgor kulit baik.
5) Kesadaran compos mentis.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Evaluasi:
1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut, rambut, kuku dan genetalia terpenuhi.
2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.
3) Klien mobilisasi secara bertahap.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Evaluasi:
1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.
2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Evaluasi:
1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.
2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.
3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.
Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.
2) Turgor kulit baik.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Evaluasi:
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Evaluasi:
Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.
1. Pengertian
“Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran“. (Mansjoer, 2000: 432).
“Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan kesadaran”. (Soegijanto, 2002: 1).
“Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh tubuh”. (Tambayong, 2000: 143).
“Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi salmonella typhi”. ( Ovedoff, 2002: 514).
2. Etiologi
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) “Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi”.
Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B, salmonella enteretidis bioseratife C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A, salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.
Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.
3. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi, 2001: 281).
Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.
Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Mansjoer, 1999: 422).
Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:
a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.
d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
5. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:
a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.
Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa mungkin terjadi pada tes widal).
Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.
Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:
1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid.
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien demam typoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.
Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200 atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah klien. (Mansjoer, 2000: 433).
Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
Faktor yang berhubungan dengan klien:
a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella dimasa lalu.
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin, sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”.
“Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.
3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250 mg selama 5 hari kemudian.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.
e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga diberikan obat-obat simtomatik antara lain:
a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak berguna.
b. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).
8. Prognosis
“Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7 %”. (Sjaifoellah, 1996: 441).
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.
b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid
1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:
a. Aktivitas dan Istirahat.
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif, hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah kotor.
c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.
d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada konstipasi/adanya peristaltik.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk, membran mukosa pucat.
f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.
Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.
h. Keamanan
Gejala: Peningkatan suhu tubuh 38C-40C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.
i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi yang di alami.
j. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/ tirah baring.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat diare.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Intervensi:
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses inflamasi.
2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak minum.
Rasional: Membantu mengurangi demam.
3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3 jam.
Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.
4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.
Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi basil salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Intervensi:
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan, minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi yang berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.
2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.
Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses keperawatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses penyembuhan
Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme dan infeksi.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Intervensi:
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan berat ringannya kekurangan cairan.
2) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.
3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.
Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.
4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.
Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.
Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.
2) Monitor adanya penurunan berat badan.
Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500 gr/minggu.
3) Monitor lingkungan selama makan.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.
4) Monitor mual dan muntah.
Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.
5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk mempercepat proses penyembuhan.
6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.
7) Berikan makanan yang terpilih.
Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala diare.
Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.
2) Identifikasi faktor penyebab diare.
Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
3) Observasi turgor kulit secara rutin.
Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.
4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.
Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.
5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi diare.
6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.
Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.
7) Evaluasi intake makanan yang masuk.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.
8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.
Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/ terjadi komplikasi.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.
Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang memperberat (seperti stress, tidak toleran terhadap makanan) atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta membantu dalam membuat diagnosis dan kebutuhan terapi.
3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.
Rasional: Untuk menghilang nyeri.
4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.
Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.
2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.
Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab, tanda dan gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.
3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah diberikan kepada klien dengan demam typoid.
Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Evaluasi:
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).
2) Klien tidak demam lagi.
3) Klien tidak gelisah.
4) Turgor kulit baik.
5) Kesadaran compos mentis.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Evaluasi:
1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut, rambut, kuku dan genetalia terpenuhi.
2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.
3) Klien mobilisasi secara bertahap.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Evaluasi:
1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.
2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Evaluasi:
1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.
2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.
3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.
Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.
2) Turgor kulit baik.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Evaluasi:
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Evaluasi:
Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Blog Archive
-
▼
2009
(21)
-
▼
November
(12)
- demam typoid
- asuhan keperawatan dengan demam typoid
- JERAWAT??? OH.. NO..
- MITOS SEPUTAR KEHAMILAN
- MENGENAL "KANKER PAYUDARA"
- OSTEOMYELITIS
- 10 tips mencegah kanker
- * APPENDISITIS AKUT
- VARICELLA
- Stroke Tidak Kenal Jenis Kelamin dan Usia
- *Kanker Paru-paru Akibat Merokok Dapat Diketahui D...
- *Pornografi Dapat Rusak Jaringan Otak
-
▼
November
(12)
About me
Mini Updates
Advertisement
Seberapa pentingkah Blog ini buat anda
About Me
- AryaNers
- Makassar, Indonesia
- simple,suka liat film,suka minum kopi,suka makan buah pisang,suka magic,suka musik jazz ,suka main airsoft,suka nulis blog,suka baca buku,selalu kebanjiran ide tapi bingung ngungkapinnya,childish,narsis,cerewet,panikan,blak-blakan dan nggak bisa hidup tanpa internet.